-->

Tari Guel Sebagai Khasanah Budaya Gayo

Setiap suku bangsa memiliki kesenian yang wajib dilestarikan sebagai sebuah khasanah peninggalan bersifat turun temurun yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kesenian lahir karena adanya rasa cipta kuat manusia untuk membuat proyeksi ungkapan terhadap alam ataupun peristiwa yang telah terjadi melalui media seni yang umumnya indah dan bermakna tersirat yang pada dasarnya berfungsi sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan sesuatu yang sifatnya menghibur namun dalam akan nilai estetika.
Manusia sebagai ciptaan Allah S.W.T memiliki naluri yang kuat dalam mempertahankan kedudukan bangsanya di mata dunia. Manusia adalah tokoh penting dari segala awal mula penciptaan kesenian karena dianugerahi akal oleh sang pencipta. Nafsu yang terdapat dalam diri manusia untuk menyukai keindahan memaksa akal dan pikirannya untuk menciptakan seni yang berfungsi sebagai identitas kesukuan ataupun golongan manusia itu sendiri.
Kita akan membahas suatu kesenian yang berasal dari negeri di atas awan sebagai sebuah penyebutan bagi Dataran Tinggi Gayo, Tari Guel namanya. Alkisah cerita ini berawal pada masa pemerintahan raja Linge yang ke XIII bernama Raja Bukit yang menikah dengan seorang bangsawan dari Kerajaan Johor dan memiliki dua orang anak yang bernama Bener Merie dan Sengeda. Setelah Raja Bukit pindah ke pulau Lingga di Klantan Johor yakni sebuah pulau yang berada di kawasan kepulauan Riau sekarang, ia langsung mendirikan Kerajaan  kecil di sana yang kerajaan itu masih berada di bawah pengaruh dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Setelah mangkat, istrinya yang berasal dari Keraton Malaka itu, pindah ke Aceh Darussalam dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil. Ketika keduanya menginjak dewasa, barulah ibunya memberitahukan asal keturunan ayahnya yang berasal dari Negeri Linge Tanoh Gayo. Abangnya yang tertua menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja di kerajaan tersebut (Raja Linge XIV). Demikianlah Bener Merie dan Sengeda kemudian berangkat ke Tanoh Gayo untuk menemui abang ayahnya, tetapi nasib malang menghampiri mereka, karena kedatangan mereka tidak diterima dengan baik oleh Raja Linge ke XIV, malahan mereka dituduh telah membunuh ayahnya Raja Linge XII. Kedua-duanya dijatuhi hukuman mati. Bener Merie atas perintah raja dibunuh, sedang pembunuhan Sengeda ditugaskan pada Raja Cik Serule. Tetapi Cik Serule tidak mau melaksanakan tugasnya untuk membunuh Sengeda, dan menyembunyikan Sengeda. Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan Aceh Alaidin Ria’yah II sedang berkuasa dalam rentang tahun 1593-1571.
Dalam suatu upacara di Kesultanan Aceh, yang dihadiri oleh seluruh raja-raja di Aceh, sultan memerintahkan kepada mereka untuk mencari “gajah putih” yang dikabarkan terdapat di hutan-hutan Tanah Gayo, untuk dipersembahkan kepadanya. Sultan akan memberikan hadiah kepada siapa yang menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut kepadanya. Wujud gajah putih yang sultan maksud ialah gajah putih yang digambarkan oleh Sengeda dalam sebuah daun lontar dan ditunjukkan kepada anak sultan.
Walaupun dengan rasa kecewa Raja Linge XIV menyiapkan perutusan ke Darussalam untuk mempersembahkan gajah putih tersebut kepada Sultan. Dia tidak mengetahui bahwa yang menangkap Gajah Putih tersebut ialah Sengeda yang telah diperintahkan untuk dibunuh. Pada upacara penyerahan gajah putih kepada Sultan di Kraton Aceh, gajah putih yang semula direncanakan diserahkan oleh Raja Linge XIV kepada sultan ternyata gagal, karena gajah putih tersebut mengamuk dan tidak mau dituntun oleh Raja Linge XIV. Sifatnya yang biasanya jinak telah berubah menjadi berang dan ganas, mengejar-ngejar raja hingga hampir tewas.
Akhirnya Sengeda dapat menjinakkan gajah tersebut, dan menyerahkan kepada Sultan dengan tenang. Semua yang hadir menjadi tercengang-cengang, Sultan menanyakan peristiwa yang aneh itu. Sengeda terpaksa membongkar rahasia kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie yang menjelma menjadi gajah putih. Mendengar keterangan dari Sengeda, Sultan sangat murka, dan menjatuhkan hukuman mati kepada Raja Linge XIV. Akan tetapi raja tidak dijatuhi hukuman mati sebab ibu dan Sengeda sendiri memaafkan perbuatan Raja tersebut. Akhirnya raja diturunkan pangkatnya dan Sengeda sendiri diangkat menjadi raja Linge XV, namun Sengeda menolak. Dan menyerahkan kedudukan raja kepada anak raja Linge XIV yang bernama Aisyah.
Kisah Sengeda dan Gajah Putih ini adalah peristiwa nyata yang menjadi sejarah kehidupan masyarakat Gayo yang pada akhirnya menciptakan sebuah tarian tradisi yang telah diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi yang disebut Tari Guel. Tari Guel selalu menjadi juara umum tari tradisi pada Pekan Kebudayaan Aceh yang diselenggarakan 4-5 tahun sekali sebagai suatu perayaan besar bagi kesenian yang berkembang di Provinsi Aceh. Pada tahun 70 an, seorang guru didong yang terkenal membawakan Tari Guel bernama Ceh Sahak, tahun-tahun selanjutnya Tari Guel makin banyak digemari oleh masyarakat. Sebagai generasi Gayo, kita memiliki kewajiban untuk melestarikan Tari Guel agar tidak hilang ditelan zaman.