Masa Pemerintahan
Presiden Megawati Soekarno Putri
Presiden Megawati Soekarno Putri mengawali tugasnya sebagai
presiden kelima Republik Indonesia dengan membentuk Kabinet Gotong Royong.
Kabinet ini memiliki lima agenda utama yakni membuktikan sikap tegas pemerintah
dalam menghapus KKN, menyusun langkah untuk menyelamatkan rakyat dari krisis
yang berkepanjangan, meneruskan pembangunan politik, mempertahankan supremasi
hukum dan menciptakan situasi sosial kultural kesejahteraan
dan rasa aman masyarakat dengan meningkatkan keamanan dan hak asasi manusia.
Tugas Presiden Megawati di awal pemerintahannya terutama
upaya untuk memberantas KKN terbilang berat karena selain banyaknya kasus-kasus
KKN masa Orde Baru yang belum tuntas, kasus KKN pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid menambah beban pemerintahan baru tersebut. Untuk
menyelesaikan berbagai kasus KKN, pemerintahan Presiden Megawati membentuk
Komisi Tindak Pidana Korupsi setelah keluarnya UU RI No. 28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Pembentukan komisi ini menuai
kritik karena pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid telah dibentuk
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Dari sisi kemiripan tugas,
keberadaan dua komisi tersebut tersebut terkesan tumpang tindih. Dalam
perjalanan pemerintahan Megawati, kedua komisi tersebut tidak berjalan maksimal
karena hingga akhir pemerintahan Presiden Megawati, berbagai kasus KKN yang ada
belum dapat diselesaikan.
Reformasi Bidang
Hukum dan Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, MPR kembali
melakukan amandemen terhadap UUD
1945 pada tanggal 10 November 2001. Amandemen tersebut meliputi penegasan Indonesia sebagai negara hukum dan
kedaulatan berada di tangan rakyat.
Salah satu perubahan penting terkait dengan
pemilihan umum adalah perubahan tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan mulai diterapkan pada
pemilu tahun 2004. Dengan demikian
rakyat akan berpartisipasi dalam
pemilihan umum untuk memilih calon anggota
legislatif, presiden dan kepala daerah secara terpisah. Hal lain yang dilakukan terkait dengan reformasi di bidang hukum dan pemerintahan adalah
pembatasan wewenang MPR, kesejajaran
kedudukan antara presiden dan DPR
yang secara langsung menguatkan posisi
DPR, kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
penetapan APBN yang diajukan oleh presiden
dan penegasan wewenang BPK.
Salah satu bagian penting amandemen yang dilakukan MPR terkait upaya pemberantasan KKN
adalah penegasan kekuasaan kehakiman
sebagai kekuasaan menegakkan hukum dan keadilan yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Amandemen
ini memberikan kekuatan bagi penegak hukum untuk menembus birokrasi yang selama ini
disalahgunakan untuk mencegah penyelidikan terhadap
tersangka kejahatan terlebih jika sebuah kasus menimpa pejabat pemerintah yang tengah berkuasa.
Upaya lain untuk melanjutkan cita-cita
reformasi di bidang hukum adalah
pencanangan pembentukan Mahkamah Konstitusi
selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003. Selain
beberapa amandemen terkait masalah hukum dan pemerintahan, pemerintahan Presiden Megawati juga
berupaya melanjutkan upaya reformasi di
bidang pers yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Pers dan Undang-undang Penyiaran. Dilihat
dari sisi kebebasan mengeluarkan pendapat,
keberadaan kedua undang-undang tersebut berdampak positif namun di sisi lain berbagai media yang
diterbitkan oleh partai-partai politik dan
LSM seringkali melahirkan polemik dan sulit dikontrol oleh pemerintah.
Reformasi Bidang Ekonomi
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia
sejak 1998 belum dapat dilalui oleh
dua presiden sebelum Megawati sehingga
pemerintahannya mewarisi berbagai
persoalan ekonomi yang harus
dituntaskan. Masalah ekonomi yang kompleks dan saling berkaitan menuntut perhatian
pemerintah untuk memulihkan situasi ekonomi guna memperbaiki
kehidupan rakyat. Wakil Presiden Hamzah Haz menjelaskan bahwa pemerintah
merancang paket kebijakan pemulihan
ekonomi menyeluruh yang dapat
menggerakkan sektor riil dan keuangan agar dapat menjadi stimulus pemulihan
ekonomi.
Selain upaya pemerintah untuk
memperbaiki sektor ekonomi, MPR berhasil mengeluarkan keputusan yang
menjadi pedoman bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi di masa reformasi
yaitu Tap MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
1999-2004. Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004, arah
kebijakan penyelenggaraan negara harus dituangkan dalam Program
Pembangunan Nasional (Propenas) lima
tahun yang ditetapkan oleh presiden
bersama DPR. Minimnya kontroversi selama masa
pemerintahan Megawati berdampak positif pada sektor ekonomi. Hal ini
membuat pemerintahan Megawati mencatat beberapa pencapaian di bidang
ekonomi dan dianggap berhasil membangun kembali perekonomian bangsa
yang sempat terpuruk sejak beralihnya pemerintahan dari pemerintahan
Orde Baru ke pemerintahan pada era reformasi. Salah satu
indikator keberhasilan pemerintahan Presiden Megawati adalah rendahnya tingkat
inflasi dan stabilnya cadangan devisa harga-harga barang. Kondisi ini juga
meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia yang dianggap
menunjukkan perkembangan positif. Kenaikan inflasi pada bulan Januari 2002
akibat kenaikan harga dan suku bunga serta berbagai bencana lainnya juga
berhasil ditekan pada bulan Maret dan April 2002.
Namun berbagai pencapaian di bidang
ekonomi pemerintahan Presiden Megawati mulai menunjukkan penurunan pada paruh
kedua pemerintahannya. Pada pertengahan tahun 2002-2003 nilai tukar rupiah yang
sempat menguat hingga Rp. 8.500,- per dolar kemudian melemah seiring menurunnya
kinerja pemerintah. Di sisi lain, berbagai pencapaian tersebut juga tidak
berbanding lurus dengan jumlah penduduk yang ternyata masih banyak berada di
bawah garis kemiskinan.
Popularitas pemerintah juga menurun
akibat berbagai kebijakan yang tidak populis dan meningkatkan inflasi.
Meningkatnya inflasi berdampak buruk terhadap tingkat inflasi riil. Diantara
kebijakan tersebut adalah kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) serta pajak pendapatan negara. (Sarwanto,
2004: 50). Selain itu, persoalan hutang luar negeri juga menjadi persoalan pada
masa pemerintahan Presiden Megawati karena pembayaran hutang luar negeri
mengambil porsi APBN yang paling besar yakni mencapai 52% dari total penerimaan
pajak yang dibayarkan oleh rakyat sebesar 219,4 triliun rupiah. Hal ini
mengakibatkan pemerintah mengalami defisit anggaran dan kebutuhan pinjaman
baru.
Masalah Disintegrasi dan Kedaulatan Wilayah
Pemerataan ekonomi di seluruh wilayah
Indonesia merupakan salah satu pekerjaan rumah pemerintahan Presiden
Megawati. Tidak meratanya pembangunan dan tidak adilnya pembagian
hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah menjadi
masalah yang berujung pada keinginan
untuk melepaskan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia terutama
beberapa provinsi yang kaya akan sumber
daya alam tetapi hanya mendapatkan
sedikit dari hasil sumber daya alam
mereka. Dua provinsi yang rentan untuk melepaskan diri adalah provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan
Papua. Kebijakan represif yang
diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru di kedua provinsi tersebut menjadi alat
propaganda efektif bagi kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri.
Untuk meredam keinginan melepaskan diri
kedua provinsi tersebut, Presiden
Megawati melakukan upaya-upaya untuk
menyelesaikan permasalahan disintegrasi dan memperbaiki persentase
pembagian hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah di kedua
propinsi tersebut. Berdasarkan UU No. 1b/2001 dan UU No. 21/2001 baik propinsi
NAD dan Papua akan menerima 70% dari hasil pertambangan minyak bumi dan gas
alam. Upaya Presiden Megawati untuk memperbaiki hubungan pemerintah pusat dan
rakyat propinsi NAD juga dilakukan dengan melakukan kunjungan kerja ke Banda
Aceh pada tanggal 8 September 2001. Dalam kunjungan kerja tersebut, presiden
melakukan dialog dengan sejumlah tokoh Aceh dan berpidato di halaman Masjid
Raya Baiturrahman. Dalam kesempatan tersebut, presiden mensosialisasikan UU No.
18 tahun 2001 tentang otonomi khusus Provinsi NAD. Presiden Megawati juga
menandatangani prasasti perubahan status Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
menjadi universitas negeri.
Upaya Presiden Megawati untuk menjaga
keutuhan wilayah NKRI juga diuji saat pemerintah berusaha untuk menyelesaikan
sengketa status Pulau Sipadan dan Ligitan dengan pemerintah Malaysia. Sengketa
status kedua pulau tersebut tidak dapat diselesaikan melalui perundingan
bilateral antara pemerintah Indonesia dan Malaysia. Kedua negara sepakat untuk
membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Pemerintah Indonesia
sejak tahun 1997 telah memperjuangkan pengakuan internasional bahwa kedua pulau
tersebut merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia.
Namun Mahkamah Internasional pada
akhirnya memutuskan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari Malaysia.
Dari 17 hakim yang terlibat dalam proses keputusan Mahkamah Internasional,
satu-satunya hakim yang memberikan keputusan bahwa kedua pulau tersebut
merupakan bagian dari wilayah Indonesia adalah Hakim Ad Hoc Thomas Franck yang
ditunjuk oleh Indonesia.Terlepasnya Pulau Sipadan yang memiliki luas 10,4
hektar dan Pulau Ligitan yang memiliki luas 7,9 hektar merupakan pukulan bagi
diplomasi luar negeri Indonesia setelah terlepasnya Timor Timur. Kasus ini juga
menunjukkan lemahnya diplomasi luar negeri Indonesia saat berhadapan dengan
negara lain terutama dalam sengketa perbatasan dengan negara-negara tetangga.
Desentralisasi Politik dan Keuangan
Terkait hubungan pemerintah pusat dan
daerah, pemerintahan Presiden Megawati berupaya untuk melanjutkan
kebijakan otonomi daerah yang telah
dirintis sejak tahun 1999 seiring
dengan dikeluarkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
pusat-daerah. Upaya ini merupakan proses reformasi tingkat lokal terutama pada
bidang politik, pengelolaan keuangan
daerah dan pemanfaatan sumber-sumber
daya alam daerah untuk kepentingan
masyarakat setempat. Upaya
desentralisasi politik dan keuangan ini sejalan dengan struktur pemerintahan di masa
mendatang dimana masing-masing daerah akan diberi wewenang lebih besar
untuk mengelola hasil-hasil sumber
daya alam dan potensi ekonomi yang
mereka miliki.
Otonomi daerah merupakan isu penting
sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998. Setelah berakhirnya
pemerintahan Orde Baru, rakyat di beberapa daerah mulai menyuarakan ketidakpuasan
mereka terhadap sistem sentralisasi
kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat
yang sangat kuat. Kepala daerah yang bertugas di beberapa daerah
mulai dari posisi gubernur hingga
bupati seringkali bukan merupakan
pilihan masyarakat setempat. Pada masa pemerintahan Orde Baru, para pejabat
yang bertugas di daerah umumnya adalah pejabat yang ditunjuk oleh
pemerintah pusat dan memerintah sesuai keinginan pemerintah pusat. Masalah di
daerah semakin kompleks saat pejabat
bersangkutan kurang dapat mengakomodasi
aspirasi masyarakat setempat.
Faktor inilah yang membuat isu mengenai
otonomi daerah menjadi penting sebagai bagian dari reformasi politik
dan sosial terutama di beberapa wilayah yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Proses
pelaksanaan otonomi daerah berikut pengadaan perangkat hukumnya berkaitan
erat dengan sistem pemilihan umum berikutnya yang akan diselenggarakan
pada tahun 2004. Sejalan dengan rencana pelaksanaan otonomi daerah,
pemerintah secara aktif mengeluarkan beberapa undang-undang yang mendukung
pelaksanaan otonomi daerah sekaligus memberikan pedoman dalam
penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan saat undang-undang tersebut
diberlakukan. Terkait dengan itu, pemerintah mengeluarkan UU
No. 12 tahun 2003 mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD.
Penerbitan undang-undang ini diikuti dengan dikeluarkannya UU No. 22
tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU
No. 23 tahun 2003 mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden. Untuk melengkapi
berbagai perangkat hukum mengenai otonomi daerah yang sudah ada,
pemerintahan Presiden Megawati di tahun terakhir masa pemerintahnnya memuat
antara lain kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, konsep otonomi dan
asas-asas penyelenggaraan pemerintahan.
Sistem pemilihan langsung terhadap
wakil-wakil rakyat di daerah dan kepala daerah menjadikan pelaksanaan otonomi
daerah semakin memberikan kesempatan bagi rakyat di daerah untuk berperan lebih
besar dalam memajukan wilayah mereka. Terpilihnya wakil rakyat dan kepala
daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat setempat diharapkan lebih dapat
mengakomodasi keinginan masyarakat karena memahami seluk beluk masalah dan
potensi masyarakat dan sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah bersangkutan
disamping lebih memahami karakter dan adat istiadat yang berlaku di wilayah
tersebut.
Upaya Pemberantasan
KKN
Kendati berhasil melakukan berbagai pencapaian di bidang
ekonomi dan politik terutama dalam menghasilkan produk undang-undang mengenai
pelaksanaan otonomi daerah, pemerintahan Presiden Megawati belum berhasil
melakukan penegakkan hukum (law enforcement). Berbagai kasus KKN yang
diharapkan dapat diselesaikan pada masa pemerintahannya menunjukkan masih belum
maksimalnya upaya Presiden Megawati dalam penegakkan hukum terutama kasus-kasus
KKN besar yang melibatkan pejabat negara. Belum maksimalnya penanganan
kasus-kasus tersebut juga disebabkan karena kurangnya jumlah dan kualitas
aparat penegak hukum sehingga proses hukum terhadap beberapa kasus berjalan
sangat lambat dan berimbas pada belum adanya pembuktian dari kasus-kasus yang
ditangani. Namun keseriusan pemerintah untuk memerangi tindak pidana korupsi
tercermin dari dikeluarkannya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU
No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Produk hukum
tersebut merupakan produk hukum yang dikeluarkan khusus untuk memerangi
korupsi.
Pengeluaran produk hukum tentang Tipikor diikuti dengan
dikeluarkannya berbagai produk hukum lain seperti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PP No, 41 Tahun 2002 tentang
Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim, Inpres No. 2 Tahun 2002 tentang Penambang
Pasir Laut dan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian
Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum
Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham.
Pelaksanaan Pemilu
2004
Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu
pertama dimana untuk pertama kalinya masyarakat pemilik hak suara dapat memilih
wakil rakyat mereka di tingkat pusat dan daerah secara langsung. Pemilu untuk
memilih anggota legislatif tersebut selanjutnya diikuti dengan pemihan umum
untuk memilih presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung oleh
rakyat. Pemilihan anggota legislatif dan pemilu untuk memilih presiden dan wakil
presiden memiliki keterkaitan erat karena setelah pemilu legislatif selesai,
maka partai yang memiliki suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat
mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya untuk maju ke pemilu
presiden. Jika dalam pemilu presiden dan wakil presiden terdapat satu pasangan
yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka pasangan tersebut dinyatakan sebagai
pasangan pemenang pemilu presiden. Jika pada pemilu presiden tidak terdapat
pasangan yang mendapatkan suara lebih dari 50%, maka pasangan yang mendapatkan
suara tertinggi pertama dan kedua berhak mengikuti pemilu presiden putaran
kedua.
Pemilu legislatif 2004 yang
diselenggarakan pada tanggal 5 April 2004 diikuti oleh 24 partai politik. Lima
partai politik yang berhasil mendapatkan suara terbanyak adalah Partai Golkar
(24.480.757 atau 21,58% suara), PDI-P (21.026.629 atau 18,53% suara), PKB
(11.989.564 atau 10,57% suara), PPP (9.248.764 atau 8,15% suara) dan PAN
(7.303.324 atau 6,44% suara).
Berdasarkan perolehan suara tersebut,
KPU meloloskan lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dianggap
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan KPU no. 36
tahun 2004 untuk mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden yakni:
1. Nomor urut 1: H. Wiranto, S.H. dan
Ir. H. Salahuddin Wahid (calon dari partai Golkar).
2. Nomor urut 2: Hj. Megawati
Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi (calon dari PDI-P).
3. Nomor urut 3: Prof. Dr. H.M. Amien
Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudohusodo (calon dari PAN).
4. Nomor urut 4: H. Susilo Bambang
Yudhoyono dan Drs. Muhammad Jusuf Kalla (calon dari Partai Demokrat).
5. Nomor Urut 5: Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.
Sc. (calon dari PPP)
Pemilu presiden yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli
2004 belum menghasilkan satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden
yang mendapatkan suara lebih dari 50% sehingga pemilu presiden diselenggarakan
dalam dua putaran. Dalam pemilu presiden putaran kedua yang diselenggarakan
pada tanggal 20 September 2004, pasangan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.
Muhammad Jusuf Kalla mengungguli pasangan Hj. Megawati Soekarnoputri dan K.H.
Ahmad Hasyim Muzadi. Pada pemilu putaran kedua tersebut, pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla memperoleh 62.266.350 suara atau 60,62%
sementara pasangan Hj. Megawati Soekarnoputri dan K.H. Ahmad Hasyim Muzadi
memperoleh 44.990.704 suara atau 39,38% . (Gonggong & Asy’arie, 2005: 239).
Masa Pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden
pertama RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Susilo Bambang Yudhoyono
yang sering disapa SBY dan Jusuf Kalla dilantik oleh MPR sebagai presiden dan
wakil presiden RI ke-6 pada tanggal 20 Oktober 2004.Terpilihnya pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden diikuti
dengan berbagai aksi protes mahasiswa, diantaranya aksi yang dilakukan oleh
mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, Bali, yang meminta agar presiden
terpilih segera merealisasikan janji-janji mereka selama kampanye presiden.
Tidak lama setelah terpilih, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri segera
membentuk susunan kabinet pemerintahannya yang diberi nama Kabinet Indonesia
Bersatu.
Sejak awal pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memprioritaskan untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan pengangguran
serta pemberantasan KKN yang ia canangkan dalam program 100 hari pertama
pemerintahannya. Program pengentasan kemiskinan berkaitan langsung dengan upaya
pemerataan dan pengurangan kesenjangan serta peningkatan pembangunan terutama
di daerah-daerah yang masih tertinggal. Salah satu program pengentasan
kemiskinan yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah
bantuan langsung tunai (BLT). Pada tahun 2006, BLT dianggarkan sebesar Rp. 18,8
triliun untuk 19,1 juta keluarga. Tahun 2007 dilakukan BLT bersyarat bagi 500
ribu rumah tangga miskin di 7 propinsi, 51 kabupaten, 348 kecamatan. Bantuan
tersebut meliputi bantuan tetap, pendidikan, kesehatan dengan rata-rata bantuan
per rumah tangga sebesar Rp. 1.390.000 (Suasta, 2013: 31-33).
Selain memfokuskan pada manusia dan rumah tangganya, program
pengentasan kemiskinan juga berupaya untuk memperbaiki fisik lingkungan dan
prasarananya seperti gedung sekolah, fasilitas kesehatan, jalan, air bersih,
dll. Program 100 hari pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan
prioritas pada peninjauan kembali RAPBN 2005, menetapkan langkah penegakkan
hukum, langkah awal penyelesaian konflik di Aceh dan Papua, stimulasi ekonomi
nasional dan meletakkan fondasi yang efektif untuk pendidikan nasional.
(Gonggong& Asy’arie, 2005: 243)
Upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Sejak krisis yang dialami bangsa pada tahun 1998, kondisi
perekonomian masyarakat Indonesia belum pulih. Upaya pengentasan kemiskinan
yang juga pernah dicanangkan oleh presiden sebelumnya masih belum terlaksana
sepenuhnya. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya sejumlah bencana alam
terutama tragedi tsunami di Aceh yang merenggut banyak korban dengan kerugian
material yang sangat besar. Presiden SBY bersama Kabinet Indonesia Bersatu segera mengambil langkah-langkah penanggulangan
pasca bencana. Salah satunya adalah dengan menetapkan Keputusan Presiden Nomor
30 Tahun 2005 mengenai Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara. Selain itu
dibentuk pula Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan
Masyarakat Aceh dan Nias (Yudhoyono, 2013).
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
upaya untuk pengentasan kemiskinan direalisasikan melalui peningkatan anggaran
di sektor pertanian termasuk upaya untuk swasembada pangan. Anggaran untuk
sektor ini yang semula hanya sebesar 3,6 triliun rupiah ditingkatkan menjadi
10,1 triliun rupiah. Untuk mendukung perbaikan di sektor pertanian, pemerintah
menyediakan pupuk murah bagi petani.
Selain berupaya memperkuat ketahanan pangan, pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga berupaya memperbaiki sektor pendidikan
dengan cara meningkatkan anggaran pendidikan yang semula berjumlah 21,49
triliun pada tahun 2004 menjadi 50 triliun pada tahun 2007. Seiring dengan itu,
program bantuan operasional sekolah atau BOS juga ditingkatkan. Perbaikan di
sektor pendidikan ini berhasil menurunkan persentase tingkat putus sekolah dari 4,25% pada tahun 2005 menjadi 1,5%
pada tahun 2006. Selain upaya untuk
memperbaiki kelangsungan pendidikan para peserta didik, pemerintah juga meningkatkan tunjangan
kesejahteraan tenaga pendidik.
Di bidang kesehatan, pemerintah
memberikan bantuan kesehatan gratis untuk berobat
ke puskesmas dan rumah sakit melalui pemberian Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin dan beberapa kali
menurunkan harga obat generik. (Suasta, 2013:
33-36). Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga memberikan perhatian
besar pada permasalahan kesejahteraan rakyat lainnya seperti sektor perumahan, pengembangan usaha kecil,
peningkatan kesejahteraan PNS termasuk
prajurit TNI dan Polri dan juga kesejahteraan buruh. Pelayanan dan fasilitas publik juga ditingkatan. Di
bidang hukum, upaya pemerintah untuk melanjutkan
program pemberantasan korupsi dan penegakkan supremasi hukum juga mendapat perhatian
pemerintah.
Reformasi di Bidang
Politik dan Upaya Menjaga Kesolidan Pemerintahan
Pemerintahan yang solid berpengaruh terhadap kelancaran
jalannya programprogram pemerintah sehingga upaya untuk menjaga kesolidan
pemerintahan menjadi salah satu faktor penting keberhasilan program pemerintah.
Seperti halnya pemerintahan pada era reformasi sebelumnya, pembentukan kabinet
pemerintah merupakan hasil dari koalisi partai-partai yang mendukung salah satu
pasangan calon presiden saat pemilu presiden, dengan demikian keberadaan
koalisi dan hubungan partai-partai yang mendukung pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono harus dijaga. Salah satu upaya untuk menjaga kesolidan
koalisi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah
pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) antara Partai Demokrat dengan
partai-partai politik lainnya yang mendukung SBY. Pembentukan Setgab juga
bertujuan untuk menyatukan visi dan misi pembangunan agar arah koalisi berjalan
seiring dengan kesepakatan bersama. Setgab merupakan format koalisi yang
dianggap SBY sesuai dengan etika demokrasi dan dibentuk sebagai sarana
komunikasi politik pada masa pemerintahan SBY (Suasta, 2013: 25).
Sejalan dengan upaya menjaga kesolidan pemerintahan,
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melanjutkan reformasi
politik seperti yang telah dirintis oleh pemerintahan sebelumnya pada era
reformasi. Upaya untuk penerapan otonomi daerah dengan cara mengurangi wewenang
pemerintah pusat dan memperluas wewenang
pemerintah daerah dilakukan secara proporsional
dan seimbang. (Suasta, 2013: 259). Selain itu, pemerintah juga mengupayakan reformasi birokrasi yang
mengedepankan aspek transparansi, partisipasi
dan akuntabilitas demi menciptakan good
governance. Reformasi birokrasi tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah
karena proses pengambilan keputusan dilakukan secara transparan dan dapat diakses oleh masyarakat
terutama dalam pengambilan keputusan yang
terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak seperti masalah kenaikan BBM dan pengadilan terhadap
para koruptor.
Untuk membangun komunikasi yang efektif
dengan masyarakat, pemerintah memaksimalkan
penggunaan media sosial seperti SMS online
dan twitter. Melalui
media tersebut, partisipasi masyarakat dalam perjalanan pemerintahan diharapkan meningkat. Di sisi lain
pemerintah dapat dengan cepat mengetahui pendapat
masyarakat terkait masalah-masalah tertentu termasuk opini masyarakat terhadap berbagai kebijakan
pemerintah dalam kasus-kasus yang
dianggap krusial.
Upaya untuk
menyelesaikan konflik dalam negeri
Selain berupaya untuk menjaga
kedaulatan wilayah dari ancaman luar, upaya internal yang dilakukan pemerintah
untuk menjaga kedaulatan wilayah adalah mencegah terjadinya disintegrasi di
wilayah konflik. Konflik berkepanjangan di wilayah Aceh dan Papua yang belum
juga berhasil diselesaikan pada masa pemerintahan presiden sebelumnya, mendapat
perhatian serius dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kendati telah
dilakukan pendekatan baru melalui dialog pada masa pemerintahan Presiden B.J.
Habibie termasuk dengan mencabut status DOM yang diterapkan oleh pemerintah
Orde Baru, namun konflik di Aceh tidak kunjung selesai. Pada masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah berupaya untuk lebih
mengefektifkan forum-forum dialog mulai dari tingkat lokal Aceh hingga tingkat
internasional.
Di tingkat internasional, upaya
tersebut menghasilkan Geneva
Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan/Cessation of Hostilities
Agreement (CoHA). Tujuan dari kesepakatan
tersebut adalah menghentikan segala bentuk pertempuran sekaligus menjadi
kerangka dasar dalam upaya negosiasi damai diantara semua pihak yang berseteru
di Aceh. Namun pada kenyataannya, CoHA dan pembentukkan komite keamanan bersama
belum mampu menciptakan perdamaian yang sesungguhnya. Belum dapat
dilaksanakannya kesepakatan tersebut dikarenakan minimnya dukungan di tingkat
domestik, baik dari kalangan DPR maupun militer selain tidak adanya pula
dukungan dari pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka). (Yudhoyono, 2013).
Selain berupaya menyelesaikan konflik
Aceh melalui perundingan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melakukan
pendekatan langsung dengan masyarakat Aceh melalui kunjungan yang dilakukan ke
Aceh pada tanggal 26 November 2004. Dalam kunjungan tersebut, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya penerapan otonomi khusus di Aceh
sebagai sebuah otonomi yang luas. Presiden juga berupaya untuk membicarakan
amnesti dengan DPR bagi anggota GAM seraya menekankan bahwa solusi militer
tidak akan menyelesaikan masalah Aceh secara permanen.
Selain konflik di Aceh, konflik lain
yang berpotensi menjadi konflik berskala luas adalah konflik bernuansa agama di
Poso. Konflik yang dimulai pada tahun 1998 tersebut terus berlanjut hingga masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu kebijakan presiden
untuk menyelesaikan konflik Poso adalah dengan mengeluarkan Intruksi Presiden
No 14 Tahun 2005 tentang langkah-langkah komprehensif penanganan masalah Poso.
Melalui Inpres tersebut, Presiden
menginstruksikan untuk:
1.
Melaksanakan
percepatan penanganan masalah Poso melalui langkahlangkah komprehensif, terpadu
dan terkoordinasi.
2.
Menindak
secara tegas setiap kasus kriminal, korupsi dan teror serta mengungkap
jaringannya.
3. Upaya
penanganan masalah Poso dilakukan dengan tetap memperhatikan Deklarasi Malino
20 Desember 2001.
Selain konflik Aceh dan Poso, konflik lain yang mendapat
perhatian serius pemerintah adalah konflik di Papua. Seperti halnya konflik di
Aceh, upaya untuk menyelesaikan konflik di Papua juga mengedepankan aspek
dialog dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kurangnya
keadilan bagi masyarakat Papua menimbulkan adanya perlawanan dan keinginan
sebagian masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI. Perhatian pemerintah sudah
sewajarnya lebih diberikan untuk meningkatkan sisi ekonomi dan pemberdayaan
sumber daya manusia masyarakat yang tinggal di wilayah ini melalui pemberian
pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka di bidang pertanian dan
pemahaman birokrasi, terlebih propinsi Papua memiliki sumber daya alam besar
terutama di sektor pertambangan. Terkait dengan itu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga mengeluarkan kebijakan otonomi khusus bagi Papua. Otonomi khusus
tersebut diharapkan dapat memberikan porsi keberpihakan, perlindungan dan
pemberdayaan kepada orang asli Papua. Kebijakan
tersebut didukung oleh pemerintah melalui aliran dana yang cukup besar agar rakyat Papua dapat menikmati
rasa aman dan tentram di tengah derap
pembangunan (Suasta, 2013: 294).
Pelaksanaan Pemilu
2009
Berbagai pencapaian pada masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono meningkatkan popularitas dan kepercayaan masyarakat kepadanya.
Hal ini juga tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang berkorelasi dengan
penerapan berbagai kebijakan pemerintah yang efektif di lapangan. Transparansi
dan partisipasi masyarakat juga menjadi faktor penting yang berperan sebagai
modal sosial dalam pembangunan termasuk adanya sinergi antara pemerintah dengan
dunia usaha dan perguruan tinggi. Selain itu, situasi dalam negeri yang semakin
kondusif termasuk meredanya beberapa konflik dalam negeri meningkatkan investor
asing untuk menanamkan modal mereka di Indonesia sekaligus membuka lapangan
pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Kondisi ini ikut mengurangi angka
pengangguran yang di awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih
sangat tinggi. keberhasilan beberapa program pembangunan juga tidak terlepas
dari adanya stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban serta harmoni sosial.
Berbagai pencapaian pada masa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang dirasakan
langsung oleh masyarakat menjadi modal bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kembali maju
sebagai calon presiden pada pemilu
presiden tahun 2009. Berpasangan dengan seorang ahli ekonomi yakni Boediono, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono berhasil mendapatkan kembali mandat
dari rakyat untuk memimpin Indonesia untuk masa pemerintahan berikutnya. Pada pemilu presiden yang
diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan pemilu hanya melalui satu putaran.
Euforia Berdemokrasi:
Demokrasi Masa Reformasi
Reformasi 1998 yang menumbangkan
pemerintahan Orde Baru memberikan ruang seluas-luasnya bagi perubahan sistem
dan penerapan demokrasi di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru yang sangat
sentralistik menimbulkan kesenjangan terutama bagi wilayah-wilayah yang
dianggap kurang mendapat perhatian. Selain itu, pemilihan anggota legislatif
dan pejabat eksekutif di daerah-daerah terutama para kepala daerah yang
ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat meningkatkan rasa tidak puas terhadap
pemerintah.
Ketika pemerintah Orde Baru tumbang,
keinginan untuk mendapatkan ruang politik dan pemerintahan untuk mengatur
wilayah sendiri menjadi keinginan masyarakat di daerah-daerah yang pada
akhirnya melahirkan Undang-Undang otonomi daerah. Pembagian hasil eksplorasi
dan eksploitasi sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah juga
disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan diharapkan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah.
Penerapan otonomi daerah tersebut
diiringi dengan perubahan sistem pemilu dan diselenggarakannya pemilu langsung
untuk mengangkat kepala dareah mulai dari gubernur hingga bupati dan walikota.
Di bidang pers, euphoria demokrasi juga melahirkan sejumlah media massa baru
yang lebih bebas menyuarakan berbagai aspirasi masyarakat. Namun, kebebasan di
bidang pers harus tetap memperhatikan aspek-aspek keadilan dan kejujuran dalam
menyebarkan berita. Berita yang dimuat dalam media massa harus tetap
mengedepankan fakta sehingga euphoria kebebasan pers yang telah sekian lama
terkekang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak menimbulkan keresahan dalam
masyarakat.
Peran Pemuda dan
Tokoh Masyarakat dalam perubahan Politik dan Ketatanegaraan
Tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa
Reformasi 1998, seperti halnya juga terjadi di beberapa negara lain,
menunjukkan bahwa sebuah perubahan hingga dapat mempengaruhi situasi politik
nasional bahkan pergantian kepemimpinan, memerlukan energi yang besar dan
ide-ide cemerlang sehingga mampu menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi
dalam gerbong perubahan itu sendiri. Pengaruh dan ide-ide tokoh masyarakat yang
bersinergi dengan semangat pemuda dan mahasiswa yang energik melahirkan sebuah
kekuatan besar dalam masyarakat (people power) untuk pada akhirnya melakukan
perubahan.
Tokoh masyarakat dan pemuda khususnya
mahasiswa memainkan peranan penting sebelum dan sesudah peristiwa Reformasi
1998. Tidak hanya sebagai pelaku yang berperan dalam menumbangkan pemerintahan
Orde Baru, baik tokoh masyarakat maupun pemuda pada era reformasi juga
berpartisipasi secara aktif dalam melanjutkan upaya untuk mewujudkan cita-cita
reformasi.
Salah satu upaya untuk memperbaiki
kehidupan berbangsa dan bernegara, reformasi di bidang politik dan
ketatanegaraan merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian besar sejak
masa pemerintahan Presiden Habibie hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Banyaknya produk hukum dan undang-undang termasuk Tap MPR, instruksi presiden
dan peraturan pemerintah menyangkut upaya untuk memperbaiki kehidupan politik
dan ketatanegaraan telah dikeluarkan dan sebagian telah berhasil diterapkan.
Keberhasilan tersebut tidak terlepas
dari perubahan sistem pemilu. Perubahan sistem tersebut menghasilkan para
anggota eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan yang dianggap dapat lebih
menyuarakan kepentingan masyarakat termasuk peran aktif tokoh-tokoh masyarakat
dan mahasiswa yang sejak awal era reformasi telah aktif dalam mengawal
perubahan sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru.
Beberapa dari mereka bahkan terpilih menjadi
anggota legislatif dan menduduki posisi-posisi strategis dalam partai-partai
politik hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama era
reformasi, regenerasi kepemimpinan dari tokoh-tokoh senior kepada tokoh-tokoh
yang lebih muda juga memperlihatkan kepedulian organisasi masyarakat dan partai
politik terhadap pentingnya peran serta aktif pemuda untuk memulai lebih dini
dalam mengikuti perkembangan dan perubahan politik yang dalam beberapa hal juga
mempengaruhi ketatanegaraan. Selain itu, peran aktif pemuda juga diharapkan
dapat menyuarakan kepentingan generasi mendatang agar dapat lebih kompetitif
dengan bangsa-bangsa lain di tengah arus globalisasi termasuk peningkatan
anggaran di bidang pendidikan yang meliputi sarana dan prasarana serta
peningkatan anggaran untuk melakukan penelitian.
Sumber: Penyusun. 2015. Sejarah SMA Kelas SMA/MA/MAK
Kelas XII. Jakarta: Kemendikbud, hal 168-183