Sultan Agung adalah Raja yang paling terkenal dari KeRajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara lain: Mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan Mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran. Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia. Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC di Batavia dilakukan pada tahun 1628 dan 1629. Perlawanan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pertama, Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran Kompeni Belanda di Batavia dapat membahayakan kesatuan Negara yang dalam hal ini terutama Pulau Jawa1. Pihak Belanda telah melakukan apa yang telah diperingatkan oleh Sultan Agung agar tidak mereka lakukan yakni mereka telah merebut suatu bagian Pulau Jawa yang ingin diperintahnya sendiri sebagai penguasa tunggal. Padahal, sejak awal Sultan Agung telah memperingatkan kepada pihak Belanda bahwa persahabatan yang sama-sama mereka inginkan tidak akan mungkin terlaksana apabila VOC berusaha merebut tanah Jawa. Hal itu disebabkan karena pola pemerintahan Sultan Agung adalah Ia tidak pernah mau berkompromi dengan Belanda atau penjajah lainnya. Prinsip Mataram yang diembannya adalah bagaimana pun Belanda tidak boleh unggul di atas Mataram. Sementara itu, di bidang kerjasama perdagangan misalnya, sejauh masih tetap menguntungkan Mataram, Sultan Agung masih memberikan kelonggaran kepada Belanda. Oleh sebab itu, Jayakarta (Batavia) diserbu Sultan Agung pada masa pemerintahannya. Kedua, Sultan Agung sempat mengajukan beberapa tawaran kepada VOC, tetapi ditolak. Pada tahun 1621, personel VOC yang ditawan dipulangkan ke Batavia beserta pengiriman beras. VOC mengirimkan perutusan-perutusannya kepada Sultan Agung pada tahun 1622, 1623, dan tahun 1624, tetapi permintaan Sultan Agung akan bantuan angkatan laut VOC dalam rangka melawan Surabaya, Banten, maupun Banjarmasin ditolak oleh pihak VOC. Karena VOC tidak bersedia memberikan bantuan angkatan laut kepadanya, maka tidak ada satu alasan pun bagi Sultan Agung untuk membiarkan kehadiran mereka di Pulau Jawa. Ketiga, bagi Sultan Agung, Batavia merupakan kota yang dapat merugikan keRajaannya. Hubungan antara Mataram dan Malaka dipersukar oleh Batavia. Sultan Agung menganggap bahwa hanya ada satu cara untuk melepaskan diri dari Batavia yaitu dengan mengahancurkan kota tersebut. Sudah berkali-kali ia mengirim utusan kepada VOC untuk mengirim wakil kepadanya, tetapi hal itu tidak dilakukan oleh pihak VOC. Atas dasar inilah Raja Mataram mengadakan persiapan untuk menyerbu Batavia. Keempat, Imperialisme Belanda dengan VOC nya mempunyai dua rencana kejahatan. Pertama, dalam proses mempercepat perebutan kekuasaan ekonomi Islam. Kedua, berlomba-lomba untuk memperoleh hegemoni antar Imperialis Barat di Nusantara dan KeRajaan Katolik Portugis juga Spanyol serta KeRajaan Protestan Anglikan Inggris. Di bawah kondisi tantangan Imperialis Protestan Belanda ini, Sultan Agung melancarkan serangan ke Batavia pada tahun 1628-1629.
Perlawanan Pertama Sultan Agung Melawan VOC, 1628.
Tanda-tanda pertama bahwa orang Mataram akan merencakan sesuatu yang luar biasa adalah penutupan hampir seluruh pantai Jawa atas perintah Tumenggung Baureksa dari Kendal. Penutupan ini telah dimulai pada awal tahun 1628. Berita tentang penyerangan Raja Mataram terhadap Batavia dengan 48.000 atau 100.000 pasukan masih tetap gencar. Pada tanggal 13 April 1628, Kia Rangga tiba di Batavia dengan 14 kapal yang bermuatan beras. Ia memohon bantuan kepada Belanda agar membantu Sultan Agung melawan Banten. Permohonan pertama dipertimbangkan oleh pemerintah pusat, tetapi permohonan selanjutnya ditolak karena semua pelabuhan jelas ditutup dengan ketat. Pada tanggal 22 Agustus 1628, Tumenggung Baureksa (Panglima tertinggi armada Jawa) tiba di pelabuhan Batavia dengan 50 kapal yang lengkap dengan perbekalan yang sangat banyak. Perbekalan tersebut terdiri dari 50 gorab dan kapal-kapal yang memuat 150 ekor ternak, 120 last beras, 10.600 ikat padi, 26.000 kelapa, 5.900 ikat batang gula, dan sebagianya dilengkapi dengan tidak kurang dari 900 awak kapal. Hal ini membuat VOC sangat prihatin, sehingga sebagian hewan diturunkan dan sebagian kapal-kapal besar ditahan di luar pelabuhan yang menimbulkan kemarahan pasukan Mataram. Pada tanggal 24 Agustus, tiba lagi kapal dengan tujuan Malaka. Pihak Belanda berusaha memisahkan kapal ini dari kapal-kapal lainnya agar tidak sempat memberikan senjata kepada teman-temannya. Akan tetapi, usaha ini gagal, kapal-kapal akhirnya dapat berkumpul. Pada pagi hari 20 buah perahu menyerang pasar dan benteng. Orang-orang Mataram yang dengan perahu itu naik ke darat dan mereka berhasil mencapai benteng. Penyerbuan ini berlangsung sampai pagi. Banyak korban yang jatuh. Tujuh perahu yang datang pada tanggal 24 Agustus mendarat di Marunda dan tidak mau mendekati Batavia setelah mengetahui penyerbuan ke benteng tersebut memakan banyak korban. Keesokan harinya, 26 Agustus 1628, datang sebuah pasukan besar di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa.
Dalam menghadapi kekuatan Mataram, Belanda mengorbankan daerah sekitar benteng. Kampung disekitarnya dibakar dan diratakan dengan tanah. Pada waktu pasukan Mataram hendak mendekati benteng, dengan mudahnya Belanda mengusir mereka karena pihak Mataram tidak mendapat tempat persembunyian. Akhirnya, dengan terpaksa pasukan Mataram menarik diri ke daerah-daerah yang agak jauh yang berpohon dan membuat benteng-benteng dari anyaman bambu. Meskipun demikian, mereka berhasil maju karena mereka menggali parit-parit dan membuat benteng-benteng seperti di atas. Adapun taktik VOC untuk menghadapi pasukan Mataram ini adalah dengan mengirim sejumlah tentara yang dilindungi oleh 150 penembak sehingga mereka berhasil mengusir pasukan Mataram dari parit-parit ini. Korban yang tercatat pada peristiwa ini diperkirakan antara tiga puluh sampai empat puluh orang. Pada tanggal 21 September pasukan Mataram mulai menyerang benteng Hollandia. Semalam penuh mereka berusaha untuk dapat menaikinya dengan tangga. Akan tetapi, 24 seradadu Belanda dapat mempertahankannya dengan gigih hingga semua peluru telah habis tertembak. Ketika diketahui bahwa yang menjadi sasaran hanya Hollandi saja, Belanda mulai melancarkan serangan besar dengan 300 serdadu dan 100 orang sipil. Bahkan dalam perkemahan pasukan Mataram ditimbulkan kekacauan. Seluruh pos terdepan orang Mataram dirusak dan dibakar. Kerugian mereka diperkirakan 1.200 sampai 1.300 orang yang gugur, dan dua sampai tiga ribu ditawan. Angka tinggi yang terakhir ini dapat menunjukkan bahwa pasukan Mataram tercerai-berai. Pihak Belanda mendengar kabar bahwa masih tersisa pasukan Mataram sekitar tiga sampai empat ribu orang, dan masih banyak yang berkeliaran di hutan untuk mencari makan. Oleh karena itu, pada 21 Oktober diadakan serangan umum yang dipimpin komandan Batavia, Jacqus Lefebre. Ia dapat mengerahkan kekuatan tentara sebanyak 2.866 orang. Sebuah armada yang terdiri dari dua sampai dengan tujuh sekoci dan beberapa kapal berawak 150 orang dikatakan akan menyerang perkemahan musuh dari sungai, sedangkan pasukan musuh yang lain akan diserbu oleh angkatan darat. Pada pertempuran ini Tumenggung Baureksa beserta putraya dan sekitar 200 pasukan Mataram gugur. Akhirnya, pasukan Mataram yang kedua telah tiba untuk memperkuat pasukan sebelumnya. Pertempuran ini hampir mengalahkan Belanda, karena pasukan Belanda kebanyakan kehabisan peluru. Di pihak Belanda 60 orang gugur dan kehilangan senjata.
Panglima pasukan yang baru bernama Tumenggung Sura Agul-Agul dibantu oleh Tumenggung Mandurareja dan Tumenggung Upasanta. Mereka dikatakan tiba di ambang Batavia dengan harapan kota telah ditaklukkan sehingga mereka hanya tinggal menyita pakaian-pakaian dan beberapa uang. Angkatan kedua ini mengubah taktik dan hendak menjalankan taktik seperti yang digunakan terhadap Surabaya, yaitu dengan membendung Sungai Ciliwung dengan maksud agar Batavia kekurangan air. Namun, usaha ini gagal karena musim penghujan mulai datang. Jatuhnya musim penghujan itu membuat Batavia sangat beruntung, tetapi bagi pasukan Mataram merupakan suatu kerugian, sebab segera timbul macam-macam penyakit. Selain itu pasukan Mataram banyak yang menderita kelaparan dan serba kekurangan. Padahal, telah diperkerjakan sebanyak 3.000 orang selama satu bulan sejauh satu mil dari kota untuk dapat membendung kota, tetapi kemajuan sangat lambat, rakyat merasa lemas karena kelaparan dan serba kekurangan. Satu-satunya serangan pada bagian kedua pengepungan ini adalah usaha baru untuk merebut benteng Hollandia. Hal ini dilakukan pada malam 27 November. Pertama-tama dikerahkan sebanyak 100 pasukan, kemudian dengan 300 pasukan, tetapi beberapa di antara mereka mati tertembak dan sisa pasukan yang lain melarikan diri. Sehingga serangan terhadap Hollandia mengalami kegagalan. Oleh sebab itu, pada tanggal 1 Desember Tumenggung Sura Agul-Agul memerintahkan agar mengikat Mandurareja dan Upa Santa beserta anak buahnya, atas perintah Sultan mereka dihukum mati karena Batavia gagal ditaklukkannya dan karena mereka dianggap tidak bertempur mati-matian. Beberapa di antara mereka dipancung, kebanyakan ditikam dengan tombak dan keris. Ketika pasukan meninggalkan Batavia, mayat-mayat dibiarkan di tanah dan menjadi tontonan eksekusi yang kejam. VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala. Demikianlah berakhir pengepungan Batavia yang pertama, yang akan diulang pada tahun berikutnya oleh Sultan Agung.
Tanda-tanda pertama bahwa orang Mataram akan merencakan sesuatu yang luar biasa adalah penutupan hampir seluruh pantai Jawa atas perintah Tumenggung Baureksa dari Kendal. Penutupan ini telah dimulai pada awal tahun 1628. Berita tentang penyerangan Raja Mataram terhadap Batavia dengan 48.000 atau 100.000 pasukan masih tetap gencar. Pada tanggal 13 April 1628, Kia Rangga tiba di Batavia dengan 14 kapal yang bermuatan beras. Ia memohon bantuan kepada Belanda agar membantu Sultan Agung melawan Banten. Permohonan pertama dipertimbangkan oleh pemerintah pusat, tetapi permohonan selanjutnya ditolak karena semua pelabuhan jelas ditutup dengan ketat. Pada tanggal 22 Agustus 1628, Tumenggung Baureksa (Panglima tertinggi armada Jawa) tiba di pelabuhan Batavia dengan 50 kapal yang lengkap dengan perbekalan yang sangat banyak. Perbekalan tersebut terdiri dari 50 gorab dan kapal-kapal yang memuat 150 ekor ternak, 120 last beras, 10.600 ikat padi, 26.000 kelapa, 5.900 ikat batang gula, dan sebagianya dilengkapi dengan tidak kurang dari 900 awak kapal. Hal ini membuat VOC sangat prihatin, sehingga sebagian hewan diturunkan dan sebagian kapal-kapal besar ditahan di luar pelabuhan yang menimbulkan kemarahan pasukan Mataram. Pada tanggal 24 Agustus, tiba lagi kapal dengan tujuan Malaka. Pihak Belanda berusaha memisahkan kapal ini dari kapal-kapal lainnya agar tidak sempat memberikan senjata kepada teman-temannya. Akan tetapi, usaha ini gagal, kapal-kapal akhirnya dapat berkumpul. Pada pagi hari 20 buah perahu menyerang pasar dan benteng. Orang-orang Mataram yang dengan perahu itu naik ke darat dan mereka berhasil mencapai benteng. Penyerbuan ini berlangsung sampai pagi. Banyak korban yang jatuh. Tujuh perahu yang datang pada tanggal 24 Agustus mendarat di Marunda dan tidak mau mendekati Batavia setelah mengetahui penyerbuan ke benteng tersebut memakan banyak korban. Keesokan harinya, 26 Agustus 1628, datang sebuah pasukan besar di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa.
Dalam menghadapi kekuatan Mataram, Belanda mengorbankan daerah sekitar benteng. Kampung disekitarnya dibakar dan diratakan dengan tanah. Pada waktu pasukan Mataram hendak mendekati benteng, dengan mudahnya Belanda mengusir mereka karena pihak Mataram tidak mendapat tempat persembunyian. Akhirnya, dengan terpaksa pasukan Mataram menarik diri ke daerah-daerah yang agak jauh yang berpohon dan membuat benteng-benteng dari anyaman bambu. Meskipun demikian, mereka berhasil maju karena mereka menggali parit-parit dan membuat benteng-benteng seperti di atas. Adapun taktik VOC untuk menghadapi pasukan Mataram ini adalah dengan mengirim sejumlah tentara yang dilindungi oleh 150 penembak sehingga mereka berhasil mengusir pasukan Mataram dari parit-parit ini. Korban yang tercatat pada peristiwa ini diperkirakan antara tiga puluh sampai empat puluh orang. Pada tanggal 21 September pasukan Mataram mulai menyerang benteng Hollandia. Semalam penuh mereka berusaha untuk dapat menaikinya dengan tangga. Akan tetapi, 24 seradadu Belanda dapat mempertahankannya dengan gigih hingga semua peluru telah habis tertembak. Ketika diketahui bahwa yang menjadi sasaran hanya Hollandi saja, Belanda mulai melancarkan serangan besar dengan 300 serdadu dan 100 orang sipil. Bahkan dalam perkemahan pasukan Mataram ditimbulkan kekacauan. Seluruh pos terdepan orang Mataram dirusak dan dibakar. Kerugian mereka diperkirakan 1.200 sampai 1.300 orang yang gugur, dan dua sampai tiga ribu ditawan. Angka tinggi yang terakhir ini dapat menunjukkan bahwa pasukan Mataram tercerai-berai. Pihak Belanda mendengar kabar bahwa masih tersisa pasukan Mataram sekitar tiga sampai empat ribu orang, dan masih banyak yang berkeliaran di hutan untuk mencari makan. Oleh karena itu, pada 21 Oktober diadakan serangan umum yang dipimpin komandan Batavia, Jacqus Lefebre. Ia dapat mengerahkan kekuatan tentara sebanyak 2.866 orang. Sebuah armada yang terdiri dari dua sampai dengan tujuh sekoci dan beberapa kapal berawak 150 orang dikatakan akan menyerang perkemahan musuh dari sungai, sedangkan pasukan musuh yang lain akan diserbu oleh angkatan darat. Pada pertempuran ini Tumenggung Baureksa beserta putraya dan sekitar 200 pasukan Mataram gugur. Akhirnya, pasukan Mataram yang kedua telah tiba untuk memperkuat pasukan sebelumnya. Pertempuran ini hampir mengalahkan Belanda, karena pasukan Belanda kebanyakan kehabisan peluru. Di pihak Belanda 60 orang gugur dan kehilangan senjata.
Panglima pasukan yang baru bernama Tumenggung Sura Agul-Agul dibantu oleh Tumenggung Mandurareja dan Tumenggung Upasanta. Mereka dikatakan tiba di ambang Batavia dengan harapan kota telah ditaklukkan sehingga mereka hanya tinggal menyita pakaian-pakaian dan beberapa uang. Angkatan kedua ini mengubah taktik dan hendak menjalankan taktik seperti yang digunakan terhadap Surabaya, yaitu dengan membendung Sungai Ciliwung dengan maksud agar Batavia kekurangan air. Namun, usaha ini gagal karena musim penghujan mulai datang. Jatuhnya musim penghujan itu membuat Batavia sangat beruntung, tetapi bagi pasukan Mataram merupakan suatu kerugian, sebab segera timbul macam-macam penyakit. Selain itu pasukan Mataram banyak yang menderita kelaparan dan serba kekurangan. Padahal, telah diperkerjakan sebanyak 3.000 orang selama satu bulan sejauh satu mil dari kota untuk dapat membendung kota, tetapi kemajuan sangat lambat, rakyat merasa lemas karena kelaparan dan serba kekurangan. Satu-satunya serangan pada bagian kedua pengepungan ini adalah usaha baru untuk merebut benteng Hollandia. Hal ini dilakukan pada malam 27 November. Pertama-tama dikerahkan sebanyak 100 pasukan, kemudian dengan 300 pasukan, tetapi beberapa di antara mereka mati tertembak dan sisa pasukan yang lain melarikan diri. Sehingga serangan terhadap Hollandia mengalami kegagalan. Oleh sebab itu, pada tanggal 1 Desember Tumenggung Sura Agul-Agul memerintahkan agar mengikat Mandurareja dan Upa Santa beserta anak buahnya, atas perintah Sultan mereka dihukum mati karena Batavia gagal ditaklukkannya dan karena mereka dianggap tidak bertempur mati-matian. Beberapa di antara mereka dipancung, kebanyakan ditikam dengan tombak dan keris. Ketika pasukan meninggalkan Batavia, mayat-mayat dibiarkan di tanah dan menjadi tontonan eksekusi yang kejam. VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala. Demikianlah berakhir pengepungan Batavia yang pertama, yang akan diulang pada tahun berikutnya oleh Sultan Agung.
Perlawanan Kedua Sultan Agung Melawan VOC 1629
Persiapan untuk serangan kedua dijalankan jauh sebelum serangan itu dimulai dan perhatian dipusatkan pada persoalan logistik kecuali masalah persenjataan dan pengangkutan, yang sangat vital fungsinya adalah beras. Di beberapa tempat sepanjang rute perjalanan barisan diadakan tempat persediaan beras, antara lain di Tegal dan Cirebon. 16 Sementara itu berita tentang persiapan Mataram untuk mengulang pengepungan sudah lama terdengar sampai di Batavia. Raja Cirebon, baik Raja Sepuh maupun Raja Anom dikatakan mengirim informasi secara rahasia ke Batavia.Serangan yang kedua dilakukan pada tahun 1629, akan tetapi serangan yang kedua ini merupakan malapetaka bagi Sultan Agung dan pasukannya. Sebelum pertempuran dimulai, utusan Mataram yang bernama Warga, menawarkan perdamaian dengan VOC, tetapi setelah diketahui maksud Mataram yang sebenarnya, dia dihukum mati. Angkatan perang Sultan Agung berangkat dalam dua gelombang, yang pertama terdiri atas artileri dan amunisi yang berangkat pada pertengahan Mei 1629, adapun gelombang kedua ialah pasukan infanteri yang berangkat pada tanggal 20 juni 1629. Pasukan itu dipimpin oleh Kyai Adipati Juminah, K.A. Purbaya, dan K.A. Puger. Mereka dibantu oleh Tumenggung Singaranu, Raden Aria Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan K.A. Sumenep.
Pada tanggal 4 Juli pihak VOC mulai memusnahkan 200 kapal, 400 rumah, dan satu gunungan padi. Rasa takut timbul sedemikian hebat sehingga tidak ada satu pun kapal milik orang Mataram yang berani muncul. Beberapa minggu kemudian, gunungan padi kedua di Cirebon dimusnahkan. Dengan melihat kejadian-kejadian ini, sebenarnya hasil peperangan sudah dapat diketahui. Apapun usaha dan kemahiran yang dilancarkan pasukan Sultan Agung terhadap VOC, pihak Mataram tetap saja menerima kekalahan. Hal ini disebabkan karena dengan kekurangan makanan seluruh pengepungan hanya bertahan satu bulan. Pada tanggal 8 September pihak yang dikepung melihat bahwa orang Mataram dengan parit perlindungan yang sangat diperkuat telah mendekati benteng Hollandia. Hanya dengan satu sergapan saja, parit-parit pertahanan tersebut dapat dihancurkan. pada tanggal 12 September, benteng Bommel diserbu 200 orang, delapan hingga sembilan orang mulai memanjat dan langsung dipukul mundur. Pada tanggal 14 dan 15 September datang gerobak-gerobak berisi meriam yang ditarik dengan menggunakan 12 sampai dengan 18 ekor kerbau. Pada tanngal 17 September pihak VOC merencakan sebuah sergapan di bawah pimpinan Antonio van Diemen. Sebagian pertahanan pihak Mataram dibakar. Akan tetapi, hujan menolong pihak Mataram dalam usahanya untuk memadamkan kebakaran. Pada hari-hari berikutnya pihak Mataram mempersiapkan persenjataan mereka. Sehingga pada tanggal 21 September, tepat sebulan sesudah orang Mataram pertama muncul di Batavia, tembakan pertama dapat dilepaskan. Pada tanggal 20 September Gubernur Jenderal Jan Pietersz. Coen meninggal dunia karena mendadak sakit. Tepat pada tanggal 27 September pihak Belanda memutuskan untuk tidak lagi mengadakan serangan umum, karena pihak Mataram yang ditawan memberi keterangan tentang bahaya kelaparan yang semakin mengancam. Pada serangan kecil yang terjadi pada 1 Oktober, pihak Mataram kelihatan tidak bersemangat lagi. Keesokan harinya penarikan mundur dimulai. Pasukan yang mundur ini meninggalkan mayat-mayat dan korban, gerobak-gerobak kosong beserta barang-barang yang lain, dan semakin jauh dari kota semakin banyak jumlahnya. Penyerangan di tahun 1629 ini mengakibatkan pihak Mataram mengalami banyak penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kelaparan, tentarannya pun bercerai-berai dalam perjalanan pulang mereka. Sedangkan VOC hanya menderita sedikit kerugian. Ambisi Sultan Agung tidak seimbang dengan kemampuan militer dan logistiknya sehingga telah membawa dirinya ke dalam kehancuran di depan Batavia. Semenjak itu, tentara Mataram tidak pernah lagi menyerang Batavia. Menurut Graff, penyebab kegagalan pihak Mataram terletak pada kurangnya perawatan, kurangnya daya tembak dibandingkan dengan kemampuan orang Eropa, serta postur tubuh orang Jawa yang lebih kecil jika dibandingkan dengan orang Belanda. Juga benteng pertahanan Eropa, bagaimanapun primitif dan kurang efisiensinya, sangat menyulitkan mereka. Misalnya saja serbuan mereka yang gagal terhadap benteng kecil yang dipertahankan oleh kurang lebih 12 orang saja. Meskipun demikian, pasukan Mataram ternyata sangat berdisiplin, mereka berani bertempur, dan dapat menyesuaikan diri dengan cara-cara tempur yang asing baginya, misalnya pengepungan terhadap kota yang diperkuat secara Eropa. Hanya pada detik-detik terakhir, ketika keadaan serba kekurangan mulai terasa dan penyakit meRajalela, semangat dan daya tahan mereka mulai berkurang.
Dampak Kekalahan Sultan Agung Terhadap Kerajaan Mataram
Kegagalan yang sampai dua kali dialami pasukan Mataram di Batavia tentu meninggalkan kesan yang mendalam terhadap Mataram khususnya bagi Sultan Agung. Setelah musibah di Batavia, Sultan Agung memang patut cemas. Pertama, rakyat Priangan melepaskan diri dari kekuasaan Raja karena menyesalkan petaka di Batavia yang meminta banyak korban. Di samping itu, mulai terjadi sejumlah pergolakan di sekitar pusat keRajaan yang mungkin lebih berbahaya. Musibah yang terjadi pada tahun 1628 dan tahun 1629 jelas mencemaskan lapisan masyarakat Mataram. Suatu rangkaian kemenangan yang tidak ada putusnya, sekarang tiba-tiba berhenti. Dikabarkan bahwa suluruh bangsawan Mataram diliputi rasa takut terhadap Batavia, dan mereka menasehati Sultan Agung agar tidak lagi memerintahkan untuk kembali ke Batavia, kecuali bila Sultan Agung ikut serta. Pada tahun 1630, Sultan tidak mampu berbuat sesuatu yang luar biasa. Sepertinya ekspedisi pada tahun-tahun sebelumnya dan terutama pada tahun 1629 sangat melelahkan Sultan Agung sehingga terkesan ia tidak berhasrat untuk berperang lagi, dan ia membutuhkan waktu untuk istirahat sejenak.
Kekalahan Sultan Agung di Batavia juga telah menghancurkan mitos bahwa dirinya tidak dapat dikalahkan. KeRajaannya yang rapuh harus dipersatukan kembali dengan kekuatan militer. Kekalahan tersebut juga mengakibatkanVOC di Jawa semakin kuat dan meRajalela. Sehingga keRajaan Mataram dipaksa untuk mengakuinya. Dengan demikian, visi Sultan Agung untuk menyatukan seluruh pesisir Pulau Jawa gagal terpenuhi. Sementara VOC mengontrol wilayah pesisir Jawa. VOC juga meletakkan fondasi bagi penjajahan oleh pemerintahan Belanda selanjutnya, tidak hanya di Jawa, tetapi juga hampir di seluruh wilayah Nusantara. Pasca kegagalan Sultan Agung untuk merebut Batavia, pihak VOC mulai melancarkan serangan dan secara berkala memperluas wilayah dengan mengambil alih kekuasaan Raja-Raja pribumi. Selain Sultan Agung, tidak ada lagi seorang pun Raja Jawa yang menjadi ancaman serius bagi Belanda hingga masa Pangeran Mangkubumi, dan tidak akan ada lagi kekuatan Jawa yang mengepung Batavia.
Kekalahan Sultan Agung di Batavia juga telah menghancurkan mitos bahwa dirinya tidak dapat dikalahkan. KeRajaannya yang rapuh harus dipersatukan kembali dengan kekuatan militer. Kekalahan tersebut juga mengakibatkanVOC di Jawa semakin kuat dan meRajalela. Sehingga keRajaan Mataram dipaksa untuk mengakuinya. Dengan demikian, visi Sultan Agung untuk menyatukan seluruh pesisir Pulau Jawa gagal terpenuhi. Sementara VOC mengontrol wilayah pesisir Jawa. VOC juga meletakkan fondasi bagi penjajahan oleh pemerintahan Belanda selanjutnya, tidak hanya di Jawa, tetapi juga hampir di seluruh wilayah Nusantara. Pasca kegagalan Sultan Agung untuk merebut Batavia, pihak VOC mulai melancarkan serangan dan secara berkala memperluas wilayah dengan mengambil alih kekuasaan Raja-Raja pribumi. Selain Sultan Agung, tidak ada lagi seorang pun Raja Jawa yang menjadi ancaman serius bagi Belanda hingga masa Pangeran Mangkubumi, dan tidak akan ada lagi kekuatan Jawa yang mengepung Batavia.
Kerajaan Mataram Pasca Kekalahan di Batavia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram melakukan pemberontakan untuk merdeka. Diawali dengan pemberotakan yang dipimpin oleh para guru agama dari daerah Tembayat, pada tahun 1630 Sultan Agung membantai habis-habisan kaum pemberontak tersebut. Pada tahun 1631, Sultan Agung menumpas pusat-pusat perlawanan di Sumedang dan Ukur di Jawa Barat. Kemudian di tahun 1636 terjadi pemberontakan di Giri. Sultan Agung mengutus Pangeran Pekik untuk menaklukkan Giri dan pada tahun 1640 berhasil menundukkan Blambangan. Akhirnya, pada tahun 1646 kira-kira antara awal bulan Februari dan awal bulan April, Sultan Agung wafat. Hal ini diduga karena Sultan Agung terserang suatu penyakit. Pintu-pintu gerbang yang menuju ke istana ditutup untuk mencegah terjadinya kudeta, dan putranya dinyatakan sebagai penggangtinya dengan gelar Susuhunan Amangkurat I. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa sebelum Sultan wafat, ia berpesan kepada Pangeran Purbaya:
Uwa Purbaya, rasa-rasanya saat ini saya sudah waktunya untuk menghadap Allah. Saya hanya berpesan, bahwa yang pantas menjadi Sultan di Mataram ini adalah putra saya yang tua, yaitu pangeran Adipati Arya Mataram, sedangkan putra saya yang muda biarlah turut serta mulia bersama. Uwa saya minta untuk dapat membimbing cucu, putra saya serta seluruh kerabat. Selamat tinggal. Pada masa Amangkurat I (Pengganti Sultan Agung), pengejaran terhadap Giri terus dilakukan dan sebanyak 6000 santri dibantai di alun-alun Plered. ketika Giri telah dikuasai, maka tidak ada satu pun daerah pesisir yang merdeka. Inilah yang kemudian disebut sebagai pemisahan antara agama dan Negara. Jika pada masa-masa sebelumnya, ulama pesisir banyak yang menjadi penasehat Raja, maka semenjak itu ulama-ulama pesisir tidak lagi menjadi penasehat Raja.Amangkurat I memang berbeda dengan ayahnya yakni Sultan Agung yang sangat menentang VOC. Amangkurat I bersikap anti ulama dan melakukan pendekatan serta kerja sama dengan VOC. Sepeninggal Sultan Agung, perpecahan, persaingan, perebutan kekuasaan dan kepentingan pribadi di antara penguasa-penguasa daerah dan di antara kaum bangsawan kembali berkecamuk. Seperti itulah kondisi Mataram pasca pemerintahan Sultan Agung.
Uwa Purbaya, rasa-rasanya saat ini saya sudah waktunya untuk menghadap Allah. Saya hanya berpesan, bahwa yang pantas menjadi Sultan di Mataram ini adalah putra saya yang tua, yaitu pangeran Adipati Arya Mataram, sedangkan putra saya yang muda biarlah turut serta mulia bersama. Uwa saya minta untuk dapat membimbing cucu, putra saya serta seluruh kerabat. Selamat tinggal. Pada masa Amangkurat I (Pengganti Sultan Agung), pengejaran terhadap Giri terus dilakukan dan sebanyak 6000 santri dibantai di alun-alun Plered. ketika Giri telah dikuasai, maka tidak ada satu pun daerah pesisir yang merdeka. Inilah yang kemudian disebut sebagai pemisahan antara agama dan Negara. Jika pada masa-masa sebelumnya, ulama pesisir banyak yang menjadi penasehat Raja, maka semenjak itu ulama-ulama pesisir tidak lagi menjadi penasehat Raja.Amangkurat I memang berbeda dengan ayahnya yakni Sultan Agung yang sangat menentang VOC. Amangkurat I bersikap anti ulama dan melakukan pendekatan serta kerja sama dengan VOC. Sepeninggal Sultan Agung, perpecahan, persaingan, perebutan kekuasaan dan kepentingan pribadi di antara penguasa-penguasa daerah dan di antara kaum bangsawan kembali berkecamuk. Seperti itulah kondisi Mataram pasca pemerintahan Sultan Agung.