-->

Sambutan Rakyat Terhadap kedatangan Jepang

Kedatangan Jepang di Indonesia pada awalnya disambut dengan senang hati oleh rakyat Indonesia. Jepang dielu-elukan sebagai “Saudara Tua” yang dipandang dapat membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan Belanda. Sikap simpatik bangsa Indonesia terhadap Jepang antara lain juga dipengaruhi oleh kepercayaan ramalan Jayabaya. Di mana-mana terdengar ucapan “banzai-banzai” (selamat datang-selamat datang). Sementara itu, pihak tentara Jepang terus melakukan propaganda-propaganda untuk terus menggerakkan dukungan rakyat Indonesia. Setiap kali Radio Tokyo memperdengarkan Lagu Indonesia Raya, di samping Lagu Kimigayo. Bendera yang berwarna Merah Putih juga boleh dikibarkan berdampingan dengan Bendera Jepang Hinomaru. Melalui siaran radio, juga dipropagandakan bahwa barang-barang buatan Jepang itu menarik dan murah harganya, sehingga mudah bagi rakyat Indonesia untuk membelinya.

Simpati dan dukungan rakyat Indonesia itu nampaknya juga karena perilaku Jepang yang sangat membenci Belanda. Di samping itu, diperkuat pula dengan berkembangnya kepercayaan tentang Ramalan Jayabaya. Tentara Jepang juga mempropagandakan bahwa kedatangannya ke Indonesia untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajahan bangsa Barat. Jepang juga akan membantu memajukan rakyat Indonesia. Melalui program Pan-Asia Jepang akan memajukan dan menyatukan seluruh rakyat Asia. Untuk lebih meyakinkan rakyat Indonesia, Jepang menegaskan kembali bahwa Jepang tidak lain adalah “saudara tua”, jadi Jepang dan Indonesia sama. Bahkan untuk meneguhkan progandanya tentang Pan-Asia, Jepang berusaha membentuk perkumpulan yang diberi nama “Gerakan Tiga A”.

Awal kedatangan Jepang di Indonesia secara umum diterima dan ditanggapi baik oleh masyarakat. Hal itu disebabkan di samping propaganda yang dilakukan oleh pemerintah Jepang secara intensif sebelum mereka tiba, yang dikoordinasi melalui Sendenbu (bagian propaganda), juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah kolonial Belanda yang selalu mempertahankan prinsip ketenangan dan keteraturan (rust en orde) dengan tindakan-tindakannya yang sangat mengecewakan kaum pergerakan. Di samping itu bagi masyarakat pedesaan di Jawa terdapat kebanggan terhadap bangsa Jepang yang dapat mengalahkan Sekutu, yang demikian itu membawa pengharapan pulihnya saat – saat normal yang dinantikannya.

Selain itu, masyarakat pedesaan Jawa juga dipengaruhi oleh falsafah ramalan Jayabaya, yang secara tak langsung telah mengarahkan pandangan masyarakat untuk menyambut kedatangan “wong kuntet kuning saka lor” yang hanya akan berkuasa di Indonesia seumur jagung”. Kata – kata itu dipahami sebagai suatu kedaan baru akibat perginya Belanda dan datangnya Jepang. Jepang akan memerintah Indonesia dalam waktu yang tidak lama, dan sesudah itu bangsa Indonesia akan “merdeka”. Pemahaman terhadap ramalan yang berkembang seperti telah memberikan harapan akan hari kemudian yag lebih baik, setidak-tidaknya masa normal yang diharapkannya itu tidak akan lama lagi. Kartodirdjo menyebutnya sebagai motivasi spikulatif teoritis masyarakat Jawa terhadap datangnya masa kebahagiaan.

Pemerintahan Jepang pada awal menjalankan kebijakan pemerintahannya, berpegang pada tiga prinsip utama. Pertama mengusahakan agar mendapatakan dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mendapat dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan ketertiban umum. Kedua, memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan yang telah ada. Ketiga, meletakkan dasar supaya wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhannya sebagai sendiri bagi wilayah selatan. Oleh kariena itulah pemerintah Jepang pada awalnya senantiasa berupaya mencapai dan kemudian mempertahankan keadaan yang stabil.

Pada awal pendudukannya, pemerintah Jepang mengambil dua langkah penting. Peratama menstabilkan kondisi ekonomi, yang terlihat dari upayanya untuk menguasai inflasi ekonomi, menetapkan patokan harga bagi sebagian barang dan menangani secara keras penimbun barang. Kahin menyebutkan langkah itu sebagai langkah menaikkan taraf sosio-ekonomi yang memaksa pemerintah baru ikut menjalankannya. Kedua Jepang pada awal pendudukannya mengalami keadaan berlanjutnya ketidakpastian hukum, sehingga pemerintah Jepang dituntut untuk mengeluarkan aturan produk hukum baru yang disesuaikan dengan kepentingan pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam aspek politik pemerintahan, berdasarkan berita pemerintan nomor 14 maret 1943, dibentuk delapan bagian pada pemerintah pusat dan memberikan tanggungjawab pengelolaan ekonomi pada syu (karasidenan). Pemerintah pada masa pendudukan Jepang diaktifkan kembali untuk memperkuat dukungan terhadap ekonomi perang. Karisidenan (syu), berdasarkan udang-undang nomor 27 tentang perubahan tata pemerintah daerah dan undang-undang nomor 28 tentang aturan Pemerintahan Karisidenan dan Tokebetsu Si secara prinsip mengarahkan pada pengaturan ekonomi. Sedangkan, bidang sosial ekonomi, pemerintah pendudukan Jepang mengadakan pengaturan terhadap distribusi barang-barang yang dianggap penting untuk kepentingan perang seperti besi, tembaga, kuningan dan sebagainya yang diatur dengan Osamu Seirei nomor 19 tahun 1944 tentang mengatur pembagian tembaga tua dan besi tua.

Sesuai dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang untuk membentuk susunan perekonomian baru di Jawa, dilakukan politik penyerahan padi secara paksa. Dasar-dasar politik beras Jepang pada awalnya sebagai berikut :

  1. Padi berada dibawah pengawasan Negara, dan hanya pemerintah yang diizinkan melakukan seluruh proses pungutan dan penyaluran padi.
  2. Para petani harus menjual hasil produksi mereka kepada pemerintah sebanyak kuota yang ditentukan dengan harga yang ditetapkan.
  3. Harga gabah dan beras ditetapkan oleh pemerintah