Didong merupakan salah satu
kesenian tradisional masyarakat Gayo yang berpondasikan unsur vokal, unsur sastra,
dan unsur tari dalam satu paket dimana hal ini tidak semata menunjukkan nilai
estetika dari sebuah kesenian, melainkan juga sebagai sarana pengetahuan dan curahan
nilai-nilai kehidupan bernuansa Islam yang senantiasa terlukis rapi di setiap
lirik lagu yang dinyanyikan oleh para ceh didong. Ceh didong dalam hal ini
tidak semata memiliki suara merdu nan menawan, tetapi juga mengemban sebuah
kewajiban dimana ceh didong harus memiliki pengetahuan agama yang kuat. Dalam perjalanan
sejarah tertulis bahwa didong adalah salah satu media penyebaran dan media
dakwah Islam di Dataran Tinggi Gayo. Didong tidak semata-mata melantunkan syair
yang enak didengar kepada para penonton, tetapi lantunan syair didong itu
sendiri haruslah mengandung nilai-nilai religius sesuai dengan ajaran
Rasulullah SAW. Di poin inilah seorang ceh didong disebut-sebut sebagai seniman
sejati yang memiliki kelebihan karena selain dianugerahi suara merdu juga
mengemban fungsi dalam menyebarkan ajaran Islam.
Pada masa kerajaan sebelum era
kolonialisme Belanda di Gayo seperti di masa kerajaan Linge, kerajaan Isaq, kerajaan
Bukit Kebayakan, serta kerajaan Cik di bebesen, lirik didong sangat kental
dihiasi dengan tamsil kehidupan yang Islami, menjadikan didong sebagai sarana
yang mampu mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih religius. Tingkat kejeniusan
seorang ceh didong dalam hal ini perlu diberi ribuan like jika didong ibarat facebook atau
instagram karena mampu merangkai lirik yang begitu apik dengan susunan kata
berimbuhan dan sekaligus dihiasi dengan majas yang diluar akal logika bahasa
Indonesia. Lirik nya tidak serta merta sebagai lirik kosong bernilai nol tidak
bermakna, namun goresan pena dan lirik yang dituturkan ceh didong mengandung
makna tersirat yang sangat mampu mengubah pola pikir masyarakat yang menonton
didong. Didong tidak semata-mata sekedar sarana hiburan mencari kesenangan
untuk melepas penat, tetapi didong juga termasuk sarana dakwah yang mampu
memberi ilmu agama dalam usaha mendekatkan diri kepada sang maha pencipta alam.
Di era penjajahan baik di masa
Belanda maupun Jepang, mementaskan didong adalah hal yang sangat dilarang oleh
mereka yang berkulit putih lagi kafir durjana perampas sumber daya karena pada dasarnya Belanda dan Jepang sama-sama membenci Islam. Didong
ditakuti bisa menjadi sebuah senjata provokasi rakyat untuk melawan penjajah. Ketika
didong dilarang untuk dipertontonkan, masyarakat angkat senjata melawan kafir
Belanda. Akhirnya dengan pemikiran picik penjajah yang diramu dengan politik kejam Devide Et
Empera dan pikiran kemunafikan C. Snouck Hurgronje, Belanda dapat menggunakan didong
menjadi senjata pemusnah massal dimana didong itu dapat memecah persatuan masyarakat Gayo.
Didong dimodifikasi dengan sangat kasar, diubah dengan memporak-porandakan
unsur religiusnya dan kemudian dapat melahirkan ajang kegilaan dengan sebutan
didong jalu. sebutan “Didong Jalu” yang secara harfiah diartikan didong adu
dimana klub didong yang ada diadu dengan klub lainnya seperti sebuah kompetisi
yang nantinya ada kata menang dan kalah.
Didong besilo kubenengen
Mubeda di ari zemen
Kelop pe eben-eben
Penyaruten obon ken pemenang
Dari lirik didong diatas, jelaslah sudah keadaan didong saat ini dimana pementasan didong jalu lebih menarik perhatian dibanding pementasan didong lainnya. Carut sana carut sini, rendahkan sana rendahkan sini, demi menjadi yang terhebat dan dipandang jago dimata masyarakat. Apakah keadaan ini dapat menjamin kehidupan religius masyarakat, jawabannya tidak. Bayangkan jika dalam pertandingan didong jalu ditonton sama anak-anak yang masih di bawah umur, apa yang terjadi ketika kata-kata yang berisi carutan dan lain sebagainya dilantunkan dan sempat didengar oleh otak-otak kecil polos tersebut. Perubahan moral pasti terjadi secara perlahan maupun cepat.
Masih adakah seseorang sekarang yang peduli dengan didong yang tujuannya menjadi sarana dakwah Islam? jawabannya masih ada. "Syariat Islam Perlu Di Jalankan, Itu Kewajiban Kita Semua, Kita Manusia Tidak Sana Dengan Hewan, Beradap Sopan Menurut Agama" adalah lirik didong berbahasa Indonesia yang diciptakan oleh Ceh Dud Kala Nempan yang berisikan dakwah-dakwah Islam dan keadaan muda-mudi sekarang yang sudah diluar batas kewajaran dalam menjalin pergaulan. Masih banyak ceh-ceh didong yang sama seperti ceh dud, tapi mereka tidak lebih terkenal jika dibandingkan dengan Aman Jul dan lain sebagainya yang kita tahu bagaimana perbedaan didong diantara mereka. Saya punya pendapat yang mungkin bisa menjadi masukan untuk kesenian didong "apa salahnya jika didong jalu juga lebih mengedepankan dakwahnya dibanding penyaruten, pasti lebih nyaman untuk didengarkan".