Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini menuntut kualitas pendidikan yang lebih baik, agar menghasilkan produk pendidikan yang siap menghadapi era globalisasi. Setiap individu yang terlibat dalam pendidikan dituntut berperan secara maksimal guna meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu inti dari pendidikan yang bermutu terletak pada proses pembelajaran di kelas (Nugroho, 2013:1). Selanjutnya Ari Prasetyo (2012:1) menyatakan, “Perkembangan dalam dunia pendidikan pada saat sekarang ini bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter”. Adapun tugas tersebut diemban oleh seluruh lembaga formal dalam dunia pendidikan yang bertujuan mencetak SDM yang berguna bagi masyarakat banyak.
Hakikat pendidikan dalam konteks sekolah adalah bantuan sosial untuk mencapai kepribadian manusia yang paripurna. Pengembangan nilai-nilai moral ditujukan sebagai upaya terencana membentuk manusia Indonesia yang berkarakter di mana nilai-nilai itu disisipkan ke dalam proses belajar-mengajar. Orientasi pendidikan sejarah sejatinya ditujukan untuk memperkuat karakter melalui subtansi materi di dalamnya. Namun, dalam praktek proses pembelajarannya lebih mempersoalkan pada peningkatan prestasi kognitif daripada afektif. Hal inilah yang menyumbang salah satu penyebab gagalnya pendidikan sekolah di Indonesia.
Selanjutnya, Sanjaya (2006:1) menyatakan, “Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari”.
Menanggapi hal tersebut dalam upaya mencapai proses pembelajaran yang diinginkan, maka peran guru dalam mengajar akan menjadi faktor penentu ketercapaian tujuan sehingga guru perlu mengidentifikasi masing-masing anak didiknya dalam proses mereka belajar untuk mengetahui karakter kesenjangan penampilan siswa akibat kurangnya kesempatan mendapat pelatihan, mengidentifikasi bentuk pembelajaran yang tepat, dan menentukan populasi yang dapat disertakan dalam pembelajaran sehingga dapat melahirkan solusi yang tepat sesuai tujuan kurikulum.
Keberhasilan dari proses pendidikan di sekolah dapat ditunjukkan dengan meningkatnya prestasi belajar peserta didik. Hasil belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik dan faktor yang berasal dari luar diri dan lingkungan. Faktor yang datang dari dalam diri peserta didik berupa kemampuan motivasi belajar, kebiasaan belajar, faktor fisik dan psikis. Faktor yang datang dari luar yaitu sesuatu yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik di sekolah yaitu kualitas pembelajaran (Sudjana, 2005:39 dalam Nugroho, 2013:2).
Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama (Santrock, 2010 dalam jurnal Fauziah,dkk, 2017:31). Di dalam dunia pendidikan, pada hakekatnya seorang guru bertugas mencerdaskan bangsa dalam suatu bentuk dalam pendidikan formal. Setiap usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari faktor penghambat dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Guru merupakan faktor dominan dalam menentukan keberhasilan proses belajar mengajar. Seorang guru bukan hanya berperan sebagai fasilitator dan mediator, akan tetapi juga dituntut untuk dapat berperan sebagai motivator yang dapat membangkitkan semangat dan dorongan siswa dalam belajar dengan menggunakan berbagai keterampilan mengajar guru yang sesuai serta menunjang pembentukan kompetensi dasar siswa yang lebih baik dari segi pengetahuan, keterampilan maupun sikapnya.
Motivasi belajar bagi siswa sangatlah penting, karena dengan adanya motivasi siswa akan lebih mempersiapkan diri dalam belajar, siswa akan menjadi sadar bahwa ia harus dapat mencapai tujuan belajarnya yakni ingin mendapatkan hasil yang maksimal. Di samping itu, melalui motivasi siswa dapat mengarahkan kegiatan belajarnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Sardiman (2011:75) "hasil belajar akan optimal kalau ada motivasi yang tepat". Dari pernyataan tersebut bisa dilihat bahwa motivasi bisa juga berpengaruh pada prestasi peserta didik dalam proses belajar mengajar di sekolah.
Selain sebagai sarana menumbuhkan motivasi belajar siswa, dalam pembelajaran di sekolah guru hendaknya juga memilih dan menggunakan model, strategi, metode pendekatan, dan teknik yang melibatkan peserta didik aktif di dalam belajar. Untuk menumbuhkan minat dan semangat peserta didik dalam mempelajari Sejarah perlu dicoba model baru dalam pembelajaran Sejarah salah satunya menggunakan media yang searah dengan topik pembelajaran yang diajarkan oleh guru kepada peserta didik.
Media sangat diperlukan dalam proses pembelajaran karena mempunyai kemampuan atau kompetensi yang dapat dimanfaatkan. Media yang efektif adalah media yang mampu mengkomunikasikan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pemberi pesan kepada penerima pesan. Jadi proses penerimaan pesan sangat dipengaruhi oleh media yang digunakan. Pemilihan media pembelajaran harus sesuai dengan komponen perencanaan pembelajaran, seperti tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode dan pendekatan, evaluasi dan sebagainya. Salah satu media yang dapat digunakan untuk menunjang keberhasilan proses belajar mengajar adalah menggunakan media pembelajaran audio visual.
Istilah audio visual bermakna sejumlah peralatan yang dipakai oleh para guru dalam menyampaikan konsep, gagasan, dan pengalaman yang ditangkap oleh indra pandang dan pendengaran. Penekanan utama dalam pengajaran audio visual adalah “pada nilai belajar yang diperoleh melalui pengalaman konkret, tidak hanya didasarkan atas kata-kata belaka” (Sudjana, 2003:8 dalam Nugroho, 2013:11).
Sejarah mengandung arti suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia. Menurut Kuntowijoyo (2005:18) "Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu", sedangkan dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Moh. Ali mempertegas pengertian sejarah, yaitu jumlah perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita; cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita; ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan kejadian dan peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
Manfaat dari belajar sejarah pada umumnya adalah kita dapat mengetahui berbagai urutan peristiwa masa lalu dan mengambil berbagai pelajaran berharga untuk digunakan sebagai bekal dalam kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), materi pada mata pelajaran sejarah meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
1. Prinsip dasar ilmu sejarah
2. Peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia
3. Perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia
4. Pergerakan Kebangsaan
5. Proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia
Dalam konteks pelajaran sejarah di sekolah, alternatif yang kiranya lebih perlu dikedepankan adalah mengembangkan reorientasi sasaran/tujuan serta semangat pengajaran sejarah baru. Pengajaran sejarah seyogyanya tidak lagi terlalu menekankan pengajaran hafalan fakta serta afektif doktriner tetapi lebih syarat dengan latihan berpikir historis kritis analitis (Widia, 2002:3 dalam Nugroho, 2013:6). Pendekatan baru ini peserta didik (terutama di jenjang sekolah yang lebih tinggi) dibiasakan untuk melihat atau menerima gambaran sejarah dengan logika historis kritis (tidak pasif represif), sehingga tidak harus selalu dituntun oleh guru (yang sering sudah terdistorsi pula) dalam memaknai berbagai peristiwa sejarah yang dipelajarinya (Widia, 2002:3-4 dalam Nugroho, 2013:6).
Mata pelajaran Sejarah dalam kurikulum 2013 merupakan mata pelajaran yang dibelajarkan bagi siswa jenjang pendidikan menengah SMA, MA, dan SMK. Telah dilaksanakan observasi awal terkait proses pembelajarannya di kelas X IPA 5 SMA N 1 Semarang. Menurut Drs. Sugeng Purwoko, guru yang mengampu mata pelajaran ini, strategi yang sering diterapkan adalah “Tanya Jawab” dan “Diskusi Kelompok” berlandaskan CBSA. Tanya jawab yang dimaksud oleh narasumber ialah penerapan teknik tanya jawab setelah siswa melaksanakan kegiatan literasi sumber pelajaran dimana ketika siswa dihadapkan dengan materi yang sulit dimengerti maka siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menanya kepada pendidik, disini pendidik tidak serta merta langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan, tetapi menyerahkan atau melemparkan pertanyaan tersebut terlebih dahulu kepada peserta didik lainnya dimana tugas pendidik disini hanya meluruskan jawaban-jawaban dari peserta didik lainnya. Kegiatan tanya jawab sebenarnya baik untuk diterapkan karena mengajak siswa berpikir kritis namun hal ini tentu tidak selalu berjalan mulus. Dengan tanya jawab kadang-kadang pembicaraan menyimpang dari pokok persoalan bila dalam mengajukan pertanyaan, siswa terkadang menyinggung hal-hal lain walaupun masih ada hubungannya dengan pokok yang dibicarakan.
Selanjutnya mengenai diskusi kelompok, dikatakan oleh narasumber bahwa selama ini pembelajaran diskusi kelompok pada kelas X IPA 5 juga sering diterapkan, hal ini dilakukan untuk meningkatkan minat belajar siswa dalam mempelajari sejarah apalagi di dalam kurikulum 2013 dituntut bahwa guru bukan lagi menjadi sentral dalam proses belajar mengajar. Peserta didik dituntut untuk mengembangkan dirinya sendiri dibantu oleh teman-temannya dalam proses pemecahan sebuah masalah. Namun kendala yang dihadapi oleh guru ialah waktu masuk jam pelajaran dan kadangkala ada siswa di dalam kelompok mengerjakan sendiri tugas yang diberikan tanpa mengajak anggota kelompoknya bersama dalam mencari jawaban karena memiliki tingkat kecerdasan di atas anggota kelompoknya.
Sebagai salah satu sekolah favorit di Kota Semarang, tentu peserta didik yang duduk di bangku SMA Negeri 1 Semarang adalah anak-anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tentu hal ini merupakan salah satu faktor yang sangat membantu berjalannya proses pembelajaran secara maksimal di dalam kelas dikarenakan dengan sedikit saja guru menjelaskan materi, maka peserta didik mampu dengan cepat mengolah dan menganalisis materi yang disampaikan oleh guru. Setelah melaksanakan wawancara dengan guru pengampu mata pelajaran sejarah, selanjutnya peneliti melaksanakan observasi di ruang kelas yakni kelas X IPA 5 dimana peneliti mengajukan pertanyaan seputar tanggapan peserta didik ketika masuk jam pelajaran sejarah. Ketika itu jam pelajaran sejarah dimulai pukul 11.15-12.45 WIB pada hari rabu. Adapun jawaban dari peserta didik yang dapat peneliti rangkum ialah pelajaran sejarah mereka pelajari karena merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah yang bisa membantu mereka untuk memiliki rasa nasionalisme terhadap negara Indonesia karena dengan pelajaran tersebut mereka mampu mengenal lebih dekat dengan para pahlawan Indonesia dan juga dengan mempelajari sejarah, maka mereka bisa mengenal bagaimana perbandingan kehidupan masa lalu dan masa sekarang. Menurut mereka mata pelajaran sejarah juga mudah dipahami dan dimengerti karena tidak berkutat pada rumus seperti dalam pelajaran matematika, namun ketika ditanyakan mengenai tanggal terjadinya sebuah peristiwa sejarah, sebagian dari mereka banyak yang tidak mampu menjawab dengan benar. Jam masuk mata pelajaran juga merupakan sebuah masalah dimana pada saat jam siang seperti itu peserta didik sudah lelah dan membuat minat belajar mereka berkurang. Harus ada satu stimulus yang diberikan agar peserta didik memiliki semangat belajar. Salah satu cara yang dapat digunakan ialah melalui penggunaan media audio visual yang dapat menarik perhatian peserta didik untuk belajar dengan penuh semangat.
Untuk dapat menyampaikan pesan yang terkandung dalam pelajaran Sejarah dibutuhkan suatu metode yang dapat membangkitkan motivasi belajar pada pelajaran tersebut sehingga apa yang menjadi tujuan dan target dapat terpenuhi. Dan yang terpenting dapat membekas pada diri siswa sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan setiap hari peserta didik. Bagi guru yang memberikan pelajaran ini harus mampu menyampaikan pesan yang terdapat pada setiap materi, apabila menggunakan metode yang membuat siswa merasa bosan dan jenuh akan mengakibatkan tujuan dari pembelajaran tidak tercapai dengan baik.
Selanjutnya, keberhasilan dari pembelajaran sangat ditentukan oleh pemilihan metode belajar yang ditentukan oleh guru sebab dengan penyajian pembelajaran secara menarik akan dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didik, sebaliknya juka pembelajaran itu disajikan dengan cara yang kurang menarik, membuat motivasi peserta didik rendah. Untuk menciptakan pembelajaran yang menarik, upaya yang harus dilakukan guru adalah memilih model pembelajaran dan media pembelajaran yang dapat merangsang keaktifan peserta didik sesuai dengan materi pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas peserta didik dalam belajar sehingga prestasi belajar pun dapat ditingkatkan sesuai dengan kehendak dan keinginan peserta didik.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa penggunaan media Audio Visual dapat dijadikan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi dan prestasi peserta didik. Oleh karena itu peneliti memberikan judul “Upaya Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Pada Kelas X IPA 5 Dengan Media Audio Visual di SMA Negeri 1 Semarang Tahun Ajaran 2017-2018”.
Hakikat pendidikan dalam konteks sekolah adalah bantuan sosial untuk mencapai kepribadian manusia yang paripurna. Pengembangan nilai-nilai moral ditujukan sebagai upaya terencana membentuk manusia Indonesia yang berkarakter di mana nilai-nilai itu disisipkan ke dalam proses belajar-mengajar. Orientasi pendidikan sejarah sejatinya ditujukan untuk memperkuat karakter melalui subtansi materi di dalamnya. Namun, dalam praktek proses pembelajarannya lebih mempersoalkan pada peningkatan prestasi kognitif daripada afektif. Hal inilah yang menyumbang salah satu penyebab gagalnya pendidikan sekolah di Indonesia.
Selanjutnya, Sanjaya (2006:1) menyatakan, “Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari”.
Menanggapi hal tersebut dalam upaya mencapai proses pembelajaran yang diinginkan, maka peran guru dalam mengajar akan menjadi faktor penentu ketercapaian tujuan sehingga guru perlu mengidentifikasi masing-masing anak didiknya dalam proses mereka belajar untuk mengetahui karakter kesenjangan penampilan siswa akibat kurangnya kesempatan mendapat pelatihan, mengidentifikasi bentuk pembelajaran yang tepat, dan menentukan populasi yang dapat disertakan dalam pembelajaran sehingga dapat melahirkan solusi yang tepat sesuai tujuan kurikulum.
Keberhasilan dari proses pendidikan di sekolah dapat ditunjukkan dengan meningkatnya prestasi belajar peserta didik. Hasil belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik dan faktor yang berasal dari luar diri dan lingkungan. Faktor yang datang dari dalam diri peserta didik berupa kemampuan motivasi belajar, kebiasaan belajar, faktor fisik dan psikis. Faktor yang datang dari luar yaitu sesuatu yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik di sekolah yaitu kualitas pembelajaran (Sudjana, 2005:39 dalam Nugroho, 2013:2).
Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama (Santrock, 2010 dalam jurnal Fauziah,dkk, 2017:31). Di dalam dunia pendidikan, pada hakekatnya seorang guru bertugas mencerdaskan bangsa dalam suatu bentuk dalam pendidikan formal. Setiap usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari faktor penghambat dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Guru merupakan faktor dominan dalam menentukan keberhasilan proses belajar mengajar. Seorang guru bukan hanya berperan sebagai fasilitator dan mediator, akan tetapi juga dituntut untuk dapat berperan sebagai motivator yang dapat membangkitkan semangat dan dorongan siswa dalam belajar dengan menggunakan berbagai keterampilan mengajar guru yang sesuai serta menunjang pembentukan kompetensi dasar siswa yang lebih baik dari segi pengetahuan, keterampilan maupun sikapnya.
Motivasi belajar bagi siswa sangatlah penting, karena dengan adanya motivasi siswa akan lebih mempersiapkan diri dalam belajar, siswa akan menjadi sadar bahwa ia harus dapat mencapai tujuan belajarnya yakni ingin mendapatkan hasil yang maksimal. Di samping itu, melalui motivasi siswa dapat mengarahkan kegiatan belajarnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Sardiman (2011:75) "hasil belajar akan optimal kalau ada motivasi yang tepat". Dari pernyataan tersebut bisa dilihat bahwa motivasi bisa juga berpengaruh pada prestasi peserta didik dalam proses belajar mengajar di sekolah.
Selain sebagai sarana menumbuhkan motivasi belajar siswa, dalam pembelajaran di sekolah guru hendaknya juga memilih dan menggunakan model, strategi, metode pendekatan, dan teknik yang melibatkan peserta didik aktif di dalam belajar. Untuk menumbuhkan minat dan semangat peserta didik dalam mempelajari Sejarah perlu dicoba model baru dalam pembelajaran Sejarah salah satunya menggunakan media yang searah dengan topik pembelajaran yang diajarkan oleh guru kepada peserta didik.
Media sangat diperlukan dalam proses pembelajaran karena mempunyai kemampuan atau kompetensi yang dapat dimanfaatkan. Media yang efektif adalah media yang mampu mengkomunikasikan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pemberi pesan kepada penerima pesan. Jadi proses penerimaan pesan sangat dipengaruhi oleh media yang digunakan. Pemilihan media pembelajaran harus sesuai dengan komponen perencanaan pembelajaran, seperti tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode dan pendekatan, evaluasi dan sebagainya. Salah satu media yang dapat digunakan untuk menunjang keberhasilan proses belajar mengajar adalah menggunakan media pembelajaran audio visual.
Istilah audio visual bermakna sejumlah peralatan yang dipakai oleh para guru dalam menyampaikan konsep, gagasan, dan pengalaman yang ditangkap oleh indra pandang dan pendengaran. Penekanan utama dalam pengajaran audio visual adalah “pada nilai belajar yang diperoleh melalui pengalaman konkret, tidak hanya didasarkan atas kata-kata belaka” (Sudjana, 2003:8 dalam Nugroho, 2013:11).
Sejarah mengandung arti suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia. Menurut Kuntowijoyo (2005:18) "Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu", sedangkan dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Moh. Ali mempertegas pengertian sejarah, yaitu jumlah perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita; cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita; ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan kejadian dan peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
Manfaat dari belajar sejarah pada umumnya adalah kita dapat mengetahui berbagai urutan peristiwa masa lalu dan mengambil berbagai pelajaran berharga untuk digunakan sebagai bekal dalam kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), materi pada mata pelajaran sejarah meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
1. Prinsip dasar ilmu sejarah
2. Peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia
3. Perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia
4. Pergerakan Kebangsaan
5. Proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia
Dalam konteks pelajaran sejarah di sekolah, alternatif yang kiranya lebih perlu dikedepankan adalah mengembangkan reorientasi sasaran/tujuan serta semangat pengajaran sejarah baru. Pengajaran sejarah seyogyanya tidak lagi terlalu menekankan pengajaran hafalan fakta serta afektif doktriner tetapi lebih syarat dengan latihan berpikir historis kritis analitis (Widia, 2002:3 dalam Nugroho, 2013:6). Pendekatan baru ini peserta didik (terutama di jenjang sekolah yang lebih tinggi) dibiasakan untuk melihat atau menerima gambaran sejarah dengan logika historis kritis (tidak pasif represif), sehingga tidak harus selalu dituntun oleh guru (yang sering sudah terdistorsi pula) dalam memaknai berbagai peristiwa sejarah yang dipelajarinya (Widia, 2002:3-4 dalam Nugroho, 2013:6).
Mata pelajaran Sejarah dalam kurikulum 2013 merupakan mata pelajaran yang dibelajarkan bagi siswa jenjang pendidikan menengah SMA, MA, dan SMK. Telah dilaksanakan observasi awal terkait proses pembelajarannya di kelas X IPA 5 SMA N 1 Semarang. Menurut Drs. Sugeng Purwoko, guru yang mengampu mata pelajaran ini, strategi yang sering diterapkan adalah “Tanya Jawab” dan “Diskusi Kelompok” berlandaskan CBSA. Tanya jawab yang dimaksud oleh narasumber ialah penerapan teknik tanya jawab setelah siswa melaksanakan kegiatan literasi sumber pelajaran dimana ketika siswa dihadapkan dengan materi yang sulit dimengerti maka siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menanya kepada pendidik, disini pendidik tidak serta merta langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan, tetapi menyerahkan atau melemparkan pertanyaan tersebut terlebih dahulu kepada peserta didik lainnya dimana tugas pendidik disini hanya meluruskan jawaban-jawaban dari peserta didik lainnya. Kegiatan tanya jawab sebenarnya baik untuk diterapkan karena mengajak siswa berpikir kritis namun hal ini tentu tidak selalu berjalan mulus. Dengan tanya jawab kadang-kadang pembicaraan menyimpang dari pokok persoalan bila dalam mengajukan pertanyaan, siswa terkadang menyinggung hal-hal lain walaupun masih ada hubungannya dengan pokok yang dibicarakan.
Selanjutnya mengenai diskusi kelompok, dikatakan oleh narasumber bahwa selama ini pembelajaran diskusi kelompok pada kelas X IPA 5 juga sering diterapkan, hal ini dilakukan untuk meningkatkan minat belajar siswa dalam mempelajari sejarah apalagi di dalam kurikulum 2013 dituntut bahwa guru bukan lagi menjadi sentral dalam proses belajar mengajar. Peserta didik dituntut untuk mengembangkan dirinya sendiri dibantu oleh teman-temannya dalam proses pemecahan sebuah masalah. Namun kendala yang dihadapi oleh guru ialah waktu masuk jam pelajaran dan kadangkala ada siswa di dalam kelompok mengerjakan sendiri tugas yang diberikan tanpa mengajak anggota kelompoknya bersama dalam mencari jawaban karena memiliki tingkat kecerdasan di atas anggota kelompoknya.
Sebagai salah satu sekolah favorit di Kota Semarang, tentu peserta didik yang duduk di bangku SMA Negeri 1 Semarang adalah anak-anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tentu hal ini merupakan salah satu faktor yang sangat membantu berjalannya proses pembelajaran secara maksimal di dalam kelas dikarenakan dengan sedikit saja guru menjelaskan materi, maka peserta didik mampu dengan cepat mengolah dan menganalisis materi yang disampaikan oleh guru. Setelah melaksanakan wawancara dengan guru pengampu mata pelajaran sejarah, selanjutnya peneliti melaksanakan observasi di ruang kelas yakni kelas X IPA 5 dimana peneliti mengajukan pertanyaan seputar tanggapan peserta didik ketika masuk jam pelajaran sejarah. Ketika itu jam pelajaran sejarah dimulai pukul 11.15-12.45 WIB pada hari rabu. Adapun jawaban dari peserta didik yang dapat peneliti rangkum ialah pelajaran sejarah mereka pelajari karena merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah yang bisa membantu mereka untuk memiliki rasa nasionalisme terhadap negara Indonesia karena dengan pelajaran tersebut mereka mampu mengenal lebih dekat dengan para pahlawan Indonesia dan juga dengan mempelajari sejarah, maka mereka bisa mengenal bagaimana perbandingan kehidupan masa lalu dan masa sekarang. Menurut mereka mata pelajaran sejarah juga mudah dipahami dan dimengerti karena tidak berkutat pada rumus seperti dalam pelajaran matematika, namun ketika ditanyakan mengenai tanggal terjadinya sebuah peristiwa sejarah, sebagian dari mereka banyak yang tidak mampu menjawab dengan benar. Jam masuk mata pelajaran juga merupakan sebuah masalah dimana pada saat jam siang seperti itu peserta didik sudah lelah dan membuat minat belajar mereka berkurang. Harus ada satu stimulus yang diberikan agar peserta didik memiliki semangat belajar. Salah satu cara yang dapat digunakan ialah melalui penggunaan media audio visual yang dapat menarik perhatian peserta didik untuk belajar dengan penuh semangat.
Untuk dapat menyampaikan pesan yang terkandung dalam pelajaran Sejarah dibutuhkan suatu metode yang dapat membangkitkan motivasi belajar pada pelajaran tersebut sehingga apa yang menjadi tujuan dan target dapat terpenuhi. Dan yang terpenting dapat membekas pada diri siswa sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan setiap hari peserta didik. Bagi guru yang memberikan pelajaran ini harus mampu menyampaikan pesan yang terdapat pada setiap materi, apabila menggunakan metode yang membuat siswa merasa bosan dan jenuh akan mengakibatkan tujuan dari pembelajaran tidak tercapai dengan baik.
Selanjutnya, keberhasilan dari pembelajaran sangat ditentukan oleh pemilihan metode belajar yang ditentukan oleh guru sebab dengan penyajian pembelajaran secara menarik akan dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didik, sebaliknya juka pembelajaran itu disajikan dengan cara yang kurang menarik, membuat motivasi peserta didik rendah. Untuk menciptakan pembelajaran yang menarik, upaya yang harus dilakukan guru adalah memilih model pembelajaran dan media pembelajaran yang dapat merangsang keaktifan peserta didik sesuai dengan materi pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas peserta didik dalam belajar sehingga prestasi belajar pun dapat ditingkatkan sesuai dengan kehendak dan keinginan peserta didik.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa penggunaan media Audio Visual dapat dijadikan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi dan prestasi peserta didik. Oleh karena itu peneliti memberikan judul “Upaya Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa Pada Kelas X IPA 5 Dengan Media Audio Visual di SMA Negeri 1 Semarang Tahun Ajaran 2017-2018”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan identifikasi masalah di atas, rumusan masalah yang akan diulas dalam penelitian ini adalah :
“Apakah penggunaan media Audio Visual dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa kelas X IPA 5 di SMA N 1 Semarang Tahun Ajaran 2017-2018?”
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan identifikasi masalah di atas, rumusan masalah yang akan diulas dalam penelitian ini adalah :
“Apakah penggunaan media Audio Visual dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa kelas X IPA 5 di SMA N 1 Semarang Tahun Ajaran 2017-2018?”
Tujuan Penelitian
Berdasarkan judul dan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat motivasi belajar dan prestasi belajar siswa kelas X IPA 5 SMA N 1 Semarang menggunakan media Audio Visual.
Manfaat Penelitian
1. Bagi peserta didik
Penelitian ini bermanfaat bagi peserta didik yang kebanyakan kurang paham terhadap mata pelajaran sejarah dan dengan media Audio Visual dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa.
2. Bagi guru
Penggunaan media Audio Visual dapat menjadi alternatif bagi guru dalam menyajikan materi pembelajaran sejarah agar performa belajar di kelas tetap tinggi.
Batasan Istilah
Perlu adanya pembatasan istilah supaya pelaksanaan dan proses penelitian dapat lebih terfokus dan terarah. Pembatasan istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran adalah peningkatan motivasi belajar dan prestasi belajar siswa.
b. Media yang digunakan untuk menunjang motivasi dan prestasi peserta didik adalah media Audio Visual.
c. Kompetensi dasar yang akan diajarkan adalah 3.7 yaitu menganalisis berbagai teori tentang proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia.
Berdasarkan judul dan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat motivasi belajar dan prestasi belajar siswa kelas X IPA 5 SMA N 1 Semarang menggunakan media Audio Visual.
Manfaat Penelitian
1. Bagi peserta didik
Penelitian ini bermanfaat bagi peserta didik yang kebanyakan kurang paham terhadap mata pelajaran sejarah dan dengan media Audio Visual dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa.
2. Bagi guru
Penggunaan media Audio Visual dapat menjadi alternatif bagi guru dalam menyajikan materi pembelajaran sejarah agar performa belajar di kelas tetap tinggi.
Batasan Istilah
Perlu adanya pembatasan istilah supaya pelaksanaan dan proses penelitian dapat lebih terfokus dan terarah. Pembatasan istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran adalah peningkatan motivasi belajar dan prestasi belajar siswa.
b. Media yang digunakan untuk menunjang motivasi dan prestasi peserta didik adalah media Audio Visual.
c. Kompetensi dasar yang akan diajarkan adalah 3.7 yaitu menganalisis berbagai teori tentang proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia.
Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Pembelajaran Sejarah Indonesia
Pengertian pembelajaran diambil dari kata dasar belajar yang berarti suatu proses perubahan perilaku seseorang yang diakibatkan oleh sebuah pengalaman (Sujarwo, 2014: 1). Menurut Burton pengalaman tersebut diperoleh dari adanya interaksi dengan lingkungan sehingga seseorang mampu menyesuaikan dengan lingkungannya. Singer 1968 menambahkan bahwa hasil perubahan tersebut membawa seseorang pada perilaku yang relatif tetap (Siregar dan Nara, 2014:4)
Manusia sebagai makhluk sosial dan individu meniscayakan dirinya untuk mengembangkan potensi yang ada dari dirinya sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Tujuannya bermacam-macam sebagai mana oleh Sardiman dibedakan menjadi tiga jenis tujuan belajar yakni memperoleh pengetahuan, memahami konsep dan keterampilan, dan pembentukan sikap (Sardiman, 2012: 26-28).
Belajar merupakan suatu proses perubahahan tingkah laku pada diri manusia yang bertahan dalam tempo lama. Hasil belajar bukan hanya bertumpu pada stuktur kognitif saja melainkan afektif dan psikomotorik (Siregar dan Nara, 2014: 5-6). Hasil belajar merupakan indikator yang menunjukan bahwa seseorang benar-benar belajar. Namun pada prinsipnya seseorang yang dikatakan belajar harus menunjukan ciri perilaku tertentu seperti adanya kemampuan baru atau perubahan baik yang bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), maupun nilai dan sikap (afektif). Perubahan tersebut pada faktanya tidak berlangsung sesaat, melainkan menetap dan perubahan tersebut tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik atau kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan (Siregar dan Nara, 2014: 5).
Banyak pengertian istilah “pembelajaran, Suyono dan Hariyanto (2011:183) mengartikan bahwa pembelajaran sebagai serangkaian kegiatan guru dalam menyampaikan materi serta nilai-nilainya kepada siswa sebagai proses pendewasaan. Lanjut Rahyubi (2013: 6-7) mengartikan bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa melalui lingkungan belajar agar siswa dapat menguasai ilmu dan pengetahuan, sedang Sanjaya (2006:26) mengartikan pembelajaran sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa dengan memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada baik yang berasal dari dalam diri siswa seperti bakat dan minat maupun dari luar diri siswa seperti sarana dan lingkungan sebagai upaya mencapai tujuan belajar yang telah direncanakan.
Pembelajaran (instruction) merupakan akumulasi dari konsep mengajar (teaching) dan konsep belajar (learning) (Daryanto dan Muljo Rahadjo, 2012: 19). Menurut Bloom (dalam Sujarwo, 2014: 6) tujuan instructional meliputi tiga aspek, yaitu 1) aspek kognitif (menitik beratkan kemampuan berpikir), 2) aspek psikomotor (kemampuan gerak fisik) dan 3) aspek afektif (sikap). Pada umumnya pembelajaran di kelas, dalam kaitannya dengan transfer pengetahuan dan keterampilan, kedudukan guru adalah sebagai pengajar dan siswa sebagai subjek belajar. Menurut Oemar Hamalik (2011: 54-55) mengajar merupakan: 1) kegiatan menyampaikan pengetahuan dari guru ke siswa, 2) suatu proses saling mempengaruhi antara guru dan siswa, 3) suatu sistem yang kompleks meliputi: profesi guru, perkembangan siswa, tujuan pendidikan, program pendidikan, perencanaan pengajaran, bimbingan di sekolah dan hubungan sosial, dan 4) proses pendidikan. Sedangkan prinsip pengajaran yang umum dalam pembelajaran menurut Shuell (1990 dalam Schunk 2012: 28) adalah: 1) siswa berproses melalui tahapan/fase-fase, 2) materi harus disajikan dalam langkah-langkah kecil, 3) siswa perlu berlatih, mendapat umpan balik, dan memperoleh tinjauan, 4) model-model sosial memfasilitasi pembelajaran, 5) faktor motivasional dan kontekstual mempengaruhi pembelajaran. Jadi pembelajaran merupakan suatu pengkondisian siswa dimana transfer pengetahuan dari guru ke siswa dilakukan secara bertahap dengan memanfaatkan bahan ajar, dan lingkungan belajar untuk mempengaruhi perubahan perilaku siswa dalam jangka waktu panjang.
Sejarah merupakan “ratu” atau “ibu” dari ilmu-ilmu sosial. Hal itu karena ilmu sejarah lebih dulu lahir daripada ilmu-ilmu sosial dan humaniora lainnya. Secara istilah sejarah atau history (Inggris) merupakan paduan kata yang diserap dari daerah Yunani. History berasal dari kata benda istoria, yang berarti ilmu. Menurut definisi yang paling umum saat ini, kata history berarti masa lampau manusia (Gottschalk, 2008:33). Menurut March Bloch sejarah merupakan ilmu tentang manusia yang hidup di lingkungan waktu (Kochhar, 2008: 2). Sedangkan Sidi Gazalba (1981:13) mendefinisikan sejarah sebagai gambaran masa lalu manusia sebagai mahluk sosial yang disusun secara ilmiah meliputi urutan fakta masa lalu dengan menafsirkan dan memberi pengertian tetang masa lalu.
Mulanya ilmu sejarah bergerak di bidangnya sendiri, yaitu humaniora kemudian seiring berkembangnya ilmu sosial, sejarah ikut berkembang. Pengaruh ilmu-ilmu sosial terhadap sejarah sangat besar artinya. Tanpa ilmu sosial sejarah hanyar bergerak scara konvensional sehingga karya sejarah baru tidak memiliki wawasan permasalahan luas. Artinya sejarah tidak mampu memberi penjelasan secara menyeluruh. Terkait dengan berkembangnya ilmu sejarah maka lahirlah aliran-aliran sejarah baru. Maka perlu dilakukan kategori jenis sejarah agar muda diidentifikasi dimana Pranoto membaginya menjadi 22 jenis, dua diantaranya adalah sejarah nasional dan sejarah daerah (Pranoto, 2010: 67).
Terkait dengan ulasan yang sedang dibahas yakni definisi sejarah nasional, menurut Sartono Kartodirdjo (2014: 63) sejarah nasional adalah sejarah yang menceritakan kehidupan suatu negara nasional. Kemudian Pranoto (2010: 90) mengartikan bahwa sejarah nasional adalah cerita tentang proses integrasi politik yang membentuk sebuah negara nasional. Sedangkan R. Moh. Ali (2005: 207) mendefinisikan sejarah nasional sebagai sejarah yang muncul dari sifat subjektif di bawah alam sadar manusia yang disebabkan oleh gerak-jiwa-nasional. Maka dari definisi ketiga tokoh di atas dapat dimbil kesimpulan bahwa sejarah nasional merupakan sejarah yang mengisahkan tentang kehidupan suatu negara nasional yang tercipta akibat kesadaran nasional.
Sejarah nasional Indonesia tercipta bersamaan dengan masa Revolusi, di mana munculnya tradisi historiografi nasionalistik difungsikan untuk menyadarkan bangsa Indonesia yang terjajah selama berabad-abad sebagai pengetahuan bagi bangsa Indonesia tentang pencapaian dari usaha memperjuangkan kemerdekaannya dari waktu ke waktu (Nordholt, dkk., 2013: 264). Dalam penulisannya, sejarah Indonesiasentris berusaha menantang fakta-fakta terkait isi dari sejarah Nerlandosentris. Tujuannya tidak lain untuk menegaskan kembali kepribadian bangsa Indonesia yang minim atau sengaja dikaburkan dalam penulisan sejarah Nerlandosentris (Frederick dan Soeroto, 1982: 175).
Cakupan sejarah nasional sangat kompleks meliputi ruang lingkup sejarah nasional yang sangat luas, jangka waktunya yang sangat lama dan aspek-aspek yang di bahas sangat banyak. Dari banyaknya dereten peristiwa masa lampau perlu pembagian waktu berdasarkan pokok cerita sejarah tujuannya adalah untuk 1) memudahkan pengertian akan gambaran peristiwa-peristiwa masa lampau, 2) penyederhanaan peristiwa-peristiwa sejarah yang saling tumpang tindih karena banyaknya peristiwa yang terjadi di waktu bersamaan, 3) memenuhi sistematika ilmu pengetahuan dengan mengaitkan peristiwa secara sistematis dan 4) mengklasifikasikan atas keseragaman waktu peristiwa (Hugiono dan Poerwantana, 1992: 54-55).
Moh. Yamin dalam “6000 Tahun Sang Saka Merah Putih” (1957) mengelompokan pembabakan waktu sejarah Indonesia berdasarkan periode masa sebagai berikut:
1) Zaman Pra-sejarah sampai permulaan Tarikh Masehi.
2) Zaman proto historis atau Media-kala atau mula sejarah Indonesia, dari permulaan Tarikh Masehi sampai abad ke VII.
3) Zaman Sriwijaya- Syailendra dari abad ke VII sampai abad ke XII.
4) Zaman Singosari – Majapahit dari abad ke XIII samapai abad ke XVI.
5) Zamana Penyusunan Kemerdekaan Indonesia sejak abad ke XVI sampai XIX.
6) Abad Proklamasi kemerdekaan sejak permulaan abad ke XX sampai ke pertengahan abad itu (Hugiono dan Poerwantana, 1992: 63).
Namun karena penulisan sejarah selalu berkembang dengan semakin pesatnya rekonstruksi sejarah daerah menjadi sejarah nasional maka untuk mencirikan pembabakan waktu sejarah nasional berpedoman sebagai berikut (Hugiono dan Poerwantana, 1992: 66):
1) Menonjolkan kesatuan bangsa.
2) Melukiskan kebesaran dan kejayaan negara.
3) Bersumber dan berpangkal pada kesaktian, kesatuan dan kebesaran bangsa.
Dalam UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfugsi untuk membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya pelaksanaan pendidikan nasional ditujukan untuk membentuk karakter bangsa dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam diri setiap insan manusia Indonesia.
Pemberlakuan Kurikulum 2013 di Sekolah Menengah Atas menurut penjelasan dalam lampiran Permendikbud No. 69 Tahun 2003 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah atas dan madrasah aliyah ditujukan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia. Lebih ringkasnya sasaran program Kurikulum 2013 adalah mengembangkan kecerdasan siswa pada ranah kognitif, keterampilan, spiritual dan sosial (Kemendikbud, 2014:1).
Dalam kurikulum 2013 mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan mata pelajaran wajib bagi jenjang pendidikan menengah SMA, MA dan SMK dengan porsi pembelajaran selama dua jam mata pelajaran perminggu. Alasan dibelajarkannya karena mata pelajaran ini memiliki arti strategis dalam pembangunan moral bangsa yaitu untuk membentuk watak dan peradaban bangsa Indonesia yang mencintai bangsa dan tanah airnya sendiri. Dalam pengajarannya, mata pelajaran ini dikembangkan atas dasar:
1. Semua wilayah/ daerah memiliki kontribusi terhadap pelajaran Sejarah Indonesia hampir pada seluruh periode sejarah.
2. Pemahaman tentang masa lampau sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan kekuatan untuk membangun semangat kebangsaan dan persatuan.
3. Setiap periode sejarah Indonesia memiliki peristiwa dan atau tokoh di tingkat nasional dan daerah keduanya memiliki kedudukan yang sama penting dalam perjalanan Sejarah Indonesia.
4. Tugas dan tanggung jawab untuk memperkenalkan peristiwa sejarah yang penting dan terjadi di seluruh wilayah NKRI serta seluruh periode sejarah kepada generasi muda bangsa.
5. Pengembangan cara berpikir sejarah (historical thingking), konsep waktu, ruang, perubahan, dan keberlanjutan menjadi keterampilan dasar dalam mempelajari Sejarah Indonesia (Kemendikbud, 2014: 2-3).
Tujuan diajarkannya agar:
1. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, melahirkan empati dan perilaku toleran yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan bangsa.
2. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap diri sendiri, masyarakat, dan proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang.
3. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu dan tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan keberlanjutan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thingking) yang menjadi dasar untuk kemampuan berpikir logis, kreatif, inspiratif, dan inovatif.
5. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
6. Mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karaker di masyarakat dan bangsa.
7. Menanamkan sikap berorientasi pada masa kini dan masa depan (Kemendikbud, 2014: 4).
2. Motivasi Belajar
Kata motivasi berasal dari bahasa Latin movere yang diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi move yang dalam bahasa Indonesia berati menggerakan (Gintings, 2008:86). Donald dalam Sardiman (2012:73) mengartikan motivasi sebagai perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya perasaan sebagai akibat adanya tanggapan terhadap adanya tujuan. Sedangkan Wlodkowski (1985) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu dan memberi arah serta ketahanan (persistence) pada perilaku tersebut (Siregar dan Nara, 2014: 49). Sejalan dengan pemikiran Wlodkowski, menurut Nawawi (2008:351) motivasi adalah suatu kondisi yang menyebabkan sesorang untuk melakukan kegiatan yang berlangsung secara sadar. Pandangan lain yang dikemukakan oleh Jucius (dalam Efendy, 1993: 69-70) mengartikan motivasi sebagai suatu kegiatan yang memberi dorongan pada diri sendiri ataupun orang lain untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendakinya.
Dorongan yang dimaksud menurut Woodworth (1918 dalam Schunk, 2012:477)) adalah desakan internal untuk menjaga keseimbangan tubuh yang menyebabkan seseorang merespons. Lanjut Spreling (dalam Mangkunegara, 2010: 93) mengartikan dorongan (motif) sebagai segala daya yang bersumber dari dalam diri seseorang (drive) untuk melakukan suatu aktifitas. Kemudian Sardiman (Sardiman, 2012:73) mengartikan motif sebagai daya upaya yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu. Sebagai pendorong tentunya motivasi memiliki kegunaan bagi manusia. Sardiman (2012:85) mengemukakan tiga kegunaan motivasi yaitu sebagai berikut:
1. Mendorong manusia untuk berbuat, yaitu sebagai penggerak dari setiap kegiatan manusia.
2. Menentukan arah perbuatan, yaitu mengarahkan kegiatan-kegiatan yang harus dikerjakan sesuai tujuan yang hendak dicapai.
3. Menyeleksi perbuatan, yaitu menyerasikan kegiatan sesuai dengan tujuan dengan memilah-milah perbuatan antara yang bermanfaat maupun tidak bermanfaat.
Hilangnya motivasi pada diri seseorang disebabkan apabila desakan akan kebutuhannya telah terpenuhi. Seseorang yang sudah tidak memiliki desakan kebutuhan akan mengelakkan atau meniadakan perasaan itu (Sardiman, 2012: 75). Dengan kata lain menurut Hull (1943) perilaku yang timbul setelah kebutuhan terpuaskan akan menghasilkan reduksi dorongan (Schunk, 2012:477).
1. Pengertian Pembelajaran Sejarah Indonesia
Pengertian pembelajaran diambil dari kata dasar belajar yang berarti suatu proses perubahan perilaku seseorang yang diakibatkan oleh sebuah pengalaman (Sujarwo, 2014: 1). Menurut Burton pengalaman tersebut diperoleh dari adanya interaksi dengan lingkungan sehingga seseorang mampu menyesuaikan dengan lingkungannya. Singer 1968 menambahkan bahwa hasil perubahan tersebut membawa seseorang pada perilaku yang relatif tetap (Siregar dan Nara, 2014:4)
Manusia sebagai makhluk sosial dan individu meniscayakan dirinya untuk mengembangkan potensi yang ada dari dirinya sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Tujuannya bermacam-macam sebagai mana oleh Sardiman dibedakan menjadi tiga jenis tujuan belajar yakni memperoleh pengetahuan, memahami konsep dan keterampilan, dan pembentukan sikap (Sardiman, 2012: 26-28).
Belajar merupakan suatu proses perubahahan tingkah laku pada diri manusia yang bertahan dalam tempo lama. Hasil belajar bukan hanya bertumpu pada stuktur kognitif saja melainkan afektif dan psikomotorik (Siregar dan Nara, 2014: 5-6). Hasil belajar merupakan indikator yang menunjukan bahwa seseorang benar-benar belajar. Namun pada prinsipnya seseorang yang dikatakan belajar harus menunjukan ciri perilaku tertentu seperti adanya kemampuan baru atau perubahan baik yang bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), maupun nilai dan sikap (afektif). Perubahan tersebut pada faktanya tidak berlangsung sesaat, melainkan menetap dan perubahan tersebut tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik atau kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan (Siregar dan Nara, 2014: 5).
Banyak pengertian istilah “pembelajaran, Suyono dan Hariyanto (2011:183) mengartikan bahwa pembelajaran sebagai serangkaian kegiatan guru dalam menyampaikan materi serta nilai-nilainya kepada siswa sebagai proses pendewasaan. Lanjut Rahyubi (2013: 6-7) mengartikan bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa melalui lingkungan belajar agar siswa dapat menguasai ilmu dan pengetahuan, sedang Sanjaya (2006:26) mengartikan pembelajaran sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa dengan memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada baik yang berasal dari dalam diri siswa seperti bakat dan minat maupun dari luar diri siswa seperti sarana dan lingkungan sebagai upaya mencapai tujuan belajar yang telah direncanakan.
Pembelajaran (instruction) merupakan akumulasi dari konsep mengajar (teaching) dan konsep belajar (learning) (Daryanto dan Muljo Rahadjo, 2012: 19). Menurut Bloom (dalam Sujarwo, 2014: 6) tujuan instructional meliputi tiga aspek, yaitu 1) aspek kognitif (menitik beratkan kemampuan berpikir), 2) aspek psikomotor (kemampuan gerak fisik) dan 3) aspek afektif (sikap). Pada umumnya pembelajaran di kelas, dalam kaitannya dengan transfer pengetahuan dan keterampilan, kedudukan guru adalah sebagai pengajar dan siswa sebagai subjek belajar. Menurut Oemar Hamalik (2011: 54-55) mengajar merupakan: 1) kegiatan menyampaikan pengetahuan dari guru ke siswa, 2) suatu proses saling mempengaruhi antara guru dan siswa, 3) suatu sistem yang kompleks meliputi: profesi guru, perkembangan siswa, tujuan pendidikan, program pendidikan, perencanaan pengajaran, bimbingan di sekolah dan hubungan sosial, dan 4) proses pendidikan. Sedangkan prinsip pengajaran yang umum dalam pembelajaran menurut Shuell (1990 dalam Schunk 2012: 28) adalah: 1) siswa berproses melalui tahapan/fase-fase, 2) materi harus disajikan dalam langkah-langkah kecil, 3) siswa perlu berlatih, mendapat umpan balik, dan memperoleh tinjauan, 4) model-model sosial memfasilitasi pembelajaran, 5) faktor motivasional dan kontekstual mempengaruhi pembelajaran. Jadi pembelajaran merupakan suatu pengkondisian siswa dimana transfer pengetahuan dari guru ke siswa dilakukan secara bertahap dengan memanfaatkan bahan ajar, dan lingkungan belajar untuk mempengaruhi perubahan perilaku siswa dalam jangka waktu panjang.
Sejarah merupakan “ratu” atau “ibu” dari ilmu-ilmu sosial. Hal itu karena ilmu sejarah lebih dulu lahir daripada ilmu-ilmu sosial dan humaniora lainnya. Secara istilah sejarah atau history (Inggris) merupakan paduan kata yang diserap dari daerah Yunani. History berasal dari kata benda istoria, yang berarti ilmu. Menurut definisi yang paling umum saat ini, kata history berarti masa lampau manusia (Gottschalk, 2008:33). Menurut March Bloch sejarah merupakan ilmu tentang manusia yang hidup di lingkungan waktu (Kochhar, 2008: 2). Sedangkan Sidi Gazalba (1981:13) mendefinisikan sejarah sebagai gambaran masa lalu manusia sebagai mahluk sosial yang disusun secara ilmiah meliputi urutan fakta masa lalu dengan menafsirkan dan memberi pengertian tetang masa lalu.
Mulanya ilmu sejarah bergerak di bidangnya sendiri, yaitu humaniora kemudian seiring berkembangnya ilmu sosial, sejarah ikut berkembang. Pengaruh ilmu-ilmu sosial terhadap sejarah sangat besar artinya. Tanpa ilmu sosial sejarah hanyar bergerak scara konvensional sehingga karya sejarah baru tidak memiliki wawasan permasalahan luas. Artinya sejarah tidak mampu memberi penjelasan secara menyeluruh. Terkait dengan berkembangnya ilmu sejarah maka lahirlah aliran-aliran sejarah baru. Maka perlu dilakukan kategori jenis sejarah agar muda diidentifikasi dimana Pranoto membaginya menjadi 22 jenis, dua diantaranya adalah sejarah nasional dan sejarah daerah (Pranoto, 2010: 67).
Terkait dengan ulasan yang sedang dibahas yakni definisi sejarah nasional, menurut Sartono Kartodirdjo (2014: 63) sejarah nasional adalah sejarah yang menceritakan kehidupan suatu negara nasional. Kemudian Pranoto (2010: 90) mengartikan bahwa sejarah nasional adalah cerita tentang proses integrasi politik yang membentuk sebuah negara nasional. Sedangkan R. Moh. Ali (2005: 207) mendefinisikan sejarah nasional sebagai sejarah yang muncul dari sifat subjektif di bawah alam sadar manusia yang disebabkan oleh gerak-jiwa-nasional. Maka dari definisi ketiga tokoh di atas dapat dimbil kesimpulan bahwa sejarah nasional merupakan sejarah yang mengisahkan tentang kehidupan suatu negara nasional yang tercipta akibat kesadaran nasional.
Sejarah nasional Indonesia tercipta bersamaan dengan masa Revolusi, di mana munculnya tradisi historiografi nasionalistik difungsikan untuk menyadarkan bangsa Indonesia yang terjajah selama berabad-abad sebagai pengetahuan bagi bangsa Indonesia tentang pencapaian dari usaha memperjuangkan kemerdekaannya dari waktu ke waktu (Nordholt, dkk., 2013: 264). Dalam penulisannya, sejarah Indonesiasentris berusaha menantang fakta-fakta terkait isi dari sejarah Nerlandosentris. Tujuannya tidak lain untuk menegaskan kembali kepribadian bangsa Indonesia yang minim atau sengaja dikaburkan dalam penulisan sejarah Nerlandosentris (Frederick dan Soeroto, 1982: 175).
Cakupan sejarah nasional sangat kompleks meliputi ruang lingkup sejarah nasional yang sangat luas, jangka waktunya yang sangat lama dan aspek-aspek yang di bahas sangat banyak. Dari banyaknya dereten peristiwa masa lampau perlu pembagian waktu berdasarkan pokok cerita sejarah tujuannya adalah untuk 1) memudahkan pengertian akan gambaran peristiwa-peristiwa masa lampau, 2) penyederhanaan peristiwa-peristiwa sejarah yang saling tumpang tindih karena banyaknya peristiwa yang terjadi di waktu bersamaan, 3) memenuhi sistematika ilmu pengetahuan dengan mengaitkan peristiwa secara sistematis dan 4) mengklasifikasikan atas keseragaman waktu peristiwa (Hugiono dan Poerwantana, 1992: 54-55).
Moh. Yamin dalam “6000 Tahun Sang Saka Merah Putih” (1957) mengelompokan pembabakan waktu sejarah Indonesia berdasarkan periode masa sebagai berikut:
1) Zaman Pra-sejarah sampai permulaan Tarikh Masehi.
2) Zaman proto historis atau Media-kala atau mula sejarah Indonesia, dari permulaan Tarikh Masehi sampai abad ke VII.
3) Zaman Sriwijaya- Syailendra dari abad ke VII sampai abad ke XII.
4) Zaman Singosari – Majapahit dari abad ke XIII samapai abad ke XVI.
5) Zamana Penyusunan Kemerdekaan Indonesia sejak abad ke XVI sampai XIX.
6) Abad Proklamasi kemerdekaan sejak permulaan abad ke XX sampai ke pertengahan abad itu (Hugiono dan Poerwantana, 1992: 63).
Namun karena penulisan sejarah selalu berkembang dengan semakin pesatnya rekonstruksi sejarah daerah menjadi sejarah nasional maka untuk mencirikan pembabakan waktu sejarah nasional berpedoman sebagai berikut (Hugiono dan Poerwantana, 1992: 66):
1) Menonjolkan kesatuan bangsa.
2) Melukiskan kebesaran dan kejayaan negara.
3) Bersumber dan berpangkal pada kesaktian, kesatuan dan kebesaran bangsa.
Dalam UU no. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfugsi untuk membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya pelaksanaan pendidikan nasional ditujukan untuk membentuk karakter bangsa dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam diri setiap insan manusia Indonesia.
Pemberlakuan Kurikulum 2013 di Sekolah Menengah Atas menurut penjelasan dalam lampiran Permendikbud No. 69 Tahun 2003 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah atas dan madrasah aliyah ditujukan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia. Lebih ringkasnya sasaran program Kurikulum 2013 adalah mengembangkan kecerdasan siswa pada ranah kognitif, keterampilan, spiritual dan sosial (Kemendikbud, 2014:1).
Dalam kurikulum 2013 mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan mata pelajaran wajib bagi jenjang pendidikan menengah SMA, MA dan SMK dengan porsi pembelajaran selama dua jam mata pelajaran perminggu. Alasan dibelajarkannya karena mata pelajaran ini memiliki arti strategis dalam pembangunan moral bangsa yaitu untuk membentuk watak dan peradaban bangsa Indonesia yang mencintai bangsa dan tanah airnya sendiri. Dalam pengajarannya, mata pelajaran ini dikembangkan atas dasar:
1. Semua wilayah/ daerah memiliki kontribusi terhadap pelajaran Sejarah Indonesia hampir pada seluruh periode sejarah.
2. Pemahaman tentang masa lampau sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan kekuatan untuk membangun semangat kebangsaan dan persatuan.
3. Setiap periode sejarah Indonesia memiliki peristiwa dan atau tokoh di tingkat nasional dan daerah keduanya memiliki kedudukan yang sama penting dalam perjalanan Sejarah Indonesia.
4. Tugas dan tanggung jawab untuk memperkenalkan peristiwa sejarah yang penting dan terjadi di seluruh wilayah NKRI serta seluruh periode sejarah kepada generasi muda bangsa.
5. Pengembangan cara berpikir sejarah (historical thingking), konsep waktu, ruang, perubahan, dan keberlanjutan menjadi keterampilan dasar dalam mempelajari Sejarah Indonesia (Kemendikbud, 2014: 2-3).
Tujuan diajarkannya agar:
1. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, melahirkan empati dan perilaku toleran yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan bangsa.
2. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap diri sendiri, masyarakat, dan proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang.
3. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu dan tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan keberlanjutan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thingking) yang menjadi dasar untuk kemampuan berpikir logis, kreatif, inspiratif, dan inovatif.
5. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
6. Mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karaker di masyarakat dan bangsa.
7. Menanamkan sikap berorientasi pada masa kini dan masa depan (Kemendikbud, 2014: 4).
2. Motivasi Belajar
Kata motivasi berasal dari bahasa Latin movere yang diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi move yang dalam bahasa Indonesia berati menggerakan (Gintings, 2008:86). Donald dalam Sardiman (2012:73) mengartikan motivasi sebagai perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya perasaan sebagai akibat adanya tanggapan terhadap adanya tujuan. Sedangkan Wlodkowski (1985) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu dan memberi arah serta ketahanan (persistence) pada perilaku tersebut (Siregar dan Nara, 2014: 49). Sejalan dengan pemikiran Wlodkowski, menurut Nawawi (2008:351) motivasi adalah suatu kondisi yang menyebabkan sesorang untuk melakukan kegiatan yang berlangsung secara sadar. Pandangan lain yang dikemukakan oleh Jucius (dalam Efendy, 1993: 69-70) mengartikan motivasi sebagai suatu kegiatan yang memberi dorongan pada diri sendiri ataupun orang lain untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendakinya.
Dorongan yang dimaksud menurut Woodworth (1918 dalam Schunk, 2012:477)) adalah desakan internal untuk menjaga keseimbangan tubuh yang menyebabkan seseorang merespons. Lanjut Spreling (dalam Mangkunegara, 2010: 93) mengartikan dorongan (motif) sebagai segala daya yang bersumber dari dalam diri seseorang (drive) untuk melakukan suatu aktifitas. Kemudian Sardiman (Sardiman, 2012:73) mengartikan motif sebagai daya upaya yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu. Sebagai pendorong tentunya motivasi memiliki kegunaan bagi manusia. Sardiman (2012:85) mengemukakan tiga kegunaan motivasi yaitu sebagai berikut:
1. Mendorong manusia untuk berbuat, yaitu sebagai penggerak dari setiap kegiatan manusia.
2. Menentukan arah perbuatan, yaitu mengarahkan kegiatan-kegiatan yang harus dikerjakan sesuai tujuan yang hendak dicapai.
3. Menyeleksi perbuatan, yaitu menyerasikan kegiatan sesuai dengan tujuan dengan memilah-milah perbuatan antara yang bermanfaat maupun tidak bermanfaat.
Hilangnya motivasi pada diri seseorang disebabkan apabila desakan akan kebutuhannya telah terpenuhi. Seseorang yang sudah tidak memiliki desakan kebutuhan akan mengelakkan atau meniadakan perasaan itu (Sardiman, 2012: 75). Dengan kata lain menurut Hull (1943) perilaku yang timbul setelah kebutuhan terpuaskan akan menghasilkan reduksi dorongan (Schunk, 2012:477).
Prestasi Belajar
Prestasi belajar menurut menurut Arikunto (2006:33) adalah hasil usaha siswa selama mengikuti pembelajaran yang diukur guna memenuhi kebutuhan pembelajaran. Sedangkan Suryabrata (2001:297) mendefinisikan prestasi belajar sebagai hasil belajar siswa yang dinilai oleh guru berkaitan dengan kemajuan siswa selama mengikuti pembelajaran dalam waktu tertentu. Sedangkan menurut Winkel (1983: 161) prestasi belajar merupakan kegiatan belajar yang menghasilkan suatu perubahan yaitu hasil belajar.
Umar, dkk. (2000:11) membedakan definisi prestasi belajar (achievement) dengan hasil belajar (learning). Menurutnya prestasi belajar bersifat pengetahuan sehingga dalam pengukurannya yang diukur adalah tingkat kemampuan siswa dalam penguasaan materi. Sedangkan hasil belajar meliputi aspek keseluruhan terhadap perubahan perilaku akibat pengalaman belajar siswa. Dikelas meskipun pada suatu rombongan belajar diberi materi dan metode sama namun prestasi belajar antar siswa akan berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Suryabrata (2001:233) pencapaian prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal atau pengaruh yang muncul dari luar diri siswa dikelompokan menjadi dua bentuk yaitu faktor non sosial dan sosial. Faktor non sosial meliputi gejala alam seperti cuaca, suhu maupun letak geografis. Sedangkan faktor sosial meliputi kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial berupa keadaan ekonomi, kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan untuk beriteraksi dengan sesama manusia. Faktor kedua berasal dari internal atau pengaruh yang muncul dari dalam diri siswa. Faktor internal dikelompokan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berasal dari faktor fisiologi yaitu pengaruh yang muncul dari kondisi jasmani seperti contohnya adalah kesehatan siswa dan kelompok kedua berasal dari fakor psikologis, yaitu pengaruh yang muncul dari kejiwaan siswa seperti contohnya adalah keadaan emosional.
Sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya tentang ciri-ciri individu yang belajar, siswa dapat dikatakan belajar apabila di dalam diri siswa mengalami perubahan perilaku psikologis sebagai respon dari pengalaman-pengalaman mereka yang didapat selama proses belajar. Untuk mengukur semua perubahan-perubahan itu pastinya sulit dilakukan oleh guru, utamanya pada pengukuran afektif. Hal itu disebabkan karena ranah afektif merupakan kawasan yang bersifat tak dapat diraba sehingga untuk mengukurnya guru hanya bisa mengambil gambaran perubahan tingkah laku siswa yang penting saja dan sekiranya penilaian tersebut dapat mencerminkan perubahan akibat proses belajar meliputi dimensi cipta, rasa, maupun karsa.
Terkait dengan pengukuran ranah kognititf, Benjamin Bloom (1956) mengidentifikasi ranah kognitif dengan model taksonomi ranah kognitif. Ranah ini mencakup ingatan atau pengalaman terhadap fakta-fakta, pola prosedural, dan konsep yang dapat memungkinkan berkembangnya kemampuan dan skill intelektual. Ada enam kategori utama dalam model ini yang didata dari perilaku sederhana hingga kompleks, yaitu (Huda, 2014: 170-171):
1. Pengetahuan (knowledge)
Pada tahap ini siswa mengingat data atau informasi.
2. Pemahaman (Comprehension)
Individu memahami makna, terjemahan, interpola, dan interpretasi atas instruksi-instruksi dan masalah-masalah. Pada tahap ini pula, mereka umumnya mampu menyatakan suatu masalah dengan caranya sendiri.
3. Penerapan (Application)
Tahap ini memungkinkan individu untuk menggunakan suatu konsep dalam situasi yang baru. Individu pada tahap ini pula bisa menerapkan apa yang telah dipelajari di ruang kelas ke dalam situasi-situasi yang rumit di tempat kerja.
4. Analisis (Analysis)
Pada tahap ini, individu sudah mampu memisahkan materi-materi atau konsep-konsep ke dalam bagian-bagian komponen sehingga struktur organisasinya dapat dipahami. Individu mampu membedakan antara fakta dan dugaan.
5. Sinstesi (Syntesis)
Individu yang mencaai level sintesis mampu membangun semacam struktur atau pola dari berbagai elemen yang berbeda-beda. Ia mampu menggabungkan berbagai macam bagian ke dalam satu keseluruhan, dengan menekankan pada upaya menciptakan makna atau struktur yang baru.
6. Evaluasi
Pada tahap terakhir ini, individu sudah bisa membuat peniaian tentang nilai suatu gagasan atau materi.
Krathwohl (1973) menyusun kriteria untuk mengklasifikasi perilaku-perilaku yang mengindikasikan sikap kesadaran, minat, perhatian, fokus, tanggung jawab, dan respon siswa selama berinteraksi dengan orang lain.Taksonomi sikap Krathwohl terdiri dari lima level sebagai berikut (Huda, 2014: 164-166):
1. Menerima (Recieving)
Pada level ini, siswa terlebih dahulu menyadari apa yang disajikan dan selalu ingin mencatat dan mengingatnya.
2. Merespon (Responding)
Setelah menerima stimulus, siswa-siswa mulai meresponnya untuk memperoleh pengetahuan baru. Pada level ini siswa akan mencari aktivitas-aktivitas belajar dengan rasa puas karena telah berhasil berpartisipasi di dalamya.
3. Menghargai (Valuing)
Siswa membuat keputuasan tentang nilai dan komitmennya untuk dan terlibat dalam nilai tersebut. Mereka membuat pilihan dan ketika sudah menerima suatu nilai, berusaha untuk mengajak orang lain menuju nilai yang dipilihnya.
4. Mengatur (Organising)
Pada level ini ini mengharuskan siswa untuk mengorganisasi nilai-nilai dan mengkostruksi suatu sistem yang dapat mengatur serangakaian sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai dengan menghubungkannya antar satu sama lain.
5. Berkarakter dengan Nilai (Characterising by a Value)
Siswa pada level ini sudah mulai berusaha menginternalisasikan dan mengorganisasi nilai-nilai ke dalam suatu sistem dan dapat menerapkan nilai-nilai tersebut sebagai filsafat hidunya untuk menghadapi berbagai macam situasi nyata.
Pada ranah psikomotor menurut Simsons (1972) mencakup gerakan fisik, koordinasi dan penggunaan skill-skill motorik. Ada tujuh kategori utama ranah psikomotor yang diurut dari perilaku yang paling sederhana hingga paling kompleks, yaitu sebagai berikut (Huda, 2014: 167-169):
1. Persepsi (Perception)
Ini merupakan kemampuan menggunakan isyarat-isyarat sensorik untuk memandu aktivitas motorik. Persepsi mencakup mulai dari stimulasi sensorik, melalui seleksi isyarat, hingga penerjemahan.
2. Keteraturan (Set)
Kemampuan ini mencerminkan kesiapan dalam bertindak. Ia mencakup faktor-faktor mental, fisik, dan emosional. Tiga rangakaian ini merupakan bawaan yang sejak awal memungkinkan seseorang mampu merespon situasi yang berbeda-beda. Kemampuan ini sering dikenal dengan mindset.
3. Respon terbimbing (Guided Response)
Respon semacam ini biasanya menjadi tahap awal dalam mempelajari skill yang komplek. Respon terbimbing pastilah melibatkan imitasi dan trial and error. Untuk mencapai kelayanan performa yang memadai, seseorang harus berpraktik terus menerus.
4. Mekanisme (Mechanism)
Tahap ini merupakan tahap pertengahan dalam mempelajari skill yang komplek. Respon yang dipelajari sudah mulai menjadi semacam kebiasaan dan gerakan-gerakan tersebut sudah bisa ditunjukan dengan kepercayaan diri yang penuh.
5. Respons Cepat (Complex Overt Response)
Tahap ini menunjukan performa motorik yang sudah skill full yang melibatkan pola-pola gerakan yang komplek. Kecakapan diindikasikan oleh kecepatan, akurasi, performa sistematis, tanpa terlalu banyak menghabiskan energi. Kategori ini menunjukan kemampuan seseorang yang sudah profesional tanpa keragu-raguan, sejenis performa otomatis.
6. Adaptasi (Adaptation)
Pada tahap ini, skill-skill sudah berkembang dengan baik, dan individu sudah memodifikasi pola-pola gerakannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang berbeda.
7. Inisiasi (Origination)
Mereka yang sampai tahap ini sudah mampu menciptakan pola-pola pergerakan yang baru untuk menyesuaikannya dengan situasi dan problem tertentu. Ini juga mencakup hasil-hasil pembelajaran yang menekan pada kreativitas berbasis skill-skill tingkat tinggi.
Ketiga jenis pengukuran di atas tidak berdiri sendiri, namun ada korelasi satu dengan lainya. Agar prestasi belajar mudah diukur maka diperlukan sebuah penilaian. Menurut Nana Sudjana dan Ibrahim (1989:111) fungsi penilaian digunakan untuk mengetahui tecapainya tujuan pembelajaran yaitu tecapainya tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan oleh guru sesuai dengan tujuan instruksional khusus, juga mengetahui efektivitas pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru.
Dalam penilaian, nilai disimbolkan pada angka maupun huruf. Ada beberapa altermatif norma dalam pengukuran keberhasilan siswa yang biasanya digunakan di sekolah menengah atas, yaitu: 1) norma skala angka dari 0 sampai 10 dan 2) norma skala angka dari 10 sampai 100. Dalam upaya mengungkap prestasi belajar, batasan minimum keberhasilan belajar siswa sangat penting untuk ditetapkan. Angka terendah kelulusan pada skala 0-10 adalah 5,5 atau 6,0. Sedangkan untuk 0-100 adalah 55 atau 60. Prinsipnya adalah siswa setidaknya mampu menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau menjawab setengah dari instrumen evaluasi dengan benar. Sehingga dengan memenuhi kriteria seperti di atas, siswa sudah dianggap lulus karena mereka telah memenuhi target minimal keberhasilan (Syah, 2013: 150).
Hasil penilaian tersebut nantinya digunakan sebagai bahan mengevaluasi pembelajaran. Menurut Kunandar (2009:377) evaluasi pembelajaran adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh guru dalam menentukan nilai keberhasilan siswa setelah mereka mengikuti kegiatan belajar dalam periode waktu tertentu. Sehingga evaluasi merupakan salah satu tahapan penting dalam pembelajaran. Alasanya: (1) evaluasi digunakan sebagai alat untuk mengetahui tecapainya tujuan pembelajaran meliputi: penguasaan materi, nilai-nilai dan keterampilan yang dipelajari oleh siswa, (2) evaluasi digunakan untuk mengetahui kelemahan siswa selama mengikuti kegiatan belajar, (3) evaluasi digunakan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan proses pembelajaran sebagai masukan berupa umpan balik dari guru ke siswa maupun sebaliknya, dan (4) evaluasi digunakan sebagai bahan laporan hasil belajar siswa kepada orang tua siswa (Sulistyorini, 2009:47).
Prestasi belajar menurut menurut Arikunto (2006:33) adalah hasil usaha siswa selama mengikuti pembelajaran yang diukur guna memenuhi kebutuhan pembelajaran. Sedangkan Suryabrata (2001:297) mendefinisikan prestasi belajar sebagai hasil belajar siswa yang dinilai oleh guru berkaitan dengan kemajuan siswa selama mengikuti pembelajaran dalam waktu tertentu. Sedangkan menurut Winkel (1983: 161) prestasi belajar merupakan kegiatan belajar yang menghasilkan suatu perubahan yaitu hasil belajar.
Umar, dkk. (2000:11) membedakan definisi prestasi belajar (achievement) dengan hasil belajar (learning). Menurutnya prestasi belajar bersifat pengetahuan sehingga dalam pengukurannya yang diukur adalah tingkat kemampuan siswa dalam penguasaan materi. Sedangkan hasil belajar meliputi aspek keseluruhan terhadap perubahan perilaku akibat pengalaman belajar siswa. Dikelas meskipun pada suatu rombongan belajar diberi materi dan metode sama namun prestasi belajar antar siswa akan berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Suryabrata (2001:233) pencapaian prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal atau pengaruh yang muncul dari luar diri siswa dikelompokan menjadi dua bentuk yaitu faktor non sosial dan sosial. Faktor non sosial meliputi gejala alam seperti cuaca, suhu maupun letak geografis. Sedangkan faktor sosial meliputi kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial berupa keadaan ekonomi, kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan untuk beriteraksi dengan sesama manusia. Faktor kedua berasal dari internal atau pengaruh yang muncul dari dalam diri siswa. Faktor internal dikelompokan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berasal dari faktor fisiologi yaitu pengaruh yang muncul dari kondisi jasmani seperti contohnya adalah kesehatan siswa dan kelompok kedua berasal dari fakor psikologis, yaitu pengaruh yang muncul dari kejiwaan siswa seperti contohnya adalah keadaan emosional.
Sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya tentang ciri-ciri individu yang belajar, siswa dapat dikatakan belajar apabila di dalam diri siswa mengalami perubahan perilaku psikologis sebagai respon dari pengalaman-pengalaman mereka yang didapat selama proses belajar. Untuk mengukur semua perubahan-perubahan itu pastinya sulit dilakukan oleh guru, utamanya pada pengukuran afektif. Hal itu disebabkan karena ranah afektif merupakan kawasan yang bersifat tak dapat diraba sehingga untuk mengukurnya guru hanya bisa mengambil gambaran perubahan tingkah laku siswa yang penting saja dan sekiranya penilaian tersebut dapat mencerminkan perubahan akibat proses belajar meliputi dimensi cipta, rasa, maupun karsa.
Terkait dengan pengukuran ranah kognititf, Benjamin Bloom (1956) mengidentifikasi ranah kognitif dengan model taksonomi ranah kognitif. Ranah ini mencakup ingatan atau pengalaman terhadap fakta-fakta, pola prosedural, dan konsep yang dapat memungkinkan berkembangnya kemampuan dan skill intelektual. Ada enam kategori utama dalam model ini yang didata dari perilaku sederhana hingga kompleks, yaitu (Huda, 2014: 170-171):
1. Pengetahuan (knowledge)
Pada tahap ini siswa mengingat data atau informasi.
2. Pemahaman (Comprehension)
Individu memahami makna, terjemahan, interpola, dan interpretasi atas instruksi-instruksi dan masalah-masalah. Pada tahap ini pula, mereka umumnya mampu menyatakan suatu masalah dengan caranya sendiri.
3. Penerapan (Application)
Tahap ini memungkinkan individu untuk menggunakan suatu konsep dalam situasi yang baru. Individu pada tahap ini pula bisa menerapkan apa yang telah dipelajari di ruang kelas ke dalam situasi-situasi yang rumit di tempat kerja.
4. Analisis (Analysis)
Pada tahap ini, individu sudah mampu memisahkan materi-materi atau konsep-konsep ke dalam bagian-bagian komponen sehingga struktur organisasinya dapat dipahami. Individu mampu membedakan antara fakta dan dugaan.
5. Sinstesi (Syntesis)
Individu yang mencaai level sintesis mampu membangun semacam struktur atau pola dari berbagai elemen yang berbeda-beda. Ia mampu menggabungkan berbagai macam bagian ke dalam satu keseluruhan, dengan menekankan pada upaya menciptakan makna atau struktur yang baru.
6. Evaluasi
Pada tahap terakhir ini, individu sudah bisa membuat peniaian tentang nilai suatu gagasan atau materi.
Krathwohl (1973) menyusun kriteria untuk mengklasifikasi perilaku-perilaku yang mengindikasikan sikap kesadaran, minat, perhatian, fokus, tanggung jawab, dan respon siswa selama berinteraksi dengan orang lain.Taksonomi sikap Krathwohl terdiri dari lima level sebagai berikut (Huda, 2014: 164-166):
1. Menerima (Recieving)
Pada level ini, siswa terlebih dahulu menyadari apa yang disajikan dan selalu ingin mencatat dan mengingatnya.
2. Merespon (Responding)
Setelah menerima stimulus, siswa-siswa mulai meresponnya untuk memperoleh pengetahuan baru. Pada level ini siswa akan mencari aktivitas-aktivitas belajar dengan rasa puas karena telah berhasil berpartisipasi di dalamya.
3. Menghargai (Valuing)
Siswa membuat keputuasan tentang nilai dan komitmennya untuk dan terlibat dalam nilai tersebut. Mereka membuat pilihan dan ketika sudah menerima suatu nilai, berusaha untuk mengajak orang lain menuju nilai yang dipilihnya.
4. Mengatur (Organising)
Pada level ini ini mengharuskan siswa untuk mengorganisasi nilai-nilai dan mengkostruksi suatu sistem yang dapat mengatur serangakaian sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai dengan menghubungkannya antar satu sama lain.
5. Berkarakter dengan Nilai (Characterising by a Value)
Siswa pada level ini sudah mulai berusaha menginternalisasikan dan mengorganisasi nilai-nilai ke dalam suatu sistem dan dapat menerapkan nilai-nilai tersebut sebagai filsafat hidunya untuk menghadapi berbagai macam situasi nyata.
Pada ranah psikomotor menurut Simsons (1972) mencakup gerakan fisik, koordinasi dan penggunaan skill-skill motorik. Ada tujuh kategori utama ranah psikomotor yang diurut dari perilaku yang paling sederhana hingga paling kompleks, yaitu sebagai berikut (Huda, 2014: 167-169):
1. Persepsi (Perception)
Ini merupakan kemampuan menggunakan isyarat-isyarat sensorik untuk memandu aktivitas motorik. Persepsi mencakup mulai dari stimulasi sensorik, melalui seleksi isyarat, hingga penerjemahan.
2. Keteraturan (Set)
Kemampuan ini mencerminkan kesiapan dalam bertindak. Ia mencakup faktor-faktor mental, fisik, dan emosional. Tiga rangakaian ini merupakan bawaan yang sejak awal memungkinkan seseorang mampu merespon situasi yang berbeda-beda. Kemampuan ini sering dikenal dengan mindset.
3. Respon terbimbing (Guided Response)
Respon semacam ini biasanya menjadi tahap awal dalam mempelajari skill yang komplek. Respon terbimbing pastilah melibatkan imitasi dan trial and error. Untuk mencapai kelayanan performa yang memadai, seseorang harus berpraktik terus menerus.
4. Mekanisme (Mechanism)
Tahap ini merupakan tahap pertengahan dalam mempelajari skill yang komplek. Respon yang dipelajari sudah mulai menjadi semacam kebiasaan dan gerakan-gerakan tersebut sudah bisa ditunjukan dengan kepercayaan diri yang penuh.
5. Respons Cepat (Complex Overt Response)
Tahap ini menunjukan performa motorik yang sudah skill full yang melibatkan pola-pola gerakan yang komplek. Kecakapan diindikasikan oleh kecepatan, akurasi, performa sistematis, tanpa terlalu banyak menghabiskan energi. Kategori ini menunjukan kemampuan seseorang yang sudah profesional tanpa keragu-raguan, sejenis performa otomatis.
6. Adaptasi (Adaptation)
Pada tahap ini, skill-skill sudah berkembang dengan baik, dan individu sudah memodifikasi pola-pola gerakannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang berbeda.
7. Inisiasi (Origination)
Mereka yang sampai tahap ini sudah mampu menciptakan pola-pola pergerakan yang baru untuk menyesuaikannya dengan situasi dan problem tertentu. Ini juga mencakup hasil-hasil pembelajaran yang menekan pada kreativitas berbasis skill-skill tingkat tinggi.
Ketiga jenis pengukuran di atas tidak berdiri sendiri, namun ada korelasi satu dengan lainya. Agar prestasi belajar mudah diukur maka diperlukan sebuah penilaian. Menurut Nana Sudjana dan Ibrahim (1989:111) fungsi penilaian digunakan untuk mengetahui tecapainya tujuan pembelajaran yaitu tecapainya tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan oleh guru sesuai dengan tujuan instruksional khusus, juga mengetahui efektivitas pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru.
Dalam penilaian, nilai disimbolkan pada angka maupun huruf. Ada beberapa altermatif norma dalam pengukuran keberhasilan siswa yang biasanya digunakan di sekolah menengah atas, yaitu: 1) norma skala angka dari 0 sampai 10 dan 2) norma skala angka dari 10 sampai 100. Dalam upaya mengungkap prestasi belajar, batasan minimum keberhasilan belajar siswa sangat penting untuk ditetapkan. Angka terendah kelulusan pada skala 0-10 adalah 5,5 atau 6,0. Sedangkan untuk 0-100 adalah 55 atau 60. Prinsipnya adalah siswa setidaknya mampu menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau menjawab setengah dari instrumen evaluasi dengan benar. Sehingga dengan memenuhi kriteria seperti di atas, siswa sudah dianggap lulus karena mereka telah memenuhi target minimal keberhasilan (Syah, 2013: 150).
Hasil penilaian tersebut nantinya digunakan sebagai bahan mengevaluasi pembelajaran. Menurut Kunandar (2009:377) evaluasi pembelajaran adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh guru dalam menentukan nilai keberhasilan siswa setelah mereka mengikuti kegiatan belajar dalam periode waktu tertentu. Sehingga evaluasi merupakan salah satu tahapan penting dalam pembelajaran. Alasanya: (1) evaluasi digunakan sebagai alat untuk mengetahui tecapainya tujuan pembelajaran meliputi: penguasaan materi, nilai-nilai dan keterampilan yang dipelajari oleh siswa, (2) evaluasi digunakan untuk mengetahui kelemahan siswa selama mengikuti kegiatan belajar, (3) evaluasi digunakan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan proses pembelajaran sebagai masukan berupa umpan balik dari guru ke siswa maupun sebaliknya, dan (4) evaluasi digunakan sebagai bahan laporan hasil belajar siswa kepada orang tua siswa (Sulistyorini, 2009:47).
Media Audio Visual
Media adalah bentuk jamak dari medium, merupakan istilah bahasa latin yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar dapat pula diartikan sebagai alat, sarana, atau wahana. Media sering kita temukan sebagai istilah dalam bidang komunikasi maupun transportasi. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, biasa disebut media pendidikan atau media pembelajaran. Media audio untuk pengajaran, dimaksudkan sebagai bahan yang mengandung pesan dalam bentuk auditif (pita suara atau piringan suara), yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik, sehingga terjadi proses belajar mengajar. Pengembangkan audio sama halnya dengan pengembangan media lainnya, yang secara garis besar meliputi kegiatan perencanaan, produksi, dan evaluasi. Perencanaan meliputi kegiatan-kegiatan penentuan tujuan, menganalisis keadaan sasaran, penentuan materi, dan format yang akan dipergunakan. Produksi adalah kegiatan perekaman bahan, sehingga seluruh program yang telah direncanakan dapat direkam dalam pita suara atau piringan suara. Avaluasi dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menilai program, apakah program tersebut bisa dipakai atau perlu direvisi lagi (Sudjana, 2007:129 dalam Nugroho, 2013:27)
Media visual dalam konsep pengajaran visual adalah setiap gambar, model, benda, atau alat-alat lain yang memberikan pengalaman visual yang nyata kepada peserta didik. Alat bantu itu bertujuan untuk:
1) Memperkenalkan, membentuk, memperkaya serta memperjelas pengertian atau konsep yang abstrak kepada peserta didik.
2) Mengembangkan sikap-sikap yang dikehendaki.
3) Mendorong peserta didik lebih lanjut.
Konsep pengajaran visual didasarkan atas asumsi bahwa “pengertian-pengertian yang abstrak dapat disajikan lebih konkret” (Sudjana, 2003:57 dalam Nugroho, 2013:27).
Konsep pengajaran visual kemudian berkembang menjadi audio visual aid pada tahun 1940. Istilah ini bermakna sejumlah peralatan yang dipakai oleh para guru dalam menyampaikan konsep, gagasan, dan pengalaman yang ditangkap oleh indra pandang dan pendengaran. Penekanan utama dalam pengajaran audio visual adalah “pada nilai belajar yang diperoleh melalui pengalaman konkret, tidak hanya didasarkan atas kata-kata belaka” (Sudjana, 2003:58 dalam Nugroho, 2013:27-28).
Dengan demikian, media pembelajaran audio visual dimaksudkan sebagai bahan pembelajaran yang disusun dan disampaikan dengan menggunakan komputer sebagai perangkat kerasnya untuk menampilkan berbagai film yang berkaitan dengan materi mata pelajaran sejarah terutama pada masa pergerakan nasional, agar peserta didik dapat belajar dalam suasana yang lebih menarik dan menyenangkan. Dari maksud ini, maka peserta didik akan termotivasi dalam mengikuti mata pelajaran yang diajarkan oleh guru.
Media adalah bentuk jamak dari medium, merupakan istilah bahasa latin yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar dapat pula diartikan sebagai alat, sarana, atau wahana. Media sering kita temukan sebagai istilah dalam bidang komunikasi maupun transportasi. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, biasa disebut media pendidikan atau media pembelajaran. Media audio untuk pengajaran, dimaksudkan sebagai bahan yang mengandung pesan dalam bentuk auditif (pita suara atau piringan suara), yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik, sehingga terjadi proses belajar mengajar. Pengembangkan audio sama halnya dengan pengembangan media lainnya, yang secara garis besar meliputi kegiatan perencanaan, produksi, dan evaluasi. Perencanaan meliputi kegiatan-kegiatan penentuan tujuan, menganalisis keadaan sasaran, penentuan materi, dan format yang akan dipergunakan. Produksi adalah kegiatan perekaman bahan, sehingga seluruh program yang telah direncanakan dapat direkam dalam pita suara atau piringan suara. Avaluasi dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menilai program, apakah program tersebut bisa dipakai atau perlu direvisi lagi (Sudjana, 2007:129 dalam Nugroho, 2013:27)
Media visual dalam konsep pengajaran visual adalah setiap gambar, model, benda, atau alat-alat lain yang memberikan pengalaman visual yang nyata kepada peserta didik. Alat bantu itu bertujuan untuk:
1) Memperkenalkan, membentuk, memperkaya serta memperjelas pengertian atau konsep yang abstrak kepada peserta didik.
2) Mengembangkan sikap-sikap yang dikehendaki.
3) Mendorong peserta didik lebih lanjut.
Konsep pengajaran visual didasarkan atas asumsi bahwa “pengertian-pengertian yang abstrak dapat disajikan lebih konkret” (Sudjana, 2003:57 dalam Nugroho, 2013:27).
Konsep pengajaran visual kemudian berkembang menjadi audio visual aid pada tahun 1940. Istilah ini bermakna sejumlah peralatan yang dipakai oleh para guru dalam menyampaikan konsep, gagasan, dan pengalaman yang ditangkap oleh indra pandang dan pendengaran. Penekanan utama dalam pengajaran audio visual adalah “pada nilai belajar yang diperoleh melalui pengalaman konkret, tidak hanya didasarkan atas kata-kata belaka” (Sudjana, 2003:58 dalam Nugroho, 2013:27-28).
Dengan demikian, media pembelajaran audio visual dimaksudkan sebagai bahan pembelajaran yang disusun dan disampaikan dengan menggunakan komputer sebagai perangkat kerasnya untuk menampilkan berbagai film yang berkaitan dengan materi mata pelajaran sejarah terutama pada masa pergerakan nasional, agar peserta didik dapat belajar dalam suasana yang lebih menarik dan menyenangkan. Dari maksud ini, maka peserta didik akan termotivasi dalam mengikuti mata pelajaran yang diajarkan oleh guru.
Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori di atas maka hipotesis pada penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut:
“penggunaan audio visual dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa kelas X IPA 5 di SMA Negeri 1 Semarang Tahun Ajaran 2017-2018”.
Berdasarkan kajian teori di atas maka hipotesis pada penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut:
“penggunaan audio visual dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa kelas X IPA 5 di SMA Negeri 1 Semarang Tahun Ajaran 2017-2018”.
Penelitian Sebelumnya Yang Relevan
Penelitian tindakan kelas oleh Nugroho berjudul Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Pada Kelas X IPA 4 Dengan Media Audio Visual dan Model Demonstrasi Pokok Bahasan Pola Kehidupan Masyarakat Zaman Praaksara Siswa Di SMA N 1 Semarang Tahun Ajaran 2013-2014 dimana diperoleh hasil bahwa pada siklus I dan siklus II dalam proses pembelajaran dengan media audio visual dan model pembelajaran bermain peran dapat meningkatkan aktivitas siswa, kinerja guru, serta hasil belajar siswa. Pembahasan hasil penelitian didasarkan pada hasil pengamatan yang disertai refleksi tindakan pada setiap akhir siklus. Dalam meningkatkan motivasi belajar yang dinilai menggunakan angket diperoleh hasil berbeda sebelum dan sesudah menggunakan media audio visual dan model pembelajaran bermain peran dimana motivasi belajar kelas yang diteliti menjadi meningkat. Hal ini terbukti pada saat guru menyebar angket pada siswa pada siklus II. Peningkatan motivasi peserta didik dapat terlihat dari meningkatnya hasil belajar pada mata pelajaran sejarah pada siklus II.
Penelitian tindakan kelas oleh Nugroho berjudul Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Pada Kelas X IPA 4 Dengan Media Audio Visual dan Model Demonstrasi Pokok Bahasan Pola Kehidupan Masyarakat Zaman Praaksara Siswa Di SMA N 1 Semarang Tahun Ajaran 2013-2014 dimana diperoleh hasil bahwa pada siklus I dan siklus II dalam proses pembelajaran dengan media audio visual dan model pembelajaran bermain peran dapat meningkatkan aktivitas siswa, kinerja guru, serta hasil belajar siswa. Pembahasan hasil penelitian didasarkan pada hasil pengamatan yang disertai refleksi tindakan pada setiap akhir siklus. Dalam meningkatkan motivasi belajar yang dinilai menggunakan angket diperoleh hasil berbeda sebelum dan sesudah menggunakan media audio visual dan model pembelajaran bermain peran dimana motivasi belajar kelas yang diteliti menjadi meningkat. Hal ini terbukti pada saat guru menyebar angket pada siswa pada siklus II. Peningkatan motivasi peserta didik dapat terlihat dari meningkatnya hasil belajar pada mata pelajaran sejarah pada siklus II.