-->

Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara

Sejarah Seni Pertunjukkan Islam Indonesia
Seni pertunjukkan atau performance art merupakan segala ungkapan seni yang substansi dasarnya adalah yang dipergelarkan langsung di hadapan penonton. Hal ini sudah jelas, ketika ada sebuah pertunjukkan tentu ada penonton yang menyaksikan pertunjukkan yang sedang berlangsung. Seni pertunjukkan tidak hanya melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan waktu tertentu. Selain itu, adapula unsur-unsur yang terdapat pada seni pertunjukkan, diantaranya ruang dan waktu, tubuh si seniman, serta hubungan seniman dengan penonton. Semua unsur tersebut sudah pasti kita jumpai dalam setiap pertunjukkan. Pertunjukkan seni biasanya tidak hanya sebatas berkenaan dengan unsur-unsur keindahan saja, tetapi juga memuat fungsi-fungsi tertentu seperti fungsi ritual, pendidikan, hiburan, dan bahkan bisa dijadikan sarana dalam melakukan kritik sosial.
Sejarah seni pertunjukkan juga mengalami perkembangan, mulai dari seni pertunjukkan klasik-tradisional, modern, dan kontemporer. Namun, pada pembahasan kali ini akan dibahas berkaitan dengan seni pertunjukkan klasik-tradisional yang lebih menekankan pada kekayaan seni pertunjukan Islam Indonesia pada masa klasik. Agar mudah topik kali ini mudah dipahami, maka akan diuraikan terlebih dahulu maksud dari seni pertunjukan klasik–tradisional. Kata klasik, dapat diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai atau mutu yang diakui dan menjadi tolok ukur kesempurnaan yg tinggi, abadi, kekal, langgeng. Sedangkan tradisional, dapat diartikan sebagai sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun. Jadi, secara sederhana seni pertunjukan klasik- tradisional adalah sebuah tradisi yang ada dalam masyarakat yang didalamnya dipercaya mempunyai nilai yang tinggi dan dipegang teguh oleh masyarakat tertentu.
Adapun relasi antara seni pertunjukkan Indonesia dengan Islam sebagai berikut:
a) Bentuk-bentuk seni yang sudah ada sebelum diperkenalkan Islam, kemudian berubah dengan adanya pengaruh Islam. Jadi, ketika Islam masuk, segala bentuk seni yang ada dalam masyarakat mendapat pengaruh dari Islam.
b) Seni baru yang ketika diperkenalkan ke Indonesia sudah bermuatan Islam.
c) Beberapa karya kontemporer yang tidak terikat secara ketat dengan tradisi tertentu, tetapi kesan Islam tampil jelas.
Seni Pertunjukkan Islam Indonesia yang masuk dalam kategori seni pertunjukkan klasik-tradisional terbagi menjadi dua, yaitu tari dan teater. Untuk tari sendiri diantaranya ada tari zapin, saman dan seudati. Untuk teater ialah wayang.
a) Tari Saman (Aceh)
Tari Saman diciptakan oleh ulama Gayo bernama Syekh Saman. Pada awalnya dikenal sebagai sebuah permainan rakyat dan dikenal dengan nama Pok Ane. Namun, pada perkembangan selanjutnya menjadi sebuah tarian yang cukup familiar dikenal, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga diluar negeri. Pada zaman dulu tari saman hanya dibawakan oleh laki-laki yang jumlahnya ganjil.
Pada masa kini tarian saman tidak hanya dibawakan oleh laki-laki saja, tetapi juga dibawakan perempuan dan tidak dibatasi umur bahkan banyak anak-anak sejak dini sudah diajarkan tari saman. Tari saman digunakan sebagai sarana dakwah yang mana syair-syairnya berisi syair-syair pujian kepada Allah dikombinasi tepukan tangan dan dada para penari. Biasanya tari saman dipertunjukkan pada saat perayaan acara adat, maulid nabi, dan acara-acara tertentu.
b) Tari Zapin (Melayu)
Tari Zapin merupan sebuah tarian yang berkembang dikalangan suku Melayu. Pada awalnya dibawa dari Yaman oleh pedagang Arab yang kemudian berkembang di sekitar Johor, Riau, Singapura, dan Brunei. Tarian ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia di wilayah Riau dan dikenal oleh masyarakat sekitar pesisir di Kalimantan. Sejak awal tarian zapin dipertunjukkan sebagai hiburan di Istana. Tari Zapin diiringi musik petik gambus, rebana, gendang, dll. Syair-syair yang dilantunkan mengandung
syiar Islam/dakwah. Pada masa sekarang, tari zapin dipertunjukkan pada acara-acara tertentu seperti pernikahan, khitanan dan hari raya Islam.
c) Tari Seudati (Desa Gigieng- Aceh)
Tari seudati berasal dari Desa Gigieng, kecamatan Simpang, kabupaten Pidei. Kata Seudati berasal dari kata seurasi artinya harmonis atau kompak. Selain itu, kata seudati juga memiliki makna syahadati atau syahadatain “Kesaksian” atau “pengakuan”. Awalnya tarian ini dikenal sebagai tarian pesisir (ratoh) yang dimainkan untuk mengawali permainan sambung ayam atau pada saat musim panen tiba pada malam bulan purnama.
Tari Seudati mempunyai peran penting dalam media dakwah melalui syair-syair dan pantun berisi pujian kepada Allah. Hal yang paling menarik dari tari ini adalah tidak ada musik pengiring, yang ada hanyalah suara hentakan kaki, pukulan telapak tangan di dada dan pinggul serta suara petikan jemari dari para penari. Biasanya tari seudati ditarikan oleh 8 orang laki-laki sebagai penari utama.
d) Wayang Kulit (Jawa)
Asal usul dari pergelaran wayang lahir di Jawa, seiring dengan datangnya agama Hindu ke Indonesia. Ada di Indonesia pada masa pemerintahan Prabu Airlangga (Raja Kahuripan). Kata wayang berasal dari kata wewayangan yang mengandung arti bayangan. Pada masa Hindu, cerita wayang biasanya menceritakan tentang Ramayana dan Mahabarata. Sedangkan pada masa Islam, tradisi yang ada pada masa hindu dilanjutkan oleh para wali songo dan dikemas dan disesuaikan dengan Islam serta dijadikan sarana untuk dakwah Islam.
Seni pertunjukkan di Indonesia sudah ada sejak masa lampau, khususnya seni pertunjukkan Islam di Indonesia. Mempelajari seni pertunjukkan memberikan gambaran bahwa seni di Indonesia cukup beragam, mengingat masyarakat Indonesia cukup plural. Setiap seni pada masyarakat lokal tertentu ada dan berkembang berbeda-beda sesuai dengan pola pikir dan pengaruh apa yang muncul disuatu wilayah. Yang jelas, segala bentuk seni pertunjukkan yang diterangkan diatas mampu bertahan dan masih dapat kita nikmati sampai saat ini. Semoga segala bentuk seni apapun di Indonesia senantiasa di jaga dan di lestarikan.
e) Upacara Adat
Akulturasi dalam hal upacara tampak pada tiga bentuk upacara yaitu: pernikahan, kelahiran dan kematian. Selain doa-doa yang dipanjatkan dengan bahasa arab, acara selamatan/kenduri dan peletakan sesaji merupakan peninggalan Hindu-Buddha. Pengaruh unsur pra-Islam yaitu masa Hindu-Buddha tampak pada ritual kelahiran yaitu, prosesi kelahirandimulai dengan acara mitoni. Upacara ini dilakukan pada saat usia kandungan tujuh bulan. Dalam upacara tersebut dilakukan siraman pada sang ibu supaya sang ibu dan sang anak dari bahaya. Akulturasi terlihat didalam doa-doa yang dibacakan pada prosesi tersebut.
Selanjutnya tradisi memasukan jenazah pada peti merupakan unsure tradisi zaman praaksara, yaitu kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu yang hidup terus menerus sampai sekarang. Setelah jenazah dikuburkan diadakan selamatan. Kenduri/selamatan dimulai pada hari ke-3 hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100 dan hari ke-1000. Selamatan hari ke-1000 dianggap sebagai selamatan penutupan. Tradisi ini merupakan tradisi pada masa Hindu yang disebut upacara sradha. Selain ketiga upacara tersebut, terdapat proses akulturasi lain yaitu larung sesaji. Upaara khas Jawa ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari peringatan tahun baru Muharram/ 1 Suro, sebagai symbol rasa syukur atas rahmat dan berkat dari Tuhan Yang maha Kuasa selama satu tahun. Upacar ini merupakan tradisi Hindu dalam rangka menyambut tahun baru Saka yang
dilanjutkan dalam tradisi kejawen. Dalam tradisi Hindu merupakan symbol melepas angkara murka atau sifat jahat manusia ke alam.

Akulturasi Budaya Tradisi Lokal, Hindu-Buddha, Dan Islam Di Indonesia
Posisi geografis Indonesia memberikan peluang yang besar bagi masuknya kebudayaan asing secara lebih mudah dan cepat. Keuntungan geografis ini pada melahirkan keuntungan-keuntungan ekonomis, politis, sosial, dan kultural. Keadaan ini telah berlangsung sejak awal masehi. Tak heran bila bentuk dan corak pratik kepercayaan dan budaya yang ada di Indonesia cukup beragam dan pluralistik.
Jika kita melihat praktik dan bentuk kebudayaan, misalnya, Hindu atau Buddha di India, takkan sama dengan yang ada di Indonesia. Atau bila melihat tradisi umat Islam di Arab atau Timur Tengah lainnya akan sedikit (atau banyak) berbeda dengan apa yang dipraktikan umat Islam di Indonesia. Ini terjadi karena setiap bangsa dan suku memiliki caranya masing-masing dalam menerima, merespon, dan mengadaptasikan budaya asing yang datang padanya. Selanjutnya, orang Indonesia, khususnya bagian timur, mengenal pula agama Kristen yang dibawa orang Portugis (Katolik) dan Belanda (Protestan). Hasil interaksi antara budaya pribumi-lokal, dengan budaya Hindu-Buddha dan Islam sebagai tradisi dan budaya "baru" dan sinkretis. Akan terlihat bagaimana masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia sesuai kearifan lokalnya masing-masing-menyatukan ketiga tradisi tersebut secara damai dan bijak tanpa mempertentangkannya satu sama lain.
Corak arsitektur bangunan bercorak Islam yang ada di Indonesia banyak dipengaruhi warna Gujarat, India. Masyarakat Gujarat ini pada awalnya beragama Hindu, namun sejak Islam masuk ke India sebagian dari mereka memeluk Islam. Gaya arsitektur bangunan di Gujarat merupakan akulturasi antara Hindu dan Islam, sehingga bentuknya berbeda dengan bangunan yang berada di Arab. Dengan demikian, masuknya Islam melalui Gujarat tidak memengaruhi bentuk bangunan Indonesia yang masih melekat dengan budaya Hindu-Buddhanya.
Seperti candi dan biara, arsitektur bangunan mesjid dibuat secara khusus agar terlihat beda dengan bangunan-bangunan lainnya. Sebagai tempat beribadah tetntunya bangunan bersangkutan harus terlihat lebih spesial dibandingkan bangunan-bangunan lainnya dan tahan lama. Biasanya atap masjid dibuat berundak-undak (bertingkat), sedangkan masjidnya berdenah persegi panjang, memiliki serambi depan atau samping, dikelilingi benteng, dan gerbang masjid tersebut berbentuk gapura yang berornamen Hindu-Buddha. Contoh masjid-masjid yang berarsitektur seperti ini dapat dijumpai pada Mesjid Marunda di Jakarta, Mesjid Agung Demak, Mesjid Agung Banten, dan Mesjid Agung Cirebon. Adapula beberapa masjid arsitekturnya sangat kental akan nuansa Cina, masjid ini biasanya didirikan oleh komunitas Tionghoa muslim yang ada di Indonesia, dan tak jarang masjid tersebut berubah fungsi menjadi kelenteng karena ditinggalkan penduduk aslinya. Biasanya, di sekitar masjid pada zaman dahulu selalu terdapat makam orang-orang penting di zamannya. Makam yang terdapat di belakang atau di samping masjid tersebut, biasanya merupakan tempat peristirahatan terakhir para raja beserta keluarga dan kerabatnya atau para wali. Makam-makam tersebut dibuat lebih tinggi dari tanah sebagai penanda bahwa kedudukan almarhum/almarhumah berbeda dengan rakyat biasa. Makam raja dan keturunannya dikumpulkan dalam satu wilayah seperti halnya keluarga (ayah, ibu, dan anak).
Batu nisan pada makam dibuat dari batu dan ditulisi nama orang, tempat dan tanggal lahir dan meninggal orang bersangkutan dengan huruf Arab dan bertarikh hijriah. a. Keraton Perpaduan budaya dalam bentuk bangunan dapat dilihat dari bentuk arsitektur pada keraton sebagai tempat raja. Keraton yang berada di Jawa dan Sumatera kebanyakan merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan Hindu dan Buddha. Keraton-keraton yang terdapat di Jawa, lazimnya dihiasi dengan ornamen-ornamen hiasan khas Islam yang dipadukan dengan ornamen Jawa yang Hindu-Buddha. Pada gerbang tempat masuk kerajaan dihiasi oleh gapura dan makara model Majapahit atau Singasari. Ruangan-ruangan di dalam keraton tersebut dihiasi ukiran-ukiran yang memadukan unsur Islam dengan Hindu-Buddha. b. Masjid Bagi umat Islam, masjid merupakan pusat kekuasaan politik yang handal, selain sebagai lambang persatuan umat. Pada masa Raden Patah menjadi raja, Masjid Demak merupakan tempat para wali dan pihak kerajaan membahas masalah-masalah politik. Sebagai pemimpin umat, seorang raja dituntut untuk membangun masjid dengan semegah mungkin. Besar dan kecilnya bangunan masjid merupakan cerminan dari kekuasaan yang dimiliki oleh seorang raja. Di Indonesia, sebelum seni arsitektur Islam dikenal betul, bangunan mesjid mengikuti seni arsitektur yang berkembang sebelumnya, seperti Mesjid Agung Cirebon, Agung Banten, Demak, Kudus, Jepara dan mesjid-mesjid lainnya. Mesjid-mesjid tersebut memiliki ciri atap yang bertumpuk-tumpuk yang banyak pengaruh dari budaya lokal dan Hindu-Buddha. c. Makam Sejarah senantiasa memperlihatkan kepada generasi mendatang tentang begitu banyak raja yang sangat cintai karena ketenaran dan kekayannya. Dan walaupun, raja tersebut sesungguhaya tak disukai rakyatnya, tetap saja makamnya dibangun begitu megah. Ketika raja tersebut meninggal dunia, sebuah makam atau kuburan pun dibuatkan dengan megah dan besar serta bercitra rasa arsitektural yang tinggi. Di India, misalnya, kita melihatnya pada Taj Mahal, makam permaisuri Sultan Syah Jehan dari Dinasti Mughal yang bernama Arjuman Banu Begum yang dikenal juga dengan Muntaz Mahal yang meninggal pada 1631. Di Indonesia, sejumlah peninggalan makam raja-raja yang pernah berkuasa cukup terpelihara dengan baik. Tidak seperti jenazah raja-raja Hindu-Buddha yang diabukan dan disimpan dalam candi, jenazah raja-raja Islam biasanya dikubur dalam tanah. Setelah dikubur jenazahnya maka makam raja bersangkutan akan dipelihara dan disanjung-sanjung. Para raja dan kerabat raja Mataram-Islam memiliki komplek pemakaman khusus yang berada di Bukit Imogiri, Yogyakarta. Komplek Imogiri ini dibangun atas perintah Sultan Agung Mataram sebagai tempat kuburannya dan sanak-saudaranya kelak bila meninggal dunia. Pembangunan komplek pemakaman di bukit tersebut memiliki motivasi yang bersifat kosmis yang berhubungan dengan kepercayaan animisme dan konsep dewa-dewi Hindu. Menurut kepercayaan tradisional, bukit atau dataran tinggi merupakan tempat yang layak bagi "tempat peristirahatan terakhir" seorang raja atau penguasa yang berperan sebagai wakil Tuhan di dunia. Bandingkanlah komplek Imogiri ini dengan komplek Candi Dieng peninggalan Mataram Kuno yang juga berada di dataran tinggi. Selain makam raja, makam-makam kerabat istana dan para pemuka agama yang terpandang juga senantiasa dirawat dan pada momen-momen tertentu sering diziarahi orang untuk berbagai macam kepentingan. Makam para Wali Sanga, misalnya, hingga sekarang masih sering dikunjungi, terutama pada hari-hari raya besar Islam. Selain mendoakan arwah yang diziarahinya, para pendatang juga selalu berdoa meminta kepada makam atau arwah bersangkutan agar keinginannya terpenuhi. Tak jarang keinginan para peziarah tersebut berbau mistis atau duniawi, seperti minta awet-muda, jabatan, kekayaan, perjodohan, dan hal-hal keduniawian lainnya.

Perkembangan hasil kebudayaan Islam (aksara dan sastra)
Tersebarnya Islam di Indonesia membawa pengaruh dalam bidang aksara atau tulisan. Abjad atau huruf-huruf Arab sebagai abjad yang digunakan untuk menulis bahasa Arab mulai digunakan di Indonesia. Bahkan huruf Arab digunakan di bidang seni ukir. Berkaitan dengan itu berkembang seni kaligrafi.
Di samping pengaruh sastra Islam dan Persia, perkembangan sastra di zaman madya tidak terlepas dari pengaruh unsur sastra sebelumnya. Dengan demikian terjadilah akulturasi antara sastra Islam dengan sastra yang berkembang di zaman pra-Islam. Seni sastra di zaman Islam terutama berkembang di Melayu dan Jawa. Dilihat dari corak dan isinya, ada beberapa jenis seni sastra seperti berikut.
  1. Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah ataupun dongeng. Dalam hikayat banyak ditulis berbagai peristiwa yang menarik, keajaiban, atau hal-hal yang tidak masuk akal. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Hikayat-hikayat yang terkenal, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat si Miskin, Hikayat 1001 Malam, Hikayat Bayan Budiman, dan Hikayat Amir Hamzah.
  2. Babad mirip dengan hikayat. Penulisan babad seperti tulisan sejarah, tetapi isinya tidak selalu berdasarkan fakta. Jadi, isinya campuran antara fakta sejarah, mitos, dan kepercayaan. Di tanah Melayu terkenal dengan sebutan tambo atau salasilah. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Mataram, dan Babad Surakarta.
  3. Syair berasal dari perkataan Arab untuk menamakan karya sastra berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat baris setiap baitnya. Contoh syair sangat tua adalah syair yang tertulis pada batu nisan makam putri Pasai di Minye Tujoh.
  4. Suluk merupakan karya sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal-soal tasawufnya. Contoh suluk yaitu Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang.