-->

Awal Mula Terjadinya Perang Jawa Perjuangan Pangeran Diponegoro


Perang jawa (1825-1830) adalah garis batas dalam sejarah jawa dan sejarah indonesia pada umumnya antara tatanan lama jawa dan zaman modern. Itulah masa untuk pertama kali sebuah pemerintahan kolonial eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar pulau jawa. Hampir seluruh jawa tengah dan jawa timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utaranya, terkena dampak pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari seluruh penduduk jawa terpapar oleh kerusakan perang, seperampat dari seluruh lahan pertanian yang ada rusak, dan jumlah penduduk jawa yang tewas mencapai 200.000 orang.
Di penghujung abad ke-18 Jawa bukanlah sebuah versi Belanda dari India di bawah kekuasaan Inggris. Karena kekuasaannya di Eropa sedang merosot, Belanda kelihatan akan menarik diri dari Jawa, sementara para penguasa di Jawa bagian selatan-tengah justru secara de facto sedang menikmati kekuasaannya. Fakta bahwa dalam berbagai masa krisis internasional di akhir abad ke 18, ketika Jawa terancam invasi Perancis dan Inggris, misalnya pada Oktober 1800, waktu pasukan Inggris mendarat sementara di Marunda di Teluk Jakarta, otoritas VOC di Batavia berpaling pada para penguasa di Jawa selatan-tengah untuk minta bantuan guna mempertahankan ibukota kolonial terhadap serangan asing, mengindikasikan skala kemandirian militer dan politik keraton-keraton itu.
Pada 1780-1783 dikatakan tahun titik balik dalam perjalanan sejarah Hindia Belanda yang dihadapkan pada hutang yang menggunung, yang jumlahnya mencapai 134 juta gulden (setara dengan 12 milyar dollar Amerika sekarang), VOC dinyatakan bangkrut dan aset-asetnya diambil alih oleh pemerintah Belanda tepat pada tanggal 1 Januari 1800. Empat tahun sebelumnya, semua milik Belanda di belahan dunia timur telah diambil alih dari tangan para direktur VOC, yang disebut Heeren XVII (Tuan 17) dan diserahkan kepada sebuah badan baru yang disebut komite untuk Urusan Perdagangan dan Koloni-koloni Hindia Timut. Rangkaian peristiwa ini terjadi menyusul pendudukan negeri Belanda oleh Angkatan Darat Wilayah Utara (Armee du nord) Republik Perancis pada Desember 1794 sampai Januari 1795, yang membuat negara republik itu menjadi satelit dari negara adidaya (la grande nation) Perancis. Peristiwa mempunyai implikasi bagi Jawa. Sebagai salah satu wilayah Belanda di seberang lautan, Jawa dimasukkan dalam kebijakan yang diumumkan oleh Stadhouder (kepala negara) Belanda di pengasingan. Di sana dinyatakan, koloni-koloni republik harus diserahkan kepada Inggris agar tidak jatuh ke tangan Perancis. Dengan demikian, dimulailah periode 20 tahun, masa ketika kepulauan Nusantara ditarik masuk ke dalam pusaran konflik global antara Inggris dan Perancis.
Diperebutkan habis-habisan selama Revolusi perancis (1792-1799) dan perang-perang Napoleon (1799-1802, 1803-1813, dan 1815) di eropa, kepulauan Nusantara menjadi ajang pertempuran darat dan laut antara Inggris dan Perancis-Belanda. Antara 1795-1797, Angkatan laut Inggris yang beroperasi dari Madras dan Pulau Pinang merampas banyak posisi Belanda di luar Jawa. Meski sempat dikembalikan kepada Belanda berdasarkan Persetujuan Damai Amiens (1802), namun semua dirampas kembali oleh Inggris dalam waktu tujuh tahun, menyusul merebaknya perseteruan baru di Eropa (Mei 1803), saat mana kepulauan Nusantara dimasukkan dalam wilayah blokade Angkatan Laut Inggris yang ketat (1804-1811).
Situasi sulit yang menimpa Belanda ini dimengerti dengan baik oleh para penguasa Jawa selatan-tengah. Oleh karena itu, setelah kedatangan Daendels pada bulan Januari 1808, seorang pejabat senior VOC, Nicolaus Engelhard (1761-1831), menyarankan agar pemerintahan bangsa Eropa mempekerjakan orang-orang suci dan petapa untuk membuat ramalan-ramalan yang menguntungkan pihak Belanda sekaligus menyembunyikan kelemahannya. Pada bulan Oktober tahun yang sama diselenggarakan pertunjukkan pertarungan harimau melawan banteng, khusus untuk menghormati para petinggi Belanda yang berkunjung ke keraton Yogyakarta. Kaburnya harimau menghindari kejaran banteng dalam peristiwa itu tampaknya telah ditafsirkan sebagai pertanda bahwa Belanda akan segera mati langkah sehubungan dengan kekuasaan mereka di Jawa.
 Keberangkatan pengulu (sebutan untuk para pemuka agama di keraton) terjadi beberapa saat setelah Smissaert mengambil keputusan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogya. Salah satu diantaranya melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada tanggal 17 Juni 1825, jalan ini mulai dipasangi patok oleh orang-orang kePatihan. Terhalangnya jalan itu menyebabkan banyak ketidaknyamanan bagi Pangeran Diponegoro dan orang-orang yang bekerja di tanah miliknya.
Danurejo sendiri tidak memberitahu keputusan Smissaert itu, sebagai Pangeran ia baru tahu setelah pemasangan patok-patok ini menjadi petunjuk pertama bahwa pekerjaan sudah akan dimulai. Sekilas pembuatan patok Danurejo ini disengaja, sehingga menimbulkan situasi panas dan perkelahian antara pengikut Diponegoro dan anak buah Patih yang segera melibatkan penduduk setempat. Pada awal Juli 1825, ketika para petani penggarap lahan-lahan Diponegoro yang lebih jauh tiba untuk membela Pangeran perseteruan itu kian memuncak. Rencana untuk bangkit melawan perseturuan kian memuncak. Rencana untuk bangkit melawan yang sedianya dijadwalkan pada pertengahan Agustus terpaksa dimajukan, karena perseteruan itu mengakhiri segala keraguan dalam hatinya untuk segera memulai aksi militer.
Perintah Pangeran untuk mengganti patok-patok jalan itu dengan tombak menjadi isyarat bahwa Pangeran menganggap pekerjaan jalan yang tanpa pemberitahuan dan tanpa mengindahkan tata krama itu merupakan penyebab perang casus belli. Diponegoro lalu bersiap-siap mengungsikan istri-istri dan anak-anaknya serta para pekerjanya yang lebih tua ke Selarong dengan dibekali uang dan barang berharga lain untuk membiayai pasukan. Pangeran juga mulai mengenakan keris kesayangannya, Kiai Abijoyo, yang jarang ia bawa.
Semua perkembangan ini dilaporkan kepada para pejabat di Yogya, pertengahan Juli. Namun, tidakan tidak dapat langsung dilaksanakan karena ketidakhadiran Patih yamg sedang menginspeksi pekerjaan pembangunan jalan di dekat Klaten, dan Smissaert sedang reses di Bedoyo. Maka akhir pekan yang gawat itu, yakni antara 15-17 Juli, lewat begitu saja. Ketika para pejabat Belanda dan keraton yang terusik itu berkumpul kembali di Yogya pada hari Senin, 18 Juli waktu untuk beerunding dengan Pangeran telah berlalu.
Tetapi kalaupun perundingan sempat dilakukan, tuntutan Diponegoro agar Darurejo dipecat tetap tidak dapat diterima Smissaert, yang memilih cara mengatasi krisis itu dengan mendesak agar Pangeranlah yang harus datang ke Yogya, cara yang tidak memberi ruang gerak kepada Pangeran yang telah menjadi tahanan para pendukungnya menolak mengizinkan Pangeran pergi ke Yogya untuk menemui residen.
Smissaert sendiri jelas takut pergi ke tegalrejo karena merasa keselamatan nyawanya bakal terancam. Demikianlah ketakutan menahun orang eropa, yakni bahwa orang Jawa dapat mengamuk, dibangkitlah kembali sebagai alasan. Setelah menggambarkan Diponegoro sebagai seorang fanatik, Smissaert meyakini bahwa Pangeran akan melakukan amuk juga, sekalipun ia menyadari arti politisnya.
Mengingat situasi ini, misi-misi yang dikirim oleh residen, Danurejo dan pejabat lain antara 18-20 Juli, semua gagal. Misi terakhir, yang dipimpin oleh dua bupati keraton senior, berangkat ke Tegalreejo setelah tengah hari pada rabu 20 juli dengan didukung oleh pasukan gabungan Jawa-Belanda yang misi itu bertujuan menciduk Diponegoro dan mangkubumi dan memenjarakannya, sehingga dapat mengakhiri pemberontakan itu sebelum keburu pecah. Namun, Pangeran telah siap siaga lantaran telah diingatkan oleh para pandai besi yang memasang sepatu pada kuda-kuda kavaleri di Yogya.
Kedatangan pasukan dalam jumlah besar ini memancing konflik terbuka dengan pendukung diponegor. Setelah pertempuran sengit terjadi, kediaman Pangeran jatuh ke tangan pasukan yang dipimpin Belanda itu, dan langsung dibakar. Namun, Pangeran berhasil lolos bersama sebagian besar pengikutnyamelalui gerbang barat tegalrejo. Dengan mengambil jalan-jalan setapak saat magrib dan sawah-sawah yang tidak tepat musim tergenang air sebab bulan Juli biasanya di tengah musim kemarau, tetapi waktu itu kebetulan terus menerus hujan, mereka dengan cepat meninggalkan para pengejarnya. Payen, yang menerima laporan lengkap operasi militer yang gagal itu dari temannya, letnan Jean Nicolaas de Thierry (1783-1825), komandan regu kavaleri berkekuatan 25 orang, memberikan gambaran yang hidup tentang lolosnya rombongan Pangeran itu. Pada hari berikutnya, kamis 21 juli 1825, Diponegoro dan pasukannya tiba di Selarong. Di sana, dekat gua tempat Diponegoro sering bersemedi mereka menancapkan panji-panji pemberontakan. Genderang perang Jawa pun dimulai.