-->

Historiografi Tradisional

Pemahaman terhadap karya Historiografi tradisional itu ditentukan oleh penghayatan kultural dari pembaca sehingga tanpa penghayatan tersebut, maka kredibilitas itu menjadi lebur, atau hampir lebur dengan objeknya. Para penulis karya historiografi tradisional memang tidak betujuan untuk menyatakan benar tidaknya fakta dari sudut sejarah sebagaimana ia terjadi (sejarah sebagai peristiwa). Fakta yang terkandung di dalam karya-karya itu bukan harus diterima tidaknya fakta tersebut sebagai gambaran sah masa lampau, melainkan suatu proses pemaknaan pada peristiwa. Oleh karena itu, historiografi tradisional sebagai sejarah lokal memuat campuran unsur-unsur mitologis, ekshatologis, kronologis, religio-magis, dan kosmogoni.
Historiografitradisional merupakan suatu karya yang tidak dapat dianggap srbagai karya yang sudah selesai. Jadi, sebagai sumber, historiografi tradisional berkedudukan sebagai bahan atau sumber sekunder. Karya tersebut berkedudukan sebagai bahan atau sumber primer yang memerlukan penelaahan yang mendalam dan hati-hati karena historiografi tradisional cenderung mengaburkan dua macam realitas, yaitu: 1. Realitas yang objektif terjadi (pengalaman aktual); 2. Realitas yang riil dalam diri (penghayatan kultural kolektif).
Historiografi tradisional dalam penelitian sejarah harus melalui tahap, yaitu:
  • Kritik ekstern pada penelitian sejarah.
  • Kritik Intern, seperti yang dikerjakan dalam penelitian filologi.
  • Diperlukan kesadaran dan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang kultural masyarakat yang menghasilkan karya historiografi tradisional.
Kemudian, perbandingan sumber-sumber ekstern dilakukan, seperti Tiongkok (Cina), Belanda, atau tradisi lisan. Pengetahuan latar belakang kultural dapat membantu membersihkan fakta dari unsur legenda, mitos, dan dongeng. Fakta dalam waktu tertentu dikelilingi oleh legenda, mitos, dan dongeng. 
Ada kecenderungan bahwa historiografi tradisional menurut Raymond Williams bermuatan "the myth of concern (mitos penguat) yang bertujuan utama untuk memelihara keseimbangan, atau kewajaran kosmos, dan berfungsi bagi kemantapan nilai dan tata yang berlaku, penguatan kekuatan magis penguasa, titisan dewa. Pada intinya, historiografi tradisional mencerminkan kenyataan riil yang dihayati dan patokan nilai yang dihayati (diberi makna, ditafsirkan berdasarkan the myth of concern). Hal tersebut mempunyai beberapa kecenderungan yang sama dan tidak berhenti pada usaha penyalinan peristiwa, tetapi terlibat langsung dalam hal yang diceritakan karena peristiwa haruslah ada maknanya, yaitu peristiwa dan konsepsi yang terjalin oleh pandangan dunia yang utuh.
Collingwood menyatakan bahwa semua sejarah adalah sejarah pikiran. Sejarawan tidak perlu terlalu jauh melibatkan diri dengan ide bahwa manusia itu pada dasarnya sama. Apa yang dilihat aktor sejarah belum tentu sama dengan sejarawan. Dengan menyatakan situasi dari si aktor, sejarawan sadar dengan interpretasinya sendiri. Kritik terhadap the myth of concern menyangsikan kesahan yang mutlak. Kritik tersebut disebut juga counter myth (mitos perlawanan). The myth of concern adalah mitos yang dimiliki oleh kelompok atau golongan yang sedang berkuasa dan menang dalam persaingan sejarah. Mereka menciptakan versi yang terbaik bagi kelompoknya. Sementara itu, counter myth adalah milik dari orang atau kelompok yang kalah dalam sejarah. Mereka adalah orang-orang tersingkir dan tidak layak berada di pentas sejarah. Orang-orang yang kalah adalah orang-orang yang harus dimatikan selamanya. Kalau mereka bisa bertahan dan melakukan perlawanan untuk mengubah kesan negatif yang sudah ditimbulkan oleh the myth of concern.
Bagi kalangan the myth of concern, cerita Damarwulan menunjukkan kepalawanan tokoh tersebut yang berhasil menumpas Menak Jingga. Menak Jingga sebagai orang yang kalah dilekatkan dengan ciri-ciri negatif dan ketidaklayakan kawin dengan putri Majapahit, Ratu Kencana Wungu. Namun, bagi kalangan counter myth, Menak Jingga adalah orang yang dikalahkan secara tidak fair. Kedua orang istrinya, Waita dan Puyengan, dirayu oleh Damarwulan untuk mencuri Gada Wesi Kuning. dalam pertempuran yang fair, Damarwulan dengan mudah dikalahkan. Damarwulan bukanlah ksatria karena setelah berhasil mengalahkan Menak Jingga dengan cara licik, ia pun menuainya dengan tipu muslihat Layang Seta dan Layang Kumitir. Bagi kalangan counter myth, Menak Jingga adalah orang yang layak sebagai pahlawan daripada Damarwulan. Menak Jingga justru menjadi pihak yang ditipu oleh kencana Wungu. Ketika Menak Jingga mengikuti sayembara untuk menghadapi kebo Marcuet ternyata berefek buruk karena sekujur tubuh Menak Jingga menjadi rusak dan mengalami patah tulang, serta wajahnya tidak tampan lagi. Menak Jingga dihianati oleh Putri Majapahit. penghianatan dari pihak Majapahit atau Kencana Wungu itulah yang memunculkan pemberontakan Menak Jingga.
Itu tadi adalah contoh peristiwa historigrafi tradisional. Dalam penulisan Historiografi tradisional, tradisi lisan penting bagi masyarakat yang belum atau sedikit mengenal kebudayaan tertulis karena dapat mengisi kekosongan data dari sumber-sumber lain, serta mengetahui sikap dan pengertian yang diberikan masyarakat bawah terhadap peristiwa tertentu.
Menurut Vansina, tradisi lisan adalah bayangan dari realitas.  Tradisi lisan tidak identik dengan realitas atau peristiwa, tetapi kebiasaan peristiwa itu dimengerti oleh masyaraka. Yang bisa dimengerti adalah realitas baru. Realitas baru memberikan patokan dalam melihat peristiwa atau situasi yang kemudian dan waktu yang diterapkan pada alam religiomagis  memunculkan realitas baru. Realitas baru dapat berbentuk metamorfosis personifikasi, yaitu suatu norma ata ide demi kelanjutan dapat berubah menjadi tokoh historis, atau defersonifikasi sebagai perubahan bentuk dari peristiwa, nilai, dan tokoh sejarah menjadi legenda, kemudian dikelilingi oleh mitos, akhirnya menjadi lambang atau simbol dari ide, atau nilai tertentu. Misalnya, nilai-nilai kepemimpinan astabrata dalam serat rama, atau dalam serat ruti jarwa.
Fenomena personifikasi adalah perubahan yang memunculkan tokoh sejarah dalam arti historiografi tradisional. penokohan itu dimaksudkan untuk melanggengkan suatu norma, ide, nilai, atau konsep kehidupan yang mungkin dianggap sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup. Sedangkan defersonifikasi adalah gejala perubahan dari tokoh menjadi nilai-nilai. Di sini, sejarah dinilaikan berdasarkan perilaku dan sikap hidup tokoh tertentu. Namun, mendepersonifikasi seorang tokoh itu tidak mudah sehingga ada usaha untuk mempersonifikasikan kembali nilai-nilai dalam bentuk tokoh.

Sumber: Priyadi, sugeng. 2012. Sejarah Lokal Konsep, Metode, dan Tantangannya. Yogyakarta: Penerbit Ombak