-->

Sejarah perkembangan Pers di Indonesia Masa Kolonial Belanda

Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologi kata pers yang sering diucapkan masyarakat Indonesia berasal dari kata terapan Belanda yang berarti tekan atau cetak. Dengan kata lain kita mengenalnya dengan media massa atau media massa cetak secara baku. Koran adalah salah satu contok pers yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, bagaimana pers mulai masuk dan dikenal oleh bangsa Indonesia? berikut ini akan dijelaskan ya sobat KG.
Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan kesuksesan hidup. Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi. Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangannya kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka pada mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji. Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisan-tulisannya pada surat kabar Bintang Hindia, ia selalu memuat tentang “kemajuan” dan “dunia maju”. Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai, kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kotakota penting di Hindia.
Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012).
Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji (1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisuryo memuat tentang tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka bersatu”. Ia kemudian dikenal sebagai pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI) dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu pula di tanah Sumatera, gagasan untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, yang berisi tentang panggilan perempuan untuk memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan keluarga Minangkabau. Sementara itu, anak-anak muda berpendidikan Barat di Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid (kemerdekaan) bagi anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa hambatan adat yang mengekang.
Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin. Surat kabar tersebut memuat dua hal penting, yaitu tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”. Bangsawan usul adalah mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga raja-raja dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu, dan lain-lain. Bangsawan pikiran adalah mereka yang mempunyai gelar meester, dokter, dan sebagainya, yang diperoleh melalui pendidikan.
Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ide-ide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan Komite Bumiputra adalah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat. Kritik tajam kemudian dilakukan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (“Seandainya Saya menjadi Seorang Belanda”). Tulisan ini berisi kritikan yang sangat tajam kepada Belanda yang tidak tahu malu karena minta dana kepada rakyat yang dijajah untuk perayaan kemerdekaan negara yang menjajah. Pemerintah Kolonial Belanda menilai tulisan itu dapat menghasut rakyat untuk melawan pemerintah. Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Kemudian menyusul Abdul Moeis sebagai pembaca naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai Kaoem Moeda, karena telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan itu. Pemerintah kolonial selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa. Cipto pada awalnya diasingkan ke Bangka, kemudian ke Belanda.
Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers adalah Semaun. Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara. Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam terhadap program Indie Weerbaar dalam bentuk syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada Dewan Kota yang sebagian besar adalah orang Eropa.