-->

Dari Rengasdengklok hingga Pegangsaan Timur nomor 56

1.    Perbedaan pandangan antara golongan muda dan golongan tua
Pada tanggal 6 Agustus 1945, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima yang menewaskan sedikitnya 78.000 orang. Peperangan di Asia sedang mendekati tahap akhir yang mengerikan. Hari berikutnya, keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang baru dibentuk diumumkan di Jakarta, dan berita-berita mengenai panitia ini disiarkan ke seluruh Indonesia. Lembaga tersebut beranggotakan wakil-wakil dari Jawa maupun dari luar Jawa yang didominasi oleh golongan tua. Pertemuan PPKI dengan Jepang ini dijadwalkan akan berlangsung pada 19 Agustus 1945. Pada tanggal 7 Agustus, kepanitiaan yang serupa dari Jepang akan mengambil keputusan yang rill untuk mengadakan pertemuan ini. Besoknya, pada 8 Agustus Uni soviet mengumumkan perang terhadap Jepang dan pada hari berikutnya pula bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki dan pihak Soviet menyerbu Manchuria. Pada hari itu, Tanggal 8 agustus 1945 karena tampak tak terelakkan lagi bahwa pihak Jepang akan menyerah, Soekarno, Moh. Hatta, dan radjiman terbang ke Saigon untuk menemui panglima wilayah selatan, Panglima Tertinggi Terauchi Hisaichi, yang akan mereka temui di Dalat pada tanggal 11 Agustus. Kepada mereka, Terauchi menjanjikan kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah Hindia Timur belanda, tetapi memveto penggabungan Malaya dan wilayah-wilayah Inggris di Kalimantan. Setelah itu, Soekarno ditunjuk sebagai ketua panitia persiapan dan Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 14 Agustus, Soekarno, Hatta, dan sebagainya tiba kembali di Jakarta. (Ricklefs, 2004: 425-426).
Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 agustus 1945, dan dengan demikian menghadapkan para pemimpin Indonesia pada suatu masalah yang berat. Karena pihak sekutu tidak menaklukkan kembali Indonesia, maka kini terjadi suatu kekosongan politik dimana pihak Jepang masih tetap berkuasa namun telah menyerah, dan tidak tampak kehadiran pasukan sekutu yang akan menggantikan mereka. Rencana-rencana bagi kemerdekaan yang disponsori pihak Jepang secara teratur kini tampaknya terhenti, dan pada hari berikutnya Gunseikan telah mendapat perintah-perintah khusus supaya mempertahankan status quo sampai kedatangan pasukan sekutu.
Soekarno, Moh. Hatta dan generasi tua ragu-ragu tentang apa yang harus dilakukan dan takut memancing konflik dengan pihak Jepang. Maeda ingin melihat pengalihan kekuasaan secara cepat kepada generasi tua, karena merasa khawatir dengan kelompok-kelompok muda yang dianggapnya berbahaya maupun terhadap pasukan-pasukan Jepang yang kehilangan semangat. Para pemimpin pemuda menginginkan suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis di luar kerangka yang disusun oleh pihak Jepang, dan dalam hal ini mereka didukung oleh Sjahrir. Akan tetapi, tak seorangpun yang berani bergerak tanpa Soekarno dan Moh. Hatta. (Ricklefs, 2004: 426)
Pandangan Sjahrir sesuai dengan dan didukung oleh kalangan muda yang menuntut diadakannya suatu tindakan nyata. Seperti halnya dengan golongan pemimpin yang lebih tua. Mereka memandang bahwa kapitulasi Jepang sudah pasti akan terjadi dan hanya tinggal soal waktu. akan tetapi mereka berbeda dalam sikap atau cara mananggapi situasi yang berubah cepat itu. Satu-satunya jalan yang ditempuh oleh golongan muda ialah membuka jalan untuk mempercepat pelaksanaan kemerdekaan Indonesia dengan meminta persetujuan dari Jepang secara diam-diam. Bagi golongan tua, tindakan provokatif golongan muda terhadap Jepang dapat berarti malapetaka. Bukan hanya terhadap konsep dan struktur yang telah dibangun sejauh ini, tetapi juga terhadap keselamatan jiwa Soekarno dan Hatta.
Pemikiran kelompok muda tentang jalan menuju kemerdekaan sama sekali tidak jelas, dalam arti bahwa mereka yang terpenting ialah harus bertindak secepatnya. Yakni, memproklamasikan kemerdekaan tanpa keterlibatan Jepang sama sekali, sedang segala sesuatu mengenai formalitas adalah urusan kemudian. Namun, pandangan di antara kelompok muda itu juga tidak sepenuhnya monopolitik. Selama bulan Juli-Agustus 1945, kegiatan para pemuda Indonesia di Jakarta semakin intensif membicarakan situasi perang dan antisipasi situasi sesudah perang berakhir. Kemerdekaan merupakan tema utama dalam wacana dari setiap gerakan meskipun menghadapi berbagai kendala karena sikap keras militer Jepang. Pusat-pusat kegiatan kelompok pemuda dan sepak terjang mereka dapat dikenali dari asrama-asrama di jakarta, tempat mereka berdiskusi dan merancang berbagai kegiatan sekitar Proklamasi.

2.    Peristiwa Rengasdengklok
Para pejuang terutama kaum muda yang melancarkan gerakan “bawah tanah” segera mengetahui berita penyerahan Jepang terhadap pasukan sekutu. Para pemuda mendesak para tokoh senior untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sutan Syahrir yang merupakan tokoh pemuda yang aktif dalam “gerakan bawah tanah” telah mengetahui berita penyerahan Jepang kepada Sekutu dari siaran radio. Oleh karena itu, ia segera menemui Moh. Hatta di kediamannya. Syahrir mendesak agar Soekarno dan Moh. Hatta segera memerdekakan Indonesia. Kira-kira pukul 14.00 Syahrir berhasil menemui Bung Hatta yang baru saja datang dari Da lat, Saigon. Syahrir menyampaikan informasi tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Oleh karena itu, agar Soekarno dan Moh. Hatta mau menyatakan kemerdekaan. Namun Hatta tidak bersedia dan akan membicarakan dengan Bung Karno. Oleh karena itu, Bung Hatta dan Syahrir pergi ke kediaman Bung Karno. Syahrir menyampaikan hal yang sama saat bertemu Moh. Hatta, agar Bung Karno dan Bung Hatta mau memerdekaan Indonesia karena Jepang telah menyerah. Tetapi Bung Karno belum bersedia sambil mencari kebenaran berita tentang menyerahnya Jepang pada Sekutu.
Mengapa Soekarno dan Hatta menolak segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Sebagai tokoh-tokoh yang demokratis, tahu hak dan kewajiban selaku pemimpin, kedua tokoh itu berpendapat bahwa untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, perlu dibicarakan dengan PPKI agar tidak menyimpang dari ketentuan. Akan tetapi, para pemuda berpendapat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan oleh kekuatan bangsa sendiri, bukan oleh PPKI. Menurut para pemuda, PPKI itu buatan Jepang. Pemuda berharap kemerdekaan yang dilakukan adalah kemerdekaan yang dilakukan oleh bangsa sendiri, bukan karena jasanya Jepang.
Hari-hari menjelang tanggal 15 Agustus 1945 merupakan hari yang menegangkan bagi bangsa Jepang dan bangsa Indonesia. Bagi bangsa Jepang, tanggal tersebut merupakan titik akhir nyali mereka dalam melanjutkan PD II. Menyerah kepada Sekutu adalah pilihan yang sangat pahit tetapi harus dilakukan. Bagi bangsa Indonesia, tanggal tersebut justru menjadi kesempatan baik untuk mempercepat Proklamasi kemerdekaan. Inilah yang menjadi pemikiran utama para pemuda atau sering disebut Golongan Muda kaum pergerakan Indonesia. Para pemuda berpikir, bahwa menyerahnya Jepang kepada Sekutu, berarti di Indonesia sedang kosong kekuasaan. Proklamasi dipercepat adalah pilihan yang tepat, sekaligus tanpa campur tangan Jepang.
Hari Rabu tanggal 15 Agustus 1945 sekitar pukul 21.30 WIB, para pemuda yang dipimpin Wikana, dan Darwis datang di rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Wikana dan Darwis memaksa Soekarno untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Para pemuda mendesak agar Proklamasi malam ini dapat dilaksanakan paling lambat tanggal 16 Agustus 1945. Sambil menimang-nimang senjata Wikana berucap dan bernada ancaman. Wikana terperanjat setelah melihat sikap dan bentakan Bung Karno. Suasana rumah Bung Karno semakin tegang. Hal ini juga disaksikan antara lain oleh Moh. Hatta, dr. Buntaran, Ahmad Subarjo, dan lwa Kusumasumantri. Para pemuda gagal memaksa Soekarno dan golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Para pemuda kemudian meninggalkan rumah kediaman Bung Karno. Bung Karno kemudian meminta Bung Hatta untuk mengundang para anggota PPKI pada pagi tanggal 16 Agustus 1945 untuk rapat membahas keadaan terakhir Indonesia dan persiapan untuk kemerdekaan Indonesia.
Adanya perbedaan paham itu telah mendorong golongan pemuda membawa Ir. Soekarno dan Moh. Hatta ke luar kota. Tindakan itu berdasarkan keputusan rapat terakhir yang diadakan oleh para pemuda pada pukul 00.30 waktu Jawa zaman Jepang (pukul 24.00) menjelang tanggal 16 Agustus 1945 di asrama Baperpi (Badan Permusyawaratan pemuda Indonesia), Cikini 71, Jakarta. Selain dihadiri oleh pemuda-pemuda yang sebelumnya berapat di ruangan Lembaga Bakteriologi, Pegangsaan Timur, rapat itu juga dihadiri oleh Sukarni, Jusuf Kunto, dr. Muwardi dari Barisan Pelopor dan Shodanco Singgih dari Daidan Peta Jakarta Syu. Bersama Chairul Saleh mereka telah bersepakat untuk melaksanakan keputusan rapat pada waktu itu, yaitu antara lain “menyingkirkan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang”. Guna menghindari kecurigaan dan tindakan Jepang, Shodanco Singgih mendapat kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut. (Notosusanto, 1984:81) 
Untuk melaksanakan tugas, Singgih mendapat pinjaman beberapa perlengkapan dari markas Peta di Jaga Monyet. Waktu itu yang piket di markas Peta adalah Latif Hendraningrat.Singgih disertai pengemudi, Sampun dan penembak mahir Sutrisno bersama Sukarni, Wikana, dan dr. Muwardi menuju ke rumah Moh. Hatta. Singgih secara singkat minta kesediaan Moh. Hatta untuk ikut ke luar kota. Moh. Hatta menuruti kehendak para pemuda itu. Rombongan kemudian menuju ke rumah Soekarno. Tiba di rumah Soekarno, keluarga Soekarno baru saja makan sahur. Setelah permisi, Singgih masuk rumah dan meminta agar Soekarno ikut pergi ke luar kota saat itu juga. Soekarno setuju, asal Fatmawati, Guntur (waktu itu berusia sekitar delapan bulan) dan Moh. Hatta ikut serta. Pemuda pun mengiyakan permintaan Soekarno. Tanggal 16 Agustus sekitar pukul 04.00 pagi rombongan Soekarno, Moh. Hatta, dan para pemuda menuju ke arah timur. Pemuda tetap merahasiakan kemana tujuan rombongan Soekarno ini mau dibawa pergi, Ternyata rombongan ini akan dibawa ke Rengasdengklok.
Rencana berjalan lancar karena diperolehnya dukungan berupa perlengkapan Tentara Peta dari cudanco Latief Hendraningrat yang pada saat itu sedang menggantikan Daidanco Kasman Singodimedjo yang betugas ke Bandung. Demikianlah pada tanggal 16 agustus pukul 04.30 waktu Jawa zaman Jepang (pukul 04.00 wib) Ir. Soekarno dan Moh. Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke luar kota menuju ke Rengasdengklok, sebuah kota kawedanan di sebelah Timur Jakarta. (Notosusanto, 1984:81)
Dipilihnya daerah Kawedanan Rengasdengklok, karena daerah itu terpencil yaitu 15 km dari Kedunggede, Karawang. Selain itu, juga ada hubungan baik antara Daidan Peta Purwakarta dan Daidan Jakarta, sehingga dari segi keamanan terjamin. Pagi hari rombongan Soekarno sampai di Rengasdengklok. Mereka diterima oleh Shodanco Subeno dan Affan. Mereka ditempatkan di rumah keluarga Tionghoa, Djiau Kie Siong yang simpati pada perjuangan bangsa Indonesia. Sehari di Rengasdengklok, para pemuda ternyata gagal memaksa Soekarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia lepas dari campur tangan Jepang. Namun, ada gelagat yang ditangkap oleh Singgih bahwa Soekarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia kalau sudah kembali ke Jakarta. Melihat tanda-tanda bahwa Soekarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka sekitar pukul 10.00 bendera Merah Putih dikibarkan di halaman Kawedanan Rengasdengklok. Jakarta berada dalam keadaan tegang karena tanggal 16 Agustus 1945 seharusnya diadakan pertemuan PPKI, tetapi Soekarno dan Moh. Hatta tidak ada di tempat. Ahmad Subarjo segera mencari kedua tokoh tersebut. Akhirnya setelah terjadi kesepakatan dengan Wikana, Ahmad Subarjo ditunjukkan dan diantarkan ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto. Ahmad Subarjo tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB untuk menjemput Soekarno dan rombongan. Namun kecurigaan para pemuda terhadap Ahmad Subardjo pun masih terjadi. Apakah, kalau Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, Proklamasi kemerdekaan akan bisa terlaksana. Terjadilah dialog antara Subeno selaku komandan Peta Rengasdengklok dengan Ahmad Subardjo.
Dalih untuk mengamankan Ir. Soekarno dari pemberontakan dengan dibawa ke Rengasdengklok membuat Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sadar bahwa ternyata tidak ada pemberontakan sama sekali, sehingga Soekarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang. Mereka menolak melakukan hal itu, Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat, maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak peduli bilamana kemerdekaan dinyatakan. Pada malam itu, Soekarno dan Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta. Pernyataan kemerdekaan dirancang sepanjang malam. Kaum aktivis muda menginginkan bahasa yang dramatis dan berapi-api, tetapi untuk menjaga supaya tidak melukai perasaan pihak Jepang atau mendorong terjadinya kekerasan, maka disetujuilah suatu peryataan yang sejuk dan bersahaja yang dirancang oleh Soekarno. (Ricklefs, 2004: 426-427)
Dengan jaminan itu, maka Shodanco Subeno mewakili para pemuda mengizinkan Subardjo untuk bertemu dan membawa pulang bersama Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan rombongan kembali ke Jakarta. Petang itu juga Soekarno dan rombongan kembali ke Jakarta. Dengan demikian berakhirlah peristiwa Rengasdengklok.

3.    Perumusan teks Proklamasi
Sesampainya di Jakarta pada pukul 22.00 wib, rombongan golongan tua dan golongan muda pergi menuju rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1, setelah Soekarno dan Hatta singgah di rumah masing-masing terlebih dahulu. Di rumah Maeda lah naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disusun. Sebelumnya Ir. Soekarno dan Moh. Hatta telah menemui Shomubuco, Mayor Jendral Nishimura untuk menjajaki sikapnya mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Yang menemani mereka adalah Laksamana Maeda bersama Shigetada Nishijima dan Tomegoro serta Miyoshi sebagai penerjemah. Pada pertemuan tersebut tidak dicapai kata sepakat antara Soekarno-Hatta di satu pihak dan Nishimura di lain pihak. Di satu pihak Soekarno-Hatta bertekad untuk melangsungkan rapat panitia Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945 itu tidak jadi diadakan karena mereka dibawa oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jendral Besar Terauchi telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kepada PPKI. Di lain pihak, Nishimura menegaskan garis kebijakan Panglima Tentara ke-16 di Jawa, yakni dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo. Sejak tengah hari sebelumnya tentara Jepang semata-mata sudah merupakan alat sekutu dan diharuskan tunduk kepada perintah sekutu.
Berdasarkan garis kebijakan itu Nishimura melarang Soekarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPki dalam rangka pelaksanaan Proklamasi kemerdekaan. Akhirnya, sampailah Soekarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicaraan soal kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Hanya mereka mengharapkan dari pihak Jepang supaya tidak menghalang-halangi pelaksanaan Proklamasi oleh rakyat Indonesia sendiri.
Setelah hampir dua jam lamanya mereka mengadakan pertemuan dengan Nishimura tanpa dicapai kesepakatan pendapat di antara mereka, Soekarno dan Hatta dengan didampingi Miyoshi kembali ke rumah Maeda . Di rumah Maeda kedua pemimpin itu bertemu dengan Soebardjo. Demikian pula Maeda yang pulang ke rumahnya lebih dahulu secara diam-diam dari rumah Nishimura. Rumah laksamana Jepang itu dianggap tempat yang aman dari tindakan Pemerintah Militer Angkatan Darat. Kedudukan Maeda sebagai Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut di daerah kekuasaan Angkatan Darat memungkinkannya berhubungan dengan Mr. Achmad Soebardjo dan sejumlah pemuda Indonesia yang bekerja pada kantornya. Berdasarkan hubungan baik itu rumah Maeda dijadikan tempat pertemuan antara berbagai golongan pergerakan nasional baik golongan tua maupun golongan muda.
Di ruamg makan rumah itu dirumuskan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Maeda sebagai tuan rumah mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai kedua tatkala peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura bersama tiga tokoh pemuda yakni Sukari, Mbah Diro, dan B. M. Diah menyaksikan Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan Mr. Achmad Soebardjo membahas perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh lainnya baik dari golongan muda dan tua, menunggu di serambi muka. Perumusan berlangsung dengan lancar dan diantara rumusan Proklamasi didapati kalimat yang diambil dari Piagam Djakarta 22 Juni 1945, yaitu bab Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun oleh panitia yang diketuai oleh Soekarno.
Perumusan didahului dengan pertanyaan Soekarno kepada Soebardjo sebagai berikut: "masih ingatkah saudara teks dari bab Rancangan Undang-Undang Dasar kita?, tanya Soekarno. "Ya, saya ingat, tetapi tidak lengkap seluruhnya", jawab Soebardjo. "tidak mengapa, kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut proklamasi dan bukannya seluruh teksnya", jawab soekarno.
Pada saat itu, Soekarno memegang pena dan menulis Teks Proklamasi yang kalimatnya terdiri dari dua ayat. Ayat pertama yang ditulis "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia" adalah kalimat yang diingat oleh Mr. achmad Soebardjo dari Piagam Djakarta yang antara lain berbunyi "Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan uhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya".
Kemudian Hatta menyempurnakan Teks proklamasi dengan ayat kedua "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya". Soekarno lah yang menuliskan konsep Proklamasi pada secarik kertas, sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr. Achmad Soebardjo menyumbangkan pikiran secara lisan. Sebagai hasil pembicaraan merekamemperoleh rumusan yang ditulis oleh Ir. Soekarno sebagai berikut:

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnnja.
Djakarta, 17-08-1945

Wakil-2 bangsa Indonesia

Kalimat pertama merupakan saran dari Mr. Achmad Soebardjo yang diambil dari rumusan dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai, sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Drs. Moh. Hatta. Beliau menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan peryataan dari kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Menurut pendapatnya dari kemauan bangsa ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah rumusan kalimat kalimat terakhir dari naskah Proklamasi tersebut.
Setelah Soekarno, Hatta dan Soebardjo selesai merumuskan naskah Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang telah berkumpul. Waktu saat itu menunjukkan pukul 03.00 wib Ir. Soekarno membuka pertemuan dengan membacakan rumusan naskah Proklamasi yang masih merupakan konsep. Kepada mereka yang hadir, Ir. Soekarno menyarankan agar bersama-sama menandatangani naskah Proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Saran itu diperkuat oleh Drs. Moh. Hatta dengan mengambil contoh kepada naskah "Declaration of Independence" Amerika Serikat. Saran itu ditentang oleh pihak pemuda. Mereka tidak setuju kalau tokoh-tokoh golongan tua yang disebutnya sebagai "budak-budak Jepang" turut menandatangani naskah Proklamasi. Tokoh-tokoh golongan tua yang  bukan orang pergerakan nasional mereka anggap sebagai oportunis yang memperoleh kedudukan menjadi pejabat Kepala Pemerintahan Militer Jepang. Akan tetapi, kemudian salah seorang tokoh pemuda, yakni Sukarni, mengusulkan agar yang menandatangani naskah Proklamasi cukup dua orang saja, yakni Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Bukankah mereka berdua yang pada masa itu dimana-mana dikenal sebagai pemimpin utama bangsa Indonesia? Dengan disetujuinya usul Sukarni itu oleh hadirin, Ir. Soekarno meminta kepada Sajuti Melik untuk mengetik bersih naskah itu berdasarkan naskah tulisan tangan Soekarno, disertai dengan perubahan-perubahan yang telah disetujui.
Sajuti Melik mengetik naskah bersih rumusan Proklamasi . Ada tida perubahan yang terdapat pada naskah bersih itu, yakni kata-kata "tempoh" diganti menjadi "Tempo", sedangkan wakil-wakil bangsa Indonesia pada bagian akhir diganti dengan "Atas Nama Bangsa Indonesia". Demikian pula perubahan terjadi pada cara menulis tanggal, yaitu "Djakarta, 17-8-05" menjadi "Djakarta, Hari 17 Boelan 8 Tahoen '05". Dengan perubahan tersebut naskah yang sudah diketik kemudian ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta.

Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l. diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen '05
Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno/Hatta

(tandatangan Soekarno)
(tandatangan Hatta)

Demikianlah proses dan peristiwa  yang menghasilkan naskah Proklamasi Kemerdekaan itu telah berlangsung pada dini hari 17 Agustus 1945. Timbullah persoalan tentang bagaimana caranya naskah tersebut disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Sukarni mengusulkan agar naskah tersebut dibacakan di Lapangan Ikada, yang telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah Proklamasi. Tetapi Soekarno tidak setuju, karena tempat itu adalah tempat umum yang dapat memancing bentrokan antara rakyat dengan militer Jepang. Beliau sendiri mengusulkan agar Proklamasi dilakukan di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No.56. Usul tersebut disetujui dan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan dibacakannya bersama Hatta di tempat itu pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00.WIB di tengah-tengah bulan Ramadhan (bulan Puasa).

4.    Proklamasi berkumandang
Pada pukul 5 pagi tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin dan pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda dengan diliputi kebanggaan. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan di rumah Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10 pagi. Sebelum pulang, Moh. Hatta berpesan kepada B.M. Diah untuk memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.
Sementara itu, para pemuda tidak langsung pulang, mereka melakukan kegiatan-kegiatan untuk penyelenggaraan pembacaan naskah Proklamasi. Masing-masing kelompok pemuda mengirim kurir untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa saat Proklamasi telah tiba. Semua alat komunikasi digunakan untuk penyambutan Proklamasi. Pamflet, pengeras suara, dan mobil-mobil dikerahkan ke segenap penjuru kota. Tanpa diduga, pada hari itu barisan pemuda berbondong-bondong menuju Lapangan Ikada. Para pemuda datang ke tempat itu, karena informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut bahwa Proklamasi akan diselenggarakan di Lapangan Ikada. Rupanya Jepang telah mencium kegiatan para pemuda malam itu, sehingga mereka berusaha untuk menghalang-halanginya. Lapangan Ikada telah dijaga oleh Pasukan Jepang yang bersenjata lengkap. Karena itu, Proklamasi tidak diselenggarakan di Lapangan Ikada, tetapi dilaksanakan di Pegangsaan Timur No. 56.
Pada pagi hari itu juga, rumah Soekarno dipadati oleh sejumlah massa. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan Proklamasi, dr. Muwardi meminta Latief Hendraningrat beserta beberapa anak buahnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Soekarno. Sementara itu, Walikota Jakarta, Suwiryo memerintahkan kepada Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk menyiapkan bendera dan sekaligus mencari tiang bendera. S. Suhud mendapatkan bendera Merah Putih dari Ibu Fatmawati. Bendera dijahit Ibu Fatmawati sendiri dan ukurannya sangat besar (tidak standar). Bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati dikenal dengan bendera pusaka. Sejak tahun 1969 tidak lagi dikibarkan dan diganti dengan bendera duplikat. Sementara tiang bendera menggunakan sebatang bambu (semacam bekas jemuran pakaian).
Sejak pagi hari, sudah banyak orang berdatangan di rumah Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Tokoh-tokoh yang sudah hadir, antara lain Mr. A. A. Maramis, dr. Buntaran Martoatmojo, Mr. Latuharhary, Abikusno Cokrosuyoso, Otto Iskandardinata, Ki Hajar Dewantoro, Sam Ratulangie, Sartono, Sayuti Melik, Pandu Kartawiguna, M. Tabrani, dr. Muwardi, Ny. SK. Trimurti, dan AG. Pringgodigdo.
Acara yang direncanakan pada upacara bersejarah itu adalah; pertama pembacaan teks Proklamasi; kedua, pengibaran bendera Merah Putih; dan ketiga, sambutan walikota Suwiryo dan dr. Muwardi dari keamanan. Hari Jumat Legi, tepat pukul 10.00 WIB, Soekarno dan Moh. Hatta keluar ke serambi depan, diikuti oleh Ibu Fatmawati. Soekarno dan Moh. Hatta maju beberapa langkah. Soekarno mendekati mikrofon untuk membacakan teks Proklamasi.

5.    Dukungan dari berbagai lapisan dari peristiwa Proklamasi.
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia cepat bergema ke berbagai daerah. Rakyat di Jakarta maupun di kota-kota lain menyambut dengan antusias. Karena alat komunikasi yang terbatas, informasi ke daerah-daerah tidak secepat di Jakarta. Saat tersiarnya berita tentang Proklamasi Kemerdekaan, banyak rakyat Indonesia yang tinggal jauh dari Jakarta tidak mempercayainya.
Pada tanggal 22 Agustus, Jepang akhirnya secara resmi mengumumkan penyerahannya kepada Sekutu. Baru pada bulan September 1945, Proklamasi diketahui di wilayah-wilayah yang terpencil. Keempat penguasa kerajaan yang ada di Jawa Tengah menyatakan dukungan mereka kepada Republik, yaitu Yogyakarta, Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.
Euforia revolusi segera mulai melanda negeri ini, khususnya kaum muda yang merespon kegairahan dan tantangan kemerdekaan. Para komandan pasukan Jepang di daerah-daerah sering kali meninggalkan wilayah perkotaan dan menarik mundur pasukan ke daerah pinggiran guna menghindari konfrontasi. Banyak yang bijaksana memperbolehkan pemuda-pemuda Indonesia memperoleh senjata. Antara tanggal 3-11 September, para pemuda di Jakarta mengambil alih kekuasaan atas stasiun-stasiun kereta api, sistem listrik, dan stasiun pemancar radio tanpa mendapat perlawanan dari pihak Jepang. Pada akhir bulan September, instalasi-instalasi penting di Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Bandung juga sudah berada di tangan para pemuda Indonesia.
Selain itu, juga terlihat adanya semangat revolusi di dalam kesusasteraan dan kesenian. Surat-surat kabar dan majalah Republik bermunculan di berbagai daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta. Aktivitas kelompok sastrawan yang bernama “Angkatan 45”, mengalami masa puncaknya pada zaman revolusi. Lukisan-lukisan modern juga mulai berkembang pesat di era revolusi. Banyak pemuda bergabung dengan badan-badan perjuangan.
Di Sumatera, mereka benar-benar memonopoli kekuasaan revolusioner. Karena jumlah pemimpin nasionalis yang sudah mapan di sana hanya segelintir, mereka ragu terhadap apa yang akan dilakukan. Para mantan prajurit Peta dan Heiho membentuk kelompok-kelompok yang paling disiplin. Laskar Masyumi dan Barisan Hizbullah, menerima banyak pejuang baru dan ikut bergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata Islam lainnya yang umumnya disebut Barisan Sabilillah, yang kebanyakan dipimpin oleh para Kiai.
Proklamasi kemerdekaan akan disebarluaskan melalui radio, tetapi Jepang menentang upaya penyiaran tersebut, dan malah memerintahkan agar para penyiar meralat berita Proklamasi sebagai sesuatu kekeliruan. Tampaknya para penyiar tetap tidak mau memenuhi seruan pihak Jepang. Oleh karena itu, pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancarnya disegel dan para pegawainya dilarang masuk. Mereka kemudian membuat pemancar baru di Menteng 31. Di samping melalui siaran radio, para wartawan juga menyebarluaskan berita Proklamasi melalui media cetak, seperti surat kabar, selebaran, dan penerbitan-penerbitan yang lain.
Pada tanggal 3 September 1945, para pemuda mengambil alih kereta api termasuk bengkel di Manggarai. Tanggal 5 September 1945, Gedung Radio Jakarta dapat dikuasai.Tanggal 11 September 1945, seluruh Jawatan Radio berhasil dikuasai oleh Republik. Oleh karena itu, tanggal 11 September dijadikan hari lahir Radio Republik Indonesia (RRI). Para pemuda memprakarsai diadakannya rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang Monas). Rapat yang digagas oleh para pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam “Kesatuan van Aksi”, untuk melakukan rapat raksasa di lapangan Ikada, yang semula digagas tanggal 17 September 1945, mundur menjadi 19 September 1945. Presiden Soekarno sudah dihubungi dan bersedia akan menyampaikan pidato di dalam rapat raksasa pada tanggal 19 September 1945. Sejak pagi, rakyat Jakarta sudah mulai berdatangan dan memenuhi Lapangan Ikada. Rapat itu untuk memperingati sebulan kemerdekaan Indonesia.
Bermula dari ketidakpuasan rakyat terhadap sikap Jepang yang belum juga mengakui Negara Republik Indonesia dan bahkan Jepang malah mempertahankan status quo-nya dengan mengatasnamakan Sekutu. Kondisi itu mendorong rakyat Indonesia yang baru saja merdeka, untuk segera membentuk pemerintah yang baru dan mengambil langkah-langkah nyata. Ketidakpuasan rakyat semakin bertambah ketika mengetahui pendaratan pasukan Sekutu dibawah pimpinan Mayor Geenhalgh, di Kemayoran pada 8 September 1945. Rakyat dari berbagai penjuru dengan tertib berdatangan ke Lapangan Ikada dengan membawa poster dan bendera merah-putih. Mereka menuntut kebulatan tekad untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. Mereka juga bertekad untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia bukan atas bantuan Jepang, tetapi merupakan tekad seluruh rakyat Indonesia. Melihat tekad rakyat yang menggelora dan tidak dapat dihalangi meskipun oleh tentara Jepang sekalipun, pemerintah terdorong untuk mengadakan sidang kabinet. Setelah itu, diputuskan Presiden Soekarno dan Moh. Hatta dan para menteri untuk datang ke Lapangan Ikada. Pada kesempatan itu Soekarno menyampaikan pidatonya yang disambut dengan gegap gempita oleh rakyat. Rapat itu berlangsung tertib dan damai. Pada tanggal 19 Agustus 1945 itu juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII telah mengirim kawat ucapan selamat kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta atas berdirinya Negara Republik Indonesia dan atas terpilihnya dua tokoh tersebut sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Ucapan selamat itu tersirat bahwa Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengakui kemerdekaan RI dan siap membantu mereka.
Kemudian, pagi itu sekitar pukul 10.00 tanggal 19 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengundang kelompok-kelompok pemuda di bangsal kepatihan. Kemudian untuk mempertegas sikapnya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VII pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan amanat antara lain sebagai berikut.
a.    Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat bersifat kerajaan dan merupakan daerah istimewa dari Negara Indonesia.
b.    Sri Sultan sebagai kepala daerah dan memegang kekuasaan atas Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat.
c.    Hubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara RI bersifat langsung. Sultan selaku Kepala Daerah Istimewa bertanggung jawab kepada Presiden.
Amanat Sri Paku Alam VIII sama dengan amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Hanya saja kata‘Sri Sultan Hamengkubuwono IX’ diganti dengan ‘Sri Paku Alam VIII’ dan ‘Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat’ diganti dengan ‘Negeri Paku Alaman’. Sementara di Surabaya, memasuki bulan September 1945, terjadi gerakan perebutan senjata di gudang Don Bosco. Rakyat Surabaya juga merebut Markas Pertahanan Jepang di Jawa Timur, serta pangkalan Angkatan Laut di Ujung sekaligus merebut pabrik-pabrik yang tersebar di sana.
Orang-orang Inggris dan Belanda yang sebagian telah datang, langsung berhubungan dengan Jepang. Mereka menginap di Hotel Yamato atau Hotel Oranye pada zaman Belanda. Pada tanggal 19 September 1945, seorang bernama Ploegman dibantu kawan-kawannya mengibarkan bendera Merah Putih Biru di atas Hotel Yamato. Residen Sudirman segera memperingatkan agar Ploegman dan kawan-kawannya menurunkan bendera tersebut. Peringatan itu tidak mendapat tanggapan. Hal ini telah mendorong kemarahan para pemuda Surabaya. Para pemuda Surabaya kemudian menyerbu Hotel Yamato. Beberapa pemuda berhasil memanjat atap hotel dan menurunkan bendera Merah Putih Biru, kemudian merobek bagian warna birunya. Setelah itu, bendera tersebut dikibarkan kembali sebagai bendera Merah Putih. Dengan berkibamya bendera Merah Putih maka dengan penuh semangat dan tetap menjaga kewaspadaan, para pemuda itu satu per satu meninggalkan Hotel Yamato.

6.    Makna Proklamasi
Menurut kalimat-kalimat yang terdapat di dalamnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berisi suatu pernyataan kemerdekaan yang memberitahukan kepada bangsa Indonesia sendiri dan kepada dunia luar bahwa pada saat itu bangsa Indonesia telah merdeka, lepas dari penjajahan. Kepada bangsa lain kita beritahukan bahwa kemerdekaan kita tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh dihalang-halangi. Bangsa Indonesia benar-benar telah siap untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikannya itu, demikian juga siap untuk mempertahankan negara yang baru didirikan tersebut. Hal itu ditunjukkan oleh kalimat pertama pada naskah Proklamasi yang berbunyi: "Kami bangsa Indonesia, dengan ini meyatakan Kemerdekaan Indonesia". Kalimat tersebut merupakan pernyataan, sedangkan kalimat kedua merupakan amanat seperti yang dinyatakan dalam kalimat berikut bahwa: "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya".
Kalimat dalam naskah Proklamasi tersebut sangat singkat, hanya terdiri atas dua kalimat atau alinea, tetapi amat jelas, mengingat pembuatannya dilakukan dalam suasana eksplosif dan harus segera selesai secara cepat pula. Hal itu justru menunjukkan kelebihan dan ketajaman pemikiran para pembuatnya pada waktu itu.
Dalam kalimat kedua itu dikandung maksud agar pemindahan atau perebutan kekuasaan pemerintahan, kekuasaan atas lembaga-lembaga negara, kekuasaan di bidang senjata dan lain-lain hendaknya kita lakukan dengan hati-hati, penuh perhitungan untuk menghindarkan terjadinya pertumpahan darah secara besar-besaran. Namun tugas itu semua hendaknya dilakukan secepatnya sebelum tentara sekutu mendarat di Indonesia, untuk menerima penyerahan Indonesia dari tangan Jepang. Dan secara nyata, sebelum tentara sekutu (Allied Forces Netherland East Indies) tiba bangsa Indonesia sudah selesai menjalankan amanat Proklamasi tersebut, sehingga kedatangan sekutu tanggal 29 September 1945 telah menyaksikan berdirinya suatu negara Republik Indonesia yang merdeka. Hal itulah yang mendorong Panglima pasukan sekutu untuk Indonesia (AFNEI), Letnan Jendral Sir Philip Christison memberikan pernyataan pada tanggal 1 Oktober 1945, yang dapat dipandang sebagai pengakuan secara de facto terhadap pemerintahan Republik Indonesia.
Makna atau arti penting proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga dapat dipandang dari berbagai segi. Apabila ditelaah, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu mengandung beberapa aspek. Dari sudut ilmu hukum, Proklamasi atau pernyataan yang berisikan keputusan bangsa Indonesia telah menghapuskan tata hukum kolonial dan pada saat itu pula digantikan dengan tata hukum nasional (Indonesia). Dari sudut politik-ideologis, Proklamasi atau pernyataan yang berisikan keputusan bangsa Indonesia telah berhasil melepaskan diri dari segala belenggu penjajahan dan sekaligus membangun prumahan baru, yaitu perumahan Negara Proklamasi Republik Indonesia yang bebas, merdeka dan berdaulat penuh.
Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, antara lain mengatakan Proklamasi kemerdekaan ialah suatu alat hukum internasional untuk menyatakan kepada rakyat dan seluruh dunia bahwa bangsa Indonesia mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri untuk menggenggam seluruh hak kemerdekaan yang meliputi bangsa, tanah air, pemerintahan dan kebahagian rakyat. Proklamasi menjadi dasar untuk meruntuhkan segala hal yang mendukung kolonialisme, imperialisme dan selain itu Proklamasi adalah dasar untuk membangun segala hal yang berhubungan langsung dengan kemerdekaan nasional. Peraturan negara sejak 17 Agustus 1945 bersumber kepada kemerdekaan. Kemerdekaan itu sendiri dipancarkan oleh Proklamasi. Jadi Proklamasi kemerdekaan adalah sumber dari segala peraturan hukum nasional yakni UUD 1945. Proklamasi kemerdekaan menjadi dasar peraturan negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga dapat dipandang sebagai puncak perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya. Perjuangan itu telah mengorbankan harta benda, daerah dan jiwa yang berlangsung sudah sejak berabad-abad lamanya untuk membangun persatuan dan kesatuab dan merebut kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah. proklamasi 17 Agustus 1945 juga merupakan mercusuar yang menerangi dan menunjukkan jalannya sejarah, pemberi inspirasi dan motivasi dalam perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia di semua lapangan di setiap keadaan.
Akhirnya Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bertujuan untuk kebahagian seluruh rakyat Indonesia. agar kita bahagia antara lain harus ada kesamaan di antara kita semua yang meliputi berbagai bidang misalnya bidang ideologi, bidang politik, bidang ekonomi, bidang hukum, bidang sastra kebudayaan, pendidikan, dan lain-lain.
Dengan berhasil diproklamasikan kemerdekan 17 Agustus 1945, bangsa dan negara Indonesia telah lahir sebagai bangsa dan negara yang merdeka, baik secara de facto maupun secara de jure. dalam peristiwa itu memang kadang-kadang terjadi permasalahan. Sejak kapan negara Indonesia berdiri, tanggal 17 ataukah 18 Agustus 1945. mengingat pengeshan UUD 1945 dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1945. Dalam hal itu kita bukan menganut teori hukum murni, melainkan teori keputusan yakni pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai bukti dapat dikutip kembali pidato Bung Karno dalam pidato proklamasinya antara lain menyatakan bahwa: "Kita sekarang telah merdeka. Tidak satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun negara kita! negara merdeka, negara republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.

Sumber: Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press (hal, 221-224)

7.    Nilai-nilai kejuangan yang terkandung dalam peristiwa Rengasdengklok, perumusan teks Proklamasi, dan Proklamasi
Nilai-nilai perjuangan yg terkandung dalam peristiwa Proklamasi yakni nasionalisme, cinta tanah air, dan bela negara yg kuat di jiwa para pejuang, walaupun pada saat itu Jepang sudah berjanji akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia namun rakyat Indonesia tidak menginginkan kemerdekaan merupakan sebuah pemberian dari penjajah, kemerdekaan harus diraih dengan kekuatan sendiri, sehingga perlu disatukannya kekuatan para pejuang untuk merebut Indonesia dari tangan para penjajah Jepang. (https://brainly.co.id/tugas/2138343, diakses tanggal 14 april 2018, pukul 11.48 wib)

8.    Makna bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan bangsa Indonesia setelah peristiwa Proklamasi.
Dalam hal kehidupan sosial, dengan di diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka kita selaku warga RI harus menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara
Dalam hal budaya, dengan di Proklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka sepatutnya kita menghargai budaya bangsa agar tidak pudar dan punah, menjunjung tinggi budaya kita sendiri diperlukan, karena dengan adanya budaya kita memiliki ideologi yang jelas.
Dalam hal Ekonomi, dengan diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka kita harus lebih produktif, sehingga memakmurkan pendapatan bangsa, sehingga negara bisa berjalan dengan mandiri tanpa ketergantungan dari pihak lain.
dalam hal politik, dengan di Proklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita perlu berpolitik terhadap pihak yang meruntuhkan persatuan di negara ini.
Dalam hal pendidikan berbangsa Indonesia, dengan diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka kita perlu mempelajari pendidikan kewarganegaraan. (https://brainly.co.id/tugas/5293406, diakses tanggal 14 April 2018, puku 11.50 wib)

Penyusun: Afrianda Mizaska, S. Pd