Organisasi semi-militer Jepang adalah organisasi yang tidak dikhususkan untuk melakukan pertahanan secara militer, namun lebih bersifat ke keamanan dan ketertiban serta kecenderungan untuk kesejahteraan rakyat. Pelatihan dibidang kemiliteran tetap ada, namun tidak begitu ditekankan.
Organisasi militer Jepang adalah organisasi yang dikhususkan untuk melakukan pertahanan secara militer guna mempertahankan wilayah Indonesia, misalnya prajurit tentara. Dalam organisasi ini, pelatihan kemiliteran sangat ditekankan.
Organisasi militer Jepang adalah organisasi yang dikhususkan untuk melakukan pertahanan secara militer guna mempertahankan wilayah Indonesia, misalnya prajurit tentara. Dalam organisasi ini, pelatihan kemiliteran sangat ditekankan.
Organisasi Semi-militer
Sesuai dengan sifat pemerintahan militer, Jepang berusaha mengembangkan organisasi militer. Namun, untuk memperkuat pemerintahannya Jepang juga mengembangkan organisasi-organisasi semi-militer dan pengerahan para pemuda yang kuat secara fisik.
Sesuai dengan sifat pemerintahan militer, Jepang berusaha mengembangkan organisasi militer. Namun, untuk memperkuat pemerintahannya Jepang juga mengembangkan organisasi-organisasi semi-militer dan pengerahan para pemuda yang kuat secara fisik.
Pengerahan Tenaga Pemuda
Kelompok pemuda memegang peranan penting di Indonesia, apalagi melihat jumlahnya yang cukup besar. Menurut penilaian Jepang, para pemuda apalagi yang tinggal di daerah perdesaan, belum terpengaruh oleh alam pikiran Barat. Mereka secara fisik cukup kuat, semangat, dan pemberani. Oleh karena itu, perlu dikerahkan untuk membantu memperkuat posisi Jepang dalam menghadapi perang. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka para pemuda dijadikan sasaran utama bagi propaganda Jepang. Dengan “Gerakan Tiga A” serta semboyan “Jepang, Indonesia sama saja, Jepang saudara tua”, tampaknya cukup menarik bagi kalangan pemuda. Pernyataan Jepang tentang persamaan, dinilai sebagai suatu perubahan baru dari keadaan di masa Belanda yang begitu diskriminatif.
Sebelum secara resmi Jepang membentuk organisasi-organisasi semi-militer, Jepang telah melatih para pemuda untuk menjadi pemuda yang disiplin, menghilangkan rasa rendah diri, memiliki semangat juang tinggi (seishin) dan berjiwa ksatria (bushido) yang tinggi, sesuai dengan sifat pemuda yang energik. Salah satu cara untuk menanamkan nilat-nilai tersebut kepada kaum muda adalah dengan pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan khusus. Pendidikan umum, seperti sekolah rakyat (sekolah dasar) dan sekolah menengah. Sedangkan pendidikan khusus adalah latihan- latihan yang diadakan oleh Jepang. Latihan-latihan yang diadakan Jepang, antara lain BPAR (Barisan Pemuda Asia Raya). Wadah ini digunakan untuk menanamkan semangat Jepang. BPAR diadakan dari tingkat pusat di Jakarta. Kemudian di daerah-daerah dibentuk Komite Penginsafan Pemuda, yang anggota-anggotanya terdiri atas unsur kepanduan. Bentuk komite seperti ini sifatnya lokal dan disesuaikan dengan situasi daerah masing-masing.
Barisan Pemuda Asia Raya tingkat pusat diresmikan pada tanggal 11 Juni 1942 dengan pimpinan dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh. Sebenarnya, BPAR bagian dari Gerakan Tiga A. Program latihan di BPAR diadakan dalam jangka waktu tiga bulan dan jumlah peserta tidak dibatasi. Semua pemuda boleh masuk mengikuti latihan. Di dalam latihan-latihan tersebut ditekankan pentingnya semangat dan keyakinan, mengingat mereka akan menjadi pimpinan para pemuda.
Selain BPAR, Jepang juga membentuk wadah latihan yang disebut San A Seinen Kutensho di bawah Gerakan Tiga A, yang diprakarsai oleh H. Shimuzu dan Wakabayashi. Di dalam San A Seinen Kutensho latihan diadakan selama satu setengah bulan. Latihan-latihannya bersifat khusus, yakni ditujukan kepada para pemuda yang sudah pernah aktif di dalam organisasi, misalnya kepanduan. Di samping latihan-latihan yang berkaitan dengan kedisiplinan dan semangat, pemuda juga diajari mengenai pengetahuan-pengetahuan praktis seperti memasak, merawat rumah, serta berkebun. Selain itu, pemuda juga diajari bahasa Jepang. Pada tahap pertama pelatihan, telah dilatih sebanyak 250 orang.
Meskipun telah dibentuk San A Seinen Kutensho, perkumpulan kepanduan juga masih diadakan, misalnya “Perkemahan Kepanduan Indonesia” (Perkindo) yang diadakan di Jakarta. Gerakan kepanduan merupakan wadah yang cukup baik untuk membina kader yang penuh semangat dan disiplin. Perkumpulan ini pernah dikunjungi oleh Gunseikan dan tokoh Empat Serangkai dari Putera.
Kelompok pemuda memegang peranan penting di Indonesia, apalagi melihat jumlahnya yang cukup besar. Menurut penilaian Jepang, para pemuda apalagi yang tinggal di daerah perdesaan, belum terpengaruh oleh alam pikiran Barat. Mereka secara fisik cukup kuat, semangat, dan pemberani. Oleh karena itu, perlu dikerahkan untuk membantu memperkuat posisi Jepang dalam menghadapi perang. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka para pemuda dijadikan sasaran utama bagi propaganda Jepang. Dengan “Gerakan Tiga A” serta semboyan “Jepang, Indonesia sama saja, Jepang saudara tua”, tampaknya cukup menarik bagi kalangan pemuda. Pernyataan Jepang tentang persamaan, dinilai sebagai suatu perubahan baru dari keadaan di masa Belanda yang begitu diskriminatif.
Sebelum secara resmi Jepang membentuk organisasi-organisasi semi-militer, Jepang telah melatih para pemuda untuk menjadi pemuda yang disiplin, menghilangkan rasa rendah diri, memiliki semangat juang tinggi (seishin) dan berjiwa ksatria (bushido) yang tinggi, sesuai dengan sifat pemuda yang energik. Salah satu cara untuk menanamkan nilat-nilai tersebut kepada kaum muda adalah dengan pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan khusus. Pendidikan umum, seperti sekolah rakyat (sekolah dasar) dan sekolah menengah. Sedangkan pendidikan khusus adalah latihan- latihan yang diadakan oleh Jepang. Latihan-latihan yang diadakan Jepang, antara lain BPAR (Barisan Pemuda Asia Raya). Wadah ini digunakan untuk menanamkan semangat Jepang. BPAR diadakan dari tingkat pusat di Jakarta. Kemudian di daerah-daerah dibentuk Komite Penginsafan Pemuda, yang anggota-anggotanya terdiri atas unsur kepanduan. Bentuk komite seperti ini sifatnya lokal dan disesuaikan dengan situasi daerah masing-masing.
Barisan Pemuda Asia Raya tingkat pusat diresmikan pada tanggal 11 Juni 1942 dengan pimpinan dr. Slamet Sudibyo dan S.A. Saleh. Sebenarnya, BPAR bagian dari Gerakan Tiga A. Program latihan di BPAR diadakan dalam jangka waktu tiga bulan dan jumlah peserta tidak dibatasi. Semua pemuda boleh masuk mengikuti latihan. Di dalam latihan-latihan tersebut ditekankan pentingnya semangat dan keyakinan, mengingat mereka akan menjadi pimpinan para pemuda.
Selain BPAR, Jepang juga membentuk wadah latihan yang disebut San A Seinen Kutensho di bawah Gerakan Tiga A, yang diprakarsai oleh H. Shimuzu dan Wakabayashi. Di dalam San A Seinen Kutensho latihan diadakan selama satu setengah bulan. Latihan-latihannya bersifat khusus, yakni ditujukan kepada para pemuda yang sudah pernah aktif di dalam organisasi, misalnya kepanduan. Di samping latihan-latihan yang berkaitan dengan kedisiplinan dan semangat, pemuda juga diajari mengenai pengetahuan-pengetahuan praktis seperti memasak, merawat rumah, serta berkebun. Selain itu, pemuda juga diajari bahasa Jepang. Pada tahap pertama pelatihan, telah dilatih sebanyak 250 orang.
Meskipun telah dibentuk San A Seinen Kutensho, perkumpulan kepanduan juga masih diadakan, misalnya “Perkemahan Kepanduan Indonesia” (Perkindo) yang diadakan di Jakarta. Gerakan kepanduan merupakan wadah yang cukup baik untuk membina kader yang penuh semangat dan disiplin. Perkumpulan ini pernah dikunjungi oleh Gunseikan dan tokoh Empat Serangkai dari Putera.
Organisasi Seinendan
Seinendan (Korps Pemuda) adalah organisasi para pemuda yang berusia 14-22 tahun. Organisasi ini dibentuk pada 29 April 1943, bertepatan dengan hari ulang tahun kaisar Jepang. Pada awalnya, anggota Seinendan 3.500 orang pemuda dari seluruh Jawa. Tujuan dibentuknya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Bagi Jepang, untuk mendapatkan tenaga cadangan guna memperkuat usaha mencapai kemenangan dalam perang Asia Timur Raya, perlu diadakannya pengerahan kekuatan pemuda. Oleh karena itu, Jepang melatih para pemuda atau para remaja melalui organisasi Seinendan. Dalam hal ini Seinendan difungsikan sebagai barisan cadangan yang mengamankan garis belakang. Melalui Seinendan, Jepang berusaha mengorbankan semangat rakyat untuk pembangunan “Jawa Baru”, melatih para pemuda dalam hal kedisiplinan, dan meningkatkan produksi hasil bumi. Caranya ialah dengan menanamkan semangat patriotisme, dalam hal ini semangat kepahlawanan Jepang (bushido), di kalangan pemuda dan melibatkan mereka dalam kegiatan kemasyarakatan. Seinendan dipersiapkan pula sebagai wadah calon-calon militer.
Organisasi Seinendan disusun berdasarkan teritorial dan sektoral. Secara teritorial, organisasi ini terdapat mulai dari tingkat shu sampai tingkat shiku, sedangkan secara sektoral terdapat di pabrik-pabrik, perkebunan, dan perusahaan-perusahaan. Anggota Seinendan yang bersifat sektoral adalah para buruh dan pegawai pabrik, perkebunan, atau perusahaan tersebut. Anggota Seinendan tidak digaji dan juga tidak menggunakan pakaian seragam. Hal itulah yang antara lain membedakannya dengan anggota Heiho. Akan tetapi organisasinya cukup ketat. Disiplin dan semangat berperang merupakan bagian dari kehidupan anggota Seinendan.
Di wilayah kekuasaan Tentara ke-16 (Jawa) didirikan pusat pelatihan yang disebut Seinen Kurensho (Pusat Pelatihan Barisan Pemuda) di Jakarta dan ibu kota karesidenan. Di pusat pelatihan ini dilatih para pemuda yang disiapkan utnuk menjadi inti Seinendan karesidenan. Peserta pelatihan adalah pemuda yang sudah mempunyai pekerjaan tetap, berbadan sehat, mempunyai bakat memimpin, dan berumur antara 17-25 tahun. Pelatihan berlangsung selama 3-6 bulan. Pelajaran yang diberikan meliputi hal-hal yang berhubungan dengan pertanian, perusahaan niaga dan kerajinan tangan, serta perikanan dan maritim. Selain itu diberikan pula pelajaran yang bersifat umum dan pelatihan kemiliteran, walaupun secara minim. Resminya, Seinendan berada di bawah kepengurusan Naimubu (Departemen Urusan Dalam Negeri), tetapi urusan pelatihan diserahkan pada Somubu (Departemen Urusan Umum). Setelah selesai mengikuti pelatihan, mereka dikembalikan ke daerah masing-masing untuk melatih anggota Seinendan setempat.
Tiap-tiap kesatuan Seinendan dipimpin oleh seorang danco (komandan), dibantu oleh fuku danco (wakil komandan). Anggota pengurus lainnya yaitu komon (penasihat), sanyo (anggota badan pertimbangan), dan kanji (administrator). Yang diangkat menjadi komandan ialah pejabat fungsional. Di tingkat pusat (Jawa Rengo Seinendan) yang menjadi komandan ialah gunseikan. Di tingkat bawah pengkoordinasian kegiatan Seinendan ini diserahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Misalnya di daerah tingkat syu, ketuanya syucokan sendiri. Begitu juga di daerah ken, ketuanya kenco sendiri dan seterusnya.
Untuk memperbanyak jumlah Seinendan, Jepang juga menggerakkan Seinendan bagian putri yang disebut Josyi Seinendan. Sampai pada masa akhir pendudukan Jepang, jumlah Seinendan itu mencapai sekitar 500.000 pemuda. Tokoh-tokoh Indonesia yang pernah menjadi anggota Seinendan antara lain, Sukarni dan Latief Hendraningrat.
Seinendan (Korps Pemuda) adalah organisasi para pemuda yang berusia 14-22 tahun. Organisasi ini dibentuk pada 29 April 1943, bertepatan dengan hari ulang tahun kaisar Jepang. Pada awalnya, anggota Seinendan 3.500 orang pemuda dari seluruh Jawa. Tujuan dibentuknya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Bagi Jepang, untuk mendapatkan tenaga cadangan guna memperkuat usaha mencapai kemenangan dalam perang Asia Timur Raya, perlu diadakannya pengerahan kekuatan pemuda. Oleh karena itu, Jepang melatih para pemuda atau para remaja melalui organisasi Seinendan. Dalam hal ini Seinendan difungsikan sebagai barisan cadangan yang mengamankan garis belakang. Melalui Seinendan, Jepang berusaha mengorbankan semangat rakyat untuk pembangunan “Jawa Baru”, melatih para pemuda dalam hal kedisiplinan, dan meningkatkan produksi hasil bumi. Caranya ialah dengan menanamkan semangat patriotisme, dalam hal ini semangat kepahlawanan Jepang (bushido), di kalangan pemuda dan melibatkan mereka dalam kegiatan kemasyarakatan. Seinendan dipersiapkan pula sebagai wadah calon-calon militer.
Organisasi Seinendan disusun berdasarkan teritorial dan sektoral. Secara teritorial, organisasi ini terdapat mulai dari tingkat shu sampai tingkat shiku, sedangkan secara sektoral terdapat di pabrik-pabrik, perkebunan, dan perusahaan-perusahaan. Anggota Seinendan yang bersifat sektoral adalah para buruh dan pegawai pabrik, perkebunan, atau perusahaan tersebut. Anggota Seinendan tidak digaji dan juga tidak menggunakan pakaian seragam. Hal itulah yang antara lain membedakannya dengan anggota Heiho. Akan tetapi organisasinya cukup ketat. Disiplin dan semangat berperang merupakan bagian dari kehidupan anggota Seinendan.
Di wilayah kekuasaan Tentara ke-16 (Jawa) didirikan pusat pelatihan yang disebut Seinen Kurensho (Pusat Pelatihan Barisan Pemuda) di Jakarta dan ibu kota karesidenan. Di pusat pelatihan ini dilatih para pemuda yang disiapkan utnuk menjadi inti Seinendan karesidenan. Peserta pelatihan adalah pemuda yang sudah mempunyai pekerjaan tetap, berbadan sehat, mempunyai bakat memimpin, dan berumur antara 17-25 tahun. Pelatihan berlangsung selama 3-6 bulan. Pelajaran yang diberikan meliputi hal-hal yang berhubungan dengan pertanian, perusahaan niaga dan kerajinan tangan, serta perikanan dan maritim. Selain itu diberikan pula pelajaran yang bersifat umum dan pelatihan kemiliteran, walaupun secara minim. Resminya, Seinendan berada di bawah kepengurusan Naimubu (Departemen Urusan Dalam Negeri), tetapi urusan pelatihan diserahkan pada Somubu (Departemen Urusan Umum). Setelah selesai mengikuti pelatihan, mereka dikembalikan ke daerah masing-masing untuk melatih anggota Seinendan setempat.
Tiap-tiap kesatuan Seinendan dipimpin oleh seorang danco (komandan), dibantu oleh fuku danco (wakil komandan). Anggota pengurus lainnya yaitu komon (penasihat), sanyo (anggota badan pertimbangan), dan kanji (administrator). Yang diangkat menjadi komandan ialah pejabat fungsional. Di tingkat pusat (Jawa Rengo Seinendan) yang menjadi komandan ialah gunseikan. Di tingkat bawah pengkoordinasian kegiatan Seinendan ini diserahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Misalnya di daerah tingkat syu, ketuanya syucokan sendiri. Begitu juga di daerah ken, ketuanya kenco sendiri dan seterusnya.
Untuk memperbanyak jumlah Seinendan, Jepang juga menggerakkan Seinendan bagian putri yang disebut Josyi Seinendan. Sampai pada masa akhir pendudukan Jepang, jumlah Seinendan itu mencapai sekitar 500.000 pemuda. Tokoh-tokoh Indonesia yang pernah menjadi anggota Seinendan antara lain, Sukarni dan Latief Hendraningrat.
Keibodan
Keibodan didirikan bersamaan dengan Sienendan, yakni 29 April 1943. Organisasi Keibodan (Korps Kewaspadaan) merupakan organisasi semi-militer yang anggotanya para pemuda yang berusia antara 23-35 tahun. Anggota keibodan tidak digaji dan tidak memakai seragam. Ketentuan utama untuk dapat masuk Keibodan adalah mereka yang berbadan sehat dan berkelakuan baik. Apabila dilihat dari usianya, para anggota Keibodan sudah lebih matang dan siap untuk membantu Jepang dalam keamanan dan ketertiban. Pembentukan Keibodan ini memang dimaksudkan untuk membantu tugas polisi, misalnya menjaga lalu lintas dan pengamanan desa. Untuk itu anggota Keibodan juga dilatih kemiliteran. Pembina keibodan adalah Departemen Kepolisian (Keimubu) dan di daerah syu (shu) dibina oleh Bagian Kepolisian (Keisatsubu). Para pelatih terlebih dahulu mengikuti pendidikan selama satu bulan yang dibuka pada bulan Mei 1943. Peserta pendidikan ini berjumlah 44 orang. Di kalangan orang-orang Cina juga dibentuk Keibodan yang dinamakan Kakyo Keibotai.
Untuk meningkatkan kualitas dan keterampilan keibodan maka Jepang mengadakan program latihan khusus untuk para kader. Latihan khusus tersebut diselenggarakan di sekolah Kepolisian di Sukabumi. Jangka waktu latihan tersebut selama satu bulan. Mereka dibina secara khusus dan diawasi secara langsung oleh para polisi Jepang. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh kaum nasionalis. Pelatihan yang diikuti anggota Keibodan meliputi penyelidikan terhadap kabar angin (desas-desus), penjagaan bahaya udara, penjagaan pantai laut, mencari pencuri, penyamun, dan penjahat lainnya, serta melakukan ronda malam. Mereka juga diajari cara memberikan pertolongan kepada masyarakat bila terjad bencana alam atau malapetaka lainnya. Dapat dikatakan bahwa Keibodan melaksanakan sebagian besar tugas yang seharusnya dilakukan oleh polisi.
Organisasi Seinendan dan Keibodan dibentuk di daerah-daerah seluruh Indonesia, meskipun namanya berbeda-beda. Misalnya di Sumatera disebut Bogodan dan di Kalimantan disebut Borneo Konan Kokokudan. Jumlah anggota Seinendan diperkirakan mencapai dua juta orang dan keibodan mencapai sekitar satu juta anggota.
Selain Seinendan dan Keibodan, pada bulan Agustus 1943 juga dibentuk Fujinkai (Perkumpulan Wanita). Anggotanya minimal harus berusia 15 tahun. Fujinkai bertugas di garis belakang untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, kursus-kursus tentang kesehatan dan makanan, serta palang merah. Ketika situasi perang semakin memanas, Fujinkai ini juga diberi latihan militer sederhana, bahkan pada tahun 1944 dibentuk “Pasukan Srikandi”. Organisasi sejenis juga dibentuk untuk usia murid SD yang disebut Seinentai (barisan murid sekolah dasar), kemudian dibentuk Gakukotai (barisan murid sekolah lanjutan).
Keibodan didirikan bersamaan dengan Sienendan, yakni 29 April 1943. Organisasi Keibodan (Korps Kewaspadaan) merupakan organisasi semi-militer yang anggotanya para pemuda yang berusia antara 23-35 tahun. Anggota keibodan tidak digaji dan tidak memakai seragam. Ketentuan utama untuk dapat masuk Keibodan adalah mereka yang berbadan sehat dan berkelakuan baik. Apabila dilihat dari usianya, para anggota Keibodan sudah lebih matang dan siap untuk membantu Jepang dalam keamanan dan ketertiban. Pembentukan Keibodan ini memang dimaksudkan untuk membantu tugas polisi, misalnya menjaga lalu lintas dan pengamanan desa. Untuk itu anggota Keibodan juga dilatih kemiliteran. Pembina keibodan adalah Departemen Kepolisian (Keimubu) dan di daerah syu (shu) dibina oleh Bagian Kepolisian (Keisatsubu). Para pelatih terlebih dahulu mengikuti pendidikan selama satu bulan yang dibuka pada bulan Mei 1943. Peserta pendidikan ini berjumlah 44 orang. Di kalangan orang-orang Cina juga dibentuk Keibodan yang dinamakan Kakyo Keibotai.
Untuk meningkatkan kualitas dan keterampilan keibodan maka Jepang mengadakan program latihan khusus untuk para kader. Latihan khusus tersebut diselenggarakan di sekolah Kepolisian di Sukabumi. Jangka waktu latihan tersebut selama satu bulan. Mereka dibina secara khusus dan diawasi secara langsung oleh para polisi Jepang. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh kaum nasionalis. Pelatihan yang diikuti anggota Keibodan meliputi penyelidikan terhadap kabar angin (desas-desus), penjagaan bahaya udara, penjagaan pantai laut, mencari pencuri, penyamun, dan penjahat lainnya, serta melakukan ronda malam. Mereka juga diajari cara memberikan pertolongan kepada masyarakat bila terjad bencana alam atau malapetaka lainnya. Dapat dikatakan bahwa Keibodan melaksanakan sebagian besar tugas yang seharusnya dilakukan oleh polisi.
Organisasi Seinendan dan Keibodan dibentuk di daerah-daerah seluruh Indonesia, meskipun namanya berbeda-beda. Misalnya di Sumatera disebut Bogodan dan di Kalimantan disebut Borneo Konan Kokokudan. Jumlah anggota Seinendan diperkirakan mencapai dua juta orang dan keibodan mencapai sekitar satu juta anggota.
Selain Seinendan dan Keibodan, pada bulan Agustus 1943 juga dibentuk Fujinkai (Perkumpulan Wanita). Anggotanya minimal harus berusia 15 tahun. Fujinkai bertugas di garis belakang untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, kursus-kursus tentang kesehatan dan makanan, serta palang merah. Ketika situasi perang semakin memanas, Fujinkai ini juga diberi latihan militer sederhana, bahkan pada tahun 1944 dibentuk “Pasukan Srikandi”. Organisasi sejenis juga dibentuk untuk usia murid SD yang disebut Seinentai (barisan murid sekolah dasar), kemudian dibentuk Gakukotai (barisan murid sekolah lanjutan).
Barisan Pelopor (Suishintai)
Pada pertengahan tahun 1944, diadakan rapat Chuo-Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat). Salah satu keputusan rapat tersebut adalah merumuskan cara untuk menumbuhkan keinsyafan dan kesadaran yang mendalam di kalangan rakyat untuk memenuhi kewajiban dan membangun persaudaraan untuk seluruh rakyat dalam rangka mempertahankan tanah airnya dari serangan musuh. Sebagai wujud konkret dari kesimpulan rapat itu maka pada tanggal 1 November 1944, Jepang membentuk organisasi baru yang dinamakan “Barisan Pelopor”. Melalui organisasi ini diharapkan adanya kesadaran rakyat untuk berkembang, sehingga siap untuk membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia. Organisasi semi-militer “Barisan Pelopor” ini tergolong unik karena pemimpinnya adalah seorang nasionalis, yakni Ir. Sukarno, yang dibantu oleh R.P. Suroso, Otto Iskandardinata, dan Buntaran Martoatmojo.
Organisasi “Barisan Pelopor” berkembang di daerah perkotaan. Organisasi ini mengadakan pelatihan militer bagi para pemuda, meskipun hanya menggunakan peralatan yang sederhana, seperti senapan kayu dan bambu runcing. Di samping itu, mereka juga dilatih bagaimana menggerakkan massa, memperkuat pertahanan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Keanggotaan dari Barisan Pelopor ini mencakup seluruh pemuda, baik yang terpelajar maupun yang berpendidikan rendah, atau bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Keanggotaan yang heterogen ini justru diharapkan menimbulkan semangat solidaritas yang tinggi, sehingga timbul ikatan emosional dan semangat kebangsaan yang tinggi.
Barisan Pelopor ini berada di bawah naungan Jawa Hokokai. Anggotanya mencapai 60.000 orang. Di dalam Barisan Pelopor ini, dibentuk Barisan Pelopor Istimewa yang anggotanya dipilih dari asrama-asrama pemuda yang terkenal. Anggota Barisan Pelopor Istimewa berjumlah 100 orang, di antaranya ada Supeno, D.N. Aidit, Johar Nur, dan Asmara Hadi. Ketua Barisan Pelopor Istimewa adalah Sudiro. Barisan Pelopor Istimewa berada di bawah kepemimpinan para nasionalis. Oleh karena itu, organisasi Barisan Pelopor ini berkembang pesat. Dengan adanya organisasi ini, semangat nasionalisme dan rasa persaudaraan di lingkungan rakyat Indonesia menjadi berkobar.
Pada pertengahan tahun 1944, diadakan rapat Chuo-Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat). Salah satu keputusan rapat tersebut adalah merumuskan cara untuk menumbuhkan keinsyafan dan kesadaran yang mendalam di kalangan rakyat untuk memenuhi kewajiban dan membangun persaudaraan untuk seluruh rakyat dalam rangka mempertahankan tanah airnya dari serangan musuh. Sebagai wujud konkret dari kesimpulan rapat itu maka pada tanggal 1 November 1944, Jepang membentuk organisasi baru yang dinamakan “Barisan Pelopor”. Melalui organisasi ini diharapkan adanya kesadaran rakyat untuk berkembang, sehingga siap untuk membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia. Organisasi semi-militer “Barisan Pelopor” ini tergolong unik karena pemimpinnya adalah seorang nasionalis, yakni Ir. Sukarno, yang dibantu oleh R.P. Suroso, Otto Iskandardinata, dan Buntaran Martoatmojo.
Organisasi “Barisan Pelopor” berkembang di daerah perkotaan. Organisasi ini mengadakan pelatihan militer bagi para pemuda, meskipun hanya menggunakan peralatan yang sederhana, seperti senapan kayu dan bambu runcing. Di samping itu, mereka juga dilatih bagaimana menggerakkan massa, memperkuat pertahanan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Keanggotaan dari Barisan Pelopor ini mencakup seluruh pemuda, baik yang terpelajar maupun yang berpendidikan rendah, atau bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Keanggotaan yang heterogen ini justru diharapkan menimbulkan semangat solidaritas yang tinggi, sehingga timbul ikatan emosional dan semangat kebangsaan yang tinggi.
Barisan Pelopor ini berada di bawah naungan Jawa Hokokai. Anggotanya mencapai 60.000 orang. Di dalam Barisan Pelopor ini, dibentuk Barisan Pelopor Istimewa yang anggotanya dipilih dari asrama-asrama pemuda yang terkenal. Anggota Barisan Pelopor Istimewa berjumlah 100 orang, di antaranya ada Supeno, D.N. Aidit, Johar Nur, dan Asmara Hadi. Ketua Barisan Pelopor Istimewa adalah Sudiro. Barisan Pelopor Istimewa berada di bawah kepemimpinan para nasionalis. Oleh karena itu, organisasi Barisan Pelopor ini berkembang pesat. Dengan adanya organisasi ini, semangat nasionalisme dan rasa persaudaraan di lingkungan rakyat Indonesia menjadi berkobar.
Hizbullah
Pada tanggal 7 September 1944, PM Jepang, Kaiso mengeluarkan janji tentang kemerdekaan untuk Indonesia. Sementara keadaan di medan perang, Jepang mengalami berbagai kekalahan. Jepang mulai merasakan berbagai kesulitan. Keadaan tersebut memicu Jepang untuk menambah kekuatan yang telah ada. Jepang merencanakan untuk membentuk pasukan cadangan khusus dan pemuda-pemuda Islam sebanyak 40.000 orang.
Rencana Jepang untuk membentuk pasukan khusus Islam tersebut, cepat tersebar di tengah masyarakat. Rencana ini segera mendapat sambutan positif dari tokoh-tokoh Masyumi, sekalipun motivasinya berbeda. Begitu pula para pemuda Islam lainnya, mereka menyambut dengan penuh antusias. Bagi Jepang, pasukan khusus Islam itu digunakan untuk membantu memenangkan perang, tetapi bagi Masyumi pasukan itu digunakan untuk persiapan menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pengumuman tentang akan didirikannya barisan Islam ini disampaikan oleh saiko shikikan pada 8 Desember 1944 berdasarkan permintaan para pemuda Islam. Keputusan ini berbeda dengan sikap Jepang setahun sebelumnya ketika pada September 1943 mereka menolak permintaan golongan Islam untuk mendirikan barisan bersenjata. Dengan pembentukan barisan Islam ini, agaknya Jepang masih berharap agar propaganda tentang “perang suci” akan mendapa dukungan dari para pemuda Islam. Berkaitan dengan hal itu maka para pemimpin Masyumi mengusulkan kepada Jepang untuk membentuk pasukan sukarelawan yang khusus terdiri atas pemuda-pemuda Islam. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Desember 1944 berdiri pasukan sukarelawan pemuda Islam yang dinamakan Hizbullah (Tentara Allah) yang dalam istilah Jepangnya disebut Kaikyo Seinen Teishintai.
Tugas pokok Hizbullah adalah sebagai berikut.
1) Sebagai tentara cadangan dengan tugas:
a) melatih diri jasmani maupun rohani dengan segiat-giatnya,
b) membantu tentara Dai Nippon,
c) menjaga bahaya udara dan mengintai mata-mata musuh, dan
d) menggiatkan dan menguatkan usaha-usaha untuk kepentingan perang.
2) Sebagai pemuda Islam, dengan tugas:
a) menyiarkan agama Islam,
b) memimpin umat Islam agar taat menjalankan agama, dan
c) membela agama dan umat Islam Indonesia.
Untuk mengoordinasikan program dan kegiatan Hizbullah, maka dibentuk pengurus pusat Hizbullah. Ketua pengurus pusat Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin, dan wakilnya adalah Moh. Roem. Anggota pengurusnya antara lain, Prawoto Mangunsasmito, Kyai Zarkasi, dan Anwar Cokroaminoto.
Setelah itu, dibuka pendaftaran untuk anggota Hizbullah. Pada tahap pertama pendaftaran melalui Syumubu (kantor Agama). Setiap keresidenan diminta mengirim 25 orang pemuda Islam, rata-rata mereka para pemuda berusia 17-25 tahun. Berdasarkan usaha tersebut, terkumpul 500 orang pemuda. Para anggota Hizbullah ini kemudian dilatih secara kemiliteran dan dipusatkan di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat. Pada tanggal 28 Februari 1945, latihan secara resmi dibuka oleh pimpinan tentara Jepang. Pembukaan latihan ini dihadiri oleh gunseikan dan pengurus Masyumi, seperti K.H. Hasyim Asyari, K.H. Wahid Hasyim, dan Moh. Natsir. Dalam pidato pembukaannya, pimpinan tentara Jepang menegaskan bahwa para pemuda Islam dilatih agar menjadi kader dan pemimpin barisan Hizbullah. Tujuannya adalah agar para pemuda dapat mengatasi kesukaran perang dengan hati tabah dan iman yang teguh. Para pelatihnya berasal dari komandan-komandan Peta dan di bawah pengawasan perwira Jepang, Kapten Yanagawa Moichiro (pemeluk Islam, yang kemudian menikah dengan seorang putri dari Tasik).
Latihan dilakukan di Cibarusa selama tiga setengah bulan. Program latihannya di samping keterampilan fisik kemiliteran, juga dalam bidang mental rohaniah. Keterampilan fisik kemiliteran dilatih oleh para komandan Peta, sedangkan bidang mental kerohanian dilatih oleh K.H. Mustafa Kamil (bidang kekebalan), KH. Mawardi (bidang tauhid), K.H. Abdul Halim (bidang politik), dan Kyai Tohir Basuki (bidang sejarah). Sementara itu, sebagai ketua asrama adalah K.H. Zainul Arifin.
Latihan di Cibarusa berhasil membina kader-kader pejuang yang militan. Pelatihan itu juga menumbuhkan semangat nasionalisme para kader Hizbullah. Setelah selesai pelatihan, mereka kembali ke daerah masing-masing untuk membentuk cabang-cabang Hizbullah beserta program pelatihannya. Dengan demikian, berkembanglah kekuatan Hizbullah di berbagai daerah.
Para anggota Hizbullah menyadari bahwa tanah Jawa adalah pusat pemerintahan tanah air Indonesia maka harus dipertahankan. Apabila Jawa yang merupakan garis terdepan diserang musuh, Hizbullah akan mempertahankan dengan penuh semangat. Semangat ini tentu pada hakikatnya bukan karena untuk membantu Jepang, tetapi demi tanah air Indonesia. Jika Barisan Pelopor disebut sebagai organisasi semi-militer di bawah naungan Jawa Hokokai, maka Hizbullah merupakan organisasi semi-militer berada di bawah naungan Masyumi.
Pada tanggal 7 September 1944, PM Jepang, Kaiso mengeluarkan janji tentang kemerdekaan untuk Indonesia. Sementara keadaan di medan perang, Jepang mengalami berbagai kekalahan. Jepang mulai merasakan berbagai kesulitan. Keadaan tersebut memicu Jepang untuk menambah kekuatan yang telah ada. Jepang merencanakan untuk membentuk pasukan cadangan khusus dan pemuda-pemuda Islam sebanyak 40.000 orang.
Rencana Jepang untuk membentuk pasukan khusus Islam tersebut, cepat tersebar di tengah masyarakat. Rencana ini segera mendapat sambutan positif dari tokoh-tokoh Masyumi, sekalipun motivasinya berbeda. Begitu pula para pemuda Islam lainnya, mereka menyambut dengan penuh antusias. Bagi Jepang, pasukan khusus Islam itu digunakan untuk membantu memenangkan perang, tetapi bagi Masyumi pasukan itu digunakan untuk persiapan menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pengumuman tentang akan didirikannya barisan Islam ini disampaikan oleh saiko shikikan pada 8 Desember 1944 berdasarkan permintaan para pemuda Islam. Keputusan ini berbeda dengan sikap Jepang setahun sebelumnya ketika pada September 1943 mereka menolak permintaan golongan Islam untuk mendirikan barisan bersenjata. Dengan pembentukan barisan Islam ini, agaknya Jepang masih berharap agar propaganda tentang “perang suci” akan mendapa dukungan dari para pemuda Islam. Berkaitan dengan hal itu maka para pemimpin Masyumi mengusulkan kepada Jepang untuk membentuk pasukan sukarelawan yang khusus terdiri atas pemuda-pemuda Islam. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Desember 1944 berdiri pasukan sukarelawan pemuda Islam yang dinamakan Hizbullah (Tentara Allah) yang dalam istilah Jepangnya disebut Kaikyo Seinen Teishintai.
Tugas pokok Hizbullah adalah sebagai berikut.
1) Sebagai tentara cadangan dengan tugas:
a) melatih diri jasmani maupun rohani dengan segiat-giatnya,
b) membantu tentara Dai Nippon,
c) menjaga bahaya udara dan mengintai mata-mata musuh, dan
d) menggiatkan dan menguatkan usaha-usaha untuk kepentingan perang.
2) Sebagai pemuda Islam, dengan tugas:
a) menyiarkan agama Islam,
b) memimpin umat Islam agar taat menjalankan agama, dan
c) membela agama dan umat Islam Indonesia.
Untuk mengoordinasikan program dan kegiatan Hizbullah, maka dibentuk pengurus pusat Hizbullah. Ketua pengurus pusat Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin, dan wakilnya adalah Moh. Roem. Anggota pengurusnya antara lain, Prawoto Mangunsasmito, Kyai Zarkasi, dan Anwar Cokroaminoto.
Setelah itu, dibuka pendaftaran untuk anggota Hizbullah. Pada tahap pertama pendaftaran melalui Syumubu (kantor Agama). Setiap keresidenan diminta mengirim 25 orang pemuda Islam, rata-rata mereka para pemuda berusia 17-25 tahun. Berdasarkan usaha tersebut, terkumpul 500 orang pemuda. Para anggota Hizbullah ini kemudian dilatih secara kemiliteran dan dipusatkan di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat. Pada tanggal 28 Februari 1945, latihan secara resmi dibuka oleh pimpinan tentara Jepang. Pembukaan latihan ini dihadiri oleh gunseikan dan pengurus Masyumi, seperti K.H. Hasyim Asyari, K.H. Wahid Hasyim, dan Moh. Natsir. Dalam pidato pembukaannya, pimpinan tentara Jepang menegaskan bahwa para pemuda Islam dilatih agar menjadi kader dan pemimpin barisan Hizbullah. Tujuannya adalah agar para pemuda dapat mengatasi kesukaran perang dengan hati tabah dan iman yang teguh. Para pelatihnya berasal dari komandan-komandan Peta dan di bawah pengawasan perwira Jepang, Kapten Yanagawa Moichiro (pemeluk Islam, yang kemudian menikah dengan seorang putri dari Tasik).
Latihan dilakukan di Cibarusa selama tiga setengah bulan. Program latihannya di samping keterampilan fisik kemiliteran, juga dalam bidang mental rohaniah. Keterampilan fisik kemiliteran dilatih oleh para komandan Peta, sedangkan bidang mental kerohanian dilatih oleh K.H. Mustafa Kamil (bidang kekebalan), KH. Mawardi (bidang tauhid), K.H. Abdul Halim (bidang politik), dan Kyai Tohir Basuki (bidang sejarah). Sementara itu, sebagai ketua asrama adalah K.H. Zainul Arifin.
Latihan di Cibarusa berhasil membina kader-kader pejuang yang militan. Pelatihan itu juga menumbuhkan semangat nasionalisme para kader Hizbullah. Setelah selesai pelatihan, mereka kembali ke daerah masing-masing untuk membentuk cabang-cabang Hizbullah beserta program pelatihannya. Dengan demikian, berkembanglah kekuatan Hizbullah di berbagai daerah.
Para anggota Hizbullah menyadari bahwa tanah Jawa adalah pusat pemerintahan tanah air Indonesia maka harus dipertahankan. Apabila Jawa yang merupakan garis terdepan diserang musuh, Hizbullah akan mempertahankan dengan penuh semangat. Semangat ini tentu pada hakikatnya bukan karena untuk membantu Jepang, tetapi demi tanah air Indonesia. Jika Barisan Pelopor disebut sebagai organisasi semi-militer di bawah naungan Jawa Hokokai, maka Hizbullah merupakan organisasi semi-militer berada di bawah naungan Masyumi.
Organisasi Militer
Heiho
Heiho merupakan program militer pertama pemerintah Jepang di Indonesia. Heiho (Pasukan Pembantu) adalah prajurit Indonesia yang langsung ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang utnuk membantu tentara Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. Syarat-syarat untuk menjadi tentara Heiho antara lain:
1) umur 18-25 tahun (Jawa) dan 18-30 tahun (Sumatera)
2) berbadan sehat
3) berkelakuan baik, dan
4) berpendidikan minimal sekolah dasar.
Organisasi Heiho lebih terlatih di dalam bidang militer dibanding dengan organisasi-organisasi lain. Mereka dibagi menurut kompi (tsusai) dan dimasukkan ke dalam kesatua militer Jepang setempat. Kesatuan Heiho merupakan bagian integral dari pasukan Jepang. Mereka sudah dibagi-bagi menurut kompi dan dimasukkan ke kesatuan Heiho menurut daerahnya, di Jawa menjadi bagian Tentara ke-16 (Pembentukan Heiho diumumkan pada 24 April 1943) dan di Sumatera menjadi bagian Tentara ke-25 (diumumkan pada Mei 1943). Selain itu, juga sudah terbagai menjadi Heiho bagian angkatan darat (Rikugun Heiho), angkatan laut (Kaigun Heiho), dan juga bagian Kempeitei (kepolisian). Sejak berdiri sampai akhir pendudukan Jepang, diperkirakan jumlah anggota Heiho mencapai sekitar 42.000 orang dan sebagian besar sekitar 25.000 berasal dari Jawa. Namun, dari sekian banyak anggota Heiho tidak seorang pun yang berpangkat perwira, karena pangkat perwira hanya untuk orang Jepang.
Fungsi Heiho semula direncanakan hanyalah sebagai pembantu pasukan Jepang utnuk melakukan pekerjaan kasar, seperti juru masak, pengangkat barang-barang militer, dan pengemudi. Dalam kenyataan kemudian, mereka juga dilibatkan dalam pertempuran. Mereka juga dilibatkan dalam pertempuran. Mereka ditempatkan terutama dalam kesatuan artileri pertahanan udara, artileri medan, kesatuan tank, dan mortir parit. Selain itu mereka juga membangun kubu-kubu pertahanan dan menjaga kamp tahanan. Anggota Heiho banyak dikirim ke medan tempur di luar Indonesia, antara lain Burma, Thailand, Vietnam, dan kepulauan Solomon di Pasifik. Keterlibatannya dalam berbagai pertempuran, dari segi militer kemampuan Heiho melebihi tentara Pembela Tanah Air (Peta). Mereka memiliki kemampuan tempur untuk menggantikan serdadu Jepang.
Peta
Sekalipun tidak dapat dilepaskan dari rasa ketakutan akan adanya serangan Sekutu, Jepang berusaha agar Indonesia dapat dipertahankan dari serangan Sekutu. Heiho sebagai pasukan yang terintegrasi dengan pasukan Jepang masih dipandang belum memadai. Jepang masih berusaha agar ada pasukan yang secara konkret mempertahankan Indonesia. Oleh karena itu, Jepang berencana membentuk pasukan untuk mempertahankan tanah air Indonesia yang disebut Pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Jepang berupaya mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu secara sungguh-sungguh. Hal ini bisa saja didasari oleh rasa was-was yang makin meningkat karena situasi di medan perang yang bertambah sulit sehingga di samping Heiho, Jepang juga membentuk organisasi Peta. Peta adalah organisasi militer yang pemimpinnya bangsa Indonesia yang mendapatkan latihan kemiliteran.
Sebelum ada perintah pembentukan Peta, bagian Tokuhetsu Han sudah melatih para pemuda Indonesia untuk tugas intelijen. Latihan tugas intelijen dipimpin oleh Yanagawa. Latihan itu kemudian berkembang secara sistematis dan terprogram. Penyelenggaraannya berada di dalam Seinen Dojo (Panti Latihan Pemuda) yang terletak di Tangerang. Mula-mula anggota yang dilatih hanya 40 orang dari seluruh Jawa. Pada akhir latihan angkatan ke-2 di Seinen Dojo, keluar perintah dari Panglima tentara Jepang Letnan Jenderal Kumaikici Harada untuk membentuk Tentara “Pembela Tanah Air” (Peta). Berkaitan dengan itu, Gatot Mangkuprojo diminta untuk mengajukan rencana pembentukan organisasi Tentara Pembela Tanah Air. Akhirnya, pada tanggal 3 Oktober 1943 secara resmi berdirilah Peta. Berdirinya Peta ini berdasarkan peraturan dari pemerintah Jepang yang disebut Osamu Seinendan, nomor 44. Berdirinya Peta ternyata mendapat sambutan hangat di kalangan pemuda. Banyak di antara para pemuda yang tergabung dalam Seinendan mendaftarkan diri menjadi anggota Peta. Anggota Peta yang bergabung berasal dari berbagai golongan di dalam masyarakat.
Peta sudah mengenal adanya jenjang kepangkatan dalam organisasi, misalnya daidanco (komandan batalion), cudanco (komandan kompi), shodanco (komandan peleton), bundanco (komandan regu), dan giyuhei (prajurit sukarela). Pada umumnya, para perwira yang menjadi komandan batalion atau daidanco dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat atau orang-orang yang terkemuka, misalnya pegawai pemerintah, pemimpin agama, politikus, dan penegak hukum. Untuk cudanco dipilih dari mereka yang sudah bekerja, tetapi pangkatnya masih rendah, misalnya guru-guru sekolah. Shodanco dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan. Adapun budanco dan giyuhei dipilih dari para pemuda tingkat sekolah dasar.
Untuk mencapai tingkat perwira Peta, para anggota harus mengikuti pendidikan khusus. Pertama kali pendidikan itu dilaksanakan di Bogor dalam lembaga pelatihan yang diberi nama Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa (Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai). Setelah menyelesaikan pelatihan, mereka ditempatkan di berbagai daidan (batalion) yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali.
Menurut struktur organisasi kemiliteran, Peta tidak secara resmi ditempatkan pada struktur organisasi tentara Jepang. Hal ini memang berbeda dengan Heiho. Peta dimaksudkan sebagai pasukan gerilya yang membantu melawan apabila sewaktu-waktu terjadi serangan dari pihak musuh. Jelasnya, Peta bertugas membela dan mempertahankan tanah air Indonesia dari serangan Sekutu. Dalam kedudukannya di struktur organisasi militer Jepang, Peta memiliki kedudukan yang lebih bebas atau fleksibel dan dalam hal kepangkatan ada orang Indonesia yang sampai mencapai perwira. Oleh karena itu, banyak di antara berbagai lapisan masyarakat yang tertarik untuk menjadi anggota Peta. Sampai akhir pendudukan Jepang, anggota Peta ada sekitar 37.000 orang di Jawa dan sekitar 20.000 orang di Sumatra. Di Sumatra namanya lebih terkenal dengan Giyugun (prajurit-prajurit sukarela). Orang-orang Peta inilah yang akan banyak berperan di bidang ketentaraan di masa-masa berikutnya. Beberapa tokoh terkenal di dalam Peta, antara lain Supriyadi dan Sudirman.
Memahami uraian tentang pendudukan Jepang seperti diterangkan di depan, menunjukkan bahwa Jepang sebenarnya memerintah dengan otoriter, bersifat tirani. Semua organisasi yang dibentuk diarahkan untuk kepentingan perang. Oleh karena itu, program pendidikan bersifat militer.
Penyusun: Fitria Melinda, S. Pd