-->

Organisasi Semi-militer dan Organisasi Militer Bentukan Jepang

Organisasi semi-militer Jepang adalah organisasi yang tidak dikhususkan untuk melakukan pertahanan secara militer, namun lebih bersifat ke keamanan dan ketertiban serta kecenderungan untuk kesejahteraan rakyat. Pelatihan dibidang kemiliteran tetap ada, namun tidak begitu ditekankan.
Organisasi militer Jepang adalah organisasi yang dikhususkan untuk melakukan pertahanan secara militer guna mempertahankan wilayah Indonesia, misalnya prajurit tentara. Dalam organisasi ini, pelatihan kemiliteran sangat ditekankan.

Organisasi Semi-militer
Sesuai dengan sifat pemerintahan militer, Jepang berusaha mengembangkan organisasi militer. Namun, untuk memperkuat pemerintahannya Jepang juga mengembangkan organisasi-organisasi semi-militer dan pengerahan para pemuda yang kuat secara fisik.
Pengerahan Tenaga Pemuda
Kelompok pemuda memegang peranan penting di Indonesia, apalagi melihat jumlahnya yang cukup besar. Menurut penilaian Jepang, para pemuda apalagi yang tinggal di daerah perdesaan, belum terpengaruh oleh alam pikiran Barat. Mereka  secara  fisik cukup  kuat,  semangat, dan  pemberani. Oleh  karena itu,  perlu  dikerahkan  untuk membantu memperkuat posisi Jepang dalam menghadapi perang. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka para pemuda dijadikan sasaran utama bagi propaganda Jepang. Dengan “Gerakan Tiga A” serta semboyan  “Jepang, Indonesia  sama  saja, Jepang  saudara  tua”,  tampaknya cukup  menarik  bagi  kalangan pemuda. Pernyataan Jepang tentang persamaan, dinilai sebagai suatu perubahan baru dari keadaan di masa Belanda yang begitu  diskriminatif.
Sebelum secara resmi Jepang  membentuk  organisasi-organisasi semi-militer, Jepang telah melatih para pemuda untuk menjadi pemuda yang disiplin, menghilangkan rasa rendah diri, memiliki semangat juang tinggi (seishin) dan berjiwa ksatria (bushido) yang tinggi, sesuai dengan sifat pemuda yang  energik. Salah satu  cara untuk  menanamkan nilat-nilai tersebut kepada kaum  muda  adalah  dengan pendidikan,  baik  pendidikan  umum  maupun pendidikan  khusus. Pendidikan umum, seperti sekolah rakyat (sekolah dasar) dan   sekolah   menengah.  Sedangkan pendidikan   khusus   adalah   latihan- latihan  yang diadakan  oleh Jepang.  Latihan-latihan  yang diadakan  Jepang, antara  lain BPAR (Barisan Pemuda  Asia Raya). Wadah  ini digunakan untuk menanamkan semangat Jepang. BPAR diadakan dari tingkat pusat di Jakarta. Kemudian  di daerah-daerah dibentuk   Komite  Penginsafan   Pemuda,  yang anggota-anggotanya terdiri atas unsur kepanduan. Bentuk komite seperti ini sifatnya lokal dan disesuaikan dengan situasi daerah  masing-masing.
Barisan Pemuda  Asia Raya tingkat  pusat  diresmikan  pada  tanggal  11  Juni 1942  dengan pimpinan  dr.  Slamet  Sudibyo  dan  S.A. Saleh.  Sebenarnya, BPAR bagian  dari Gerakan  Tiga A. Program latihan di BPAR diadakan  dalam jangka waktu  tiga bulan dan jumlah peserta  tidak dibatasi. Semua pemuda boleh masuk mengikuti latihan. Di dalam latihan-latihan tersebut ditekankan pentingnya semangat dan keyakinan, mengingat mereka  akan menjadi pimpinan  para pemuda.
Selain BPAR, Jepang  juga  membentuk wadah  latihan  yang  disebut  San A Seinen Kutensho di bawah Gerakan Tiga A, yang diprakarsai oleh H. Shimuzu dan Wakabayashi. Di dalam San A Seinen Kutensho latihan diadakan  selama satu  setengah bulan. Latihan-latihannya bersifat khusus, yakni  ditujukan kepada  para pemuda yang sudah pernah aktif di dalam organisasi, misalnya kepanduan. Di samping  latihan-latihan yang berkaitan dengan kedisiplinan dan semangat, pemuda juga  diajari mengenai pengetahuan-pengetahuan praktis seperti memasak, merawat  rumah, serta berkebun. Selain itu, pemuda juga  diajari bahasa Jepang. Pada tahap  pertama pelatihan, telah dilatih sebanyak  250 orang.
Meskipun telah dibentuk  San A Seinen Kutensho, perkumpulan kepanduan juga masih diadakan, misalnya “Perkemahan Kepanduan Indonesia” (Perkindo) yang diadakan  di Jakarta. Gerakan kepanduan merupakan wadah yang cukup baik untuk  membina  kader yang penuh  semangat dan disiplin. Perkumpulan ini  pernah   dikunjungi   oleh  Gunseikan   dan   tokoh   Empat Serangkai dari Putera.
Organisasi Seinendan
Seinendan (Korps Pemuda) adalah organisasi  para  pemuda yang  berusia 14-22  tahun. Organisasi ini dibentuk pada 29 April 1943, bertepatan dengan hari ulang tahun kaisar Jepang. Pada awalnya, anggota Seinendan 3.500 orang  pemuda dari seluruh  Jawa. Tujuan dibentuknya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih  para  pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan kekuatan sendiri. Bagi Jepang, untuk mendapatkan tenaga cadangan guna memperkuat usaha  mencapai kemenangan dalam perang Asia Timur Raya, perlu diadakannya pengerahan kekuatan pemuda. Oleh karena itu, Jepang melatih para pemuda atau para remaja melalui organisasi Seinendan. Dalam hal ini Seinendan difungsikan  sebagai  barisan  cadangan yang mengamankan garis belakang. Melalui Seinendan, Jepang berusaha mengorbankan semangat rakyat untuk pembangunan “Jawa Baru”, melatih para pemuda dalam hal kedisiplinan, dan meningkatkan produksi hasil bumi. Caranya ialah dengan menanamkan semangat patriotisme, dalam hal ini semangat kepahlawanan Jepang (bushido), di kalangan pemuda dan melibatkan mereka dalam kegiatan kemasyarakatan. Seinendan dipersiapkan pula sebagai wadah calon-calon militer.
Organisasi Seinendan disusun berdasarkan teritorial dan sektoral. Secara teritorial, organisasi ini terdapat mulai dari tingkat shu sampai tingkat shiku, sedangkan secara sektoral terdapat di pabrik-pabrik, perkebunan, dan perusahaan-perusahaan. Anggota Seinendan yang bersifat sektoral adalah para buruh dan pegawai pabrik, perkebunan, atau perusahaan tersebut. Anggota Seinendan tidak digaji dan juga tidak menggunakan pakaian seragam. Hal itulah yang antara lain membedakannya dengan anggota Heiho. Akan tetapi organisasinya cukup ketat. Disiplin dan semangat berperang merupakan bagian dari kehidupan anggota Seinendan.
Di wilayah kekuasaan Tentara ke-16 (Jawa) didirikan pusat pelatihan yang disebut Seinen Kurensho (Pusat Pelatihan Barisan Pemuda) di Jakarta dan ibu kota karesidenan. Di pusat pelatihan ini dilatih para pemuda yang disiapkan utnuk menjadi inti Seinendan karesidenan. Peserta pelatihan adalah pemuda yang sudah mempunyai pekerjaan tetap, berbadan sehat, mempunyai bakat memimpin, dan berumur antara 17-25 tahun. Pelatihan berlangsung selama 3-6 bulan. Pelajaran yang diberikan meliputi hal-hal yang berhubungan dengan pertanian, perusahaan niaga dan kerajinan tangan, serta perikanan dan maritim. Selain itu diberikan pula pelajaran yang bersifat umum dan pelatihan kemiliteran, walaupun secara minim. Resminya, Seinendan berada di bawah kepengurusan Naimubu (Departemen Urusan Dalam Negeri), tetapi urusan pelatihan diserahkan pada Somubu (Departemen Urusan Umum). Setelah selesai mengikuti pelatihan, mereka dikembalikan ke daerah masing-masing untuk melatih anggota Seinendan setempat.
Tiap-tiap kesatuan Seinendan dipimpin oleh seorang danco (komandan), dibantu oleh fuku danco (wakil komandan). Anggota pengurus lainnya yaitu komon (penasihat), sanyo (anggota badan pertimbangan), dan kanji (administrator). Yang diangkat menjadi komandan ialah pejabat fungsional. Di tingkat pusat (Jawa Rengo Seinendan) yang menjadi komandan ialah gunseikan. Di tingkat bawah pengkoordinasian kegiatan Seinendan ini diserahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Misalnya di daerah tingkat syu, ketuanya syucokan sendiri. Begitu juga  di daerah  ken,  ketuanya  kenco sendiri dan  seterusnya.
Untuk memperbanyak jumlah Seinendan, Jepang juga menggerakkan Seinendan bagian putri yang disebut Josyi  Seinendan. Sampai pada masa akhir pendudukan Jepang, jumlah Seinendan itu mencapai sekitar 500.000 pemuda. Tokoh-tokoh Indonesia yang pernah menjadi  anggota Seinendan antara  lain, Sukarni dan Latief Hendraningrat.
Keibodan
Keibodan didirikan bersamaan dengan Sienendan, yakni 29 April 1943. Organisasi Keibodan (Korps Kewaspadaan) merupakan organisasi semi-militer yang anggotanya para pemuda yang berusia antara 23-35 tahun. Anggota keibodan tidak digaji dan tidak memakai seragam. Ketentuan utama untuk dapat masuk Keibodan adalah mereka yang berbadan sehat dan berkelakuan baik. Apabila dilihat dari usianya, para anggota Keibodan sudah lebih matang dan siap untuk membantu Jepang dalam keamanan dan ketertiban. Pembentukan Keibodan  ini memang dimaksudkan untuk membantu tugas polisi, misalnya menjaga  lalu lintas dan pengamanan desa. Untuk  itu  anggota Keibodan  juga  dilatih  kemiliteran.  Pembina  keibodan adalah Departemen Kepolisian (Keimubu) dan di daerah  syu (shu) dibina oleh Bagian Kepolisian (Keisatsubu). Para pelatih terlebih dahulu mengikuti pendidikan selama satu bulan yang dibuka pada bulan Mei 1943. Peserta pendidikan ini berjumlah 44 orang. Di kalangan  orang-orang Cina juga dibentuk Keibodan yang dinamakan Kakyo Keibotai.
Untuk meningkatkan kualitas dan keterampilan keibodan  maka Jepang mengadakan program   latihan  khusus  untuk  para  kader.  Latihan  khusus tersebut diselenggarakan di sekolah  Kepolisian di Sukabumi.  Jangka  waktu latihan tersebut selama satu bulan. Mereka dibina secara khusus dan diawasi secara  langsung  oleh  para  polisi Jepang.  Mereka  tidak  boleh  terpengaruh oleh kaum nasionalis. Pelatihan yang diikuti anggota Keibodan meliputi penyelidikan terhadap kabar angin (desas-desus), penjagaan bahaya udara, penjagaan pantai laut, mencari pencuri, penyamun, dan penjahat lainnya, serta melakukan ronda malam. Mereka juga diajari cara memberikan pertolongan kepada masyarakat bila terjad bencana alam atau malapetaka lainnya. Dapat dikatakan bahwa Keibodan melaksanakan sebagian besar tugas yang seharusnya dilakukan oleh polisi.
Organisasi Seinendan dan Keibodan dibentuk  di daerah-daerah seluruh Indonesia,  meskipun  namanya  berbeda-beda. Misalnya di Sumatera  disebut Bogodan   dan  di  Kalimantan  disebut  Borneo  Konan  Kokokudan.  Jumlah anggota Seinendan  diperkirakan  mencapai  dua  juta  orang  dan  keibodan mencapai  sekitar satu juta anggota.
Selain Seinendan  dan  Keibodan,  pada  bulan  Agustus  1943  juga  dibentuk Fujinkai (Perkumpulan Wanita). Anggotanya  minimal harus berusia 15 tahun. Fujinkai bertugas di garis belakang  untuk  meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan  masyarakat   melalui   kegiatan   pendidikan, kursus-kursus tentang kesehatan dan makanan, serta palang merah. Ketika  situasi  perang   semakin  memanas,  Fujinkai ini juga  diberi  latihan militer sederhana, bahkan  pada  tahun  1944  dibentuk  “Pasukan  Srikandi”. Organisasi sejenis juga dibentuk  untuk usia murid SD yang disebut Seinentai (barisan murid sekolah dasar), kemudian  dibentuk  Gakukotai  (barisan murid sekolah lanjutan).
Barisan Pelopor (Suishintai)
Pada pertengahan tahun  1944,  diadakan  rapat Chuo-Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat). Salah satu  keputusan rapat tersebut adalah merumuskan cara  untuk  menumbuhkan keinsyafan  dan  kesadaran  yang mendalam di kalangan  rakyat untuk memenuhi kewajiban dan membangun persaudaraan untuk  seluruh  rakyat  dalam  rangka  mempertahankan tanah airnya dari serangan musuh. Sebagai wujud konkret dari kesimpulan rapat itu maka pada  tanggal  1 November  1944,  Jepang  membentuk organisasi baru yang dinamakan “Barisan Pelopor”. Melalui organisasi ini diharapkan adanya kesadaran rakyat untuk berkembang, sehingga siap untuk membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia. Organisasi  semi-militer “Barisan Pelopor” ini tergolong unik karena  pemimpinnya  adalah  seorang  nasionalis, yakni Ir. Sukarno, yang dibantu  oleh R.P. Suroso, Otto Iskandardinata, dan Buntaran Martoatmojo.
Organisasi “Barisan Pelopor”  berkembang di daerah  perkotaan.  Organisasi ini mengadakan pelatihan  militer bagi para pemuda, meskipun  hanya menggunakan peralatan yang sederhana, seperti senapan kayu dan bambu runcing.  Di samping  itu,  mereka   juga  dilatih  bagaimana  menggerakkan massa,  memperkuat pertahanan, dan  hal-hal  lain yang  berkaitan  dengan kesejahteraan  rakyat.   Keanggotaan  dari  Barisan  Pelopor   ini  mencakup seluruh pemuda, baik yang terpelajar  maupun yang berpendidikan rendah, atau  bahkan  tidak mengenyam pendidikan  sama  sekali. Keanggotaan yang heterogen ini justru  diharapkan menimbulkan semangat  solidaritas  yang tinggi,  sehingga  timbul  ikatan  emosional  dan  semangat kebangsaan yang tinggi.
Barisan Pelopor  ini berada  di bawah  naungan Jawa  Hokokai. Anggotanya mencapai   60.000 orang.   Di dalam  Barisan  Pelopor  ini, dibentuk   Barisan Pelopor  Istimewa  yang  anggotanya  dipilih  dari  asrama-asrama pemuda yang terkenal.  Anggota  Barisan Pelopor Istimewa berjumlah  100  orang,  di antaranya ada Supeno, D.N. Aidit, Johar Nur, dan Asmara Hadi. Ketua Barisan Pelopor Istimewa adalah  Sudiro. Barisan Pelopor Istimewa berada  di bawah kepemimpinan para  nasionalis.  Oleh karena  itu, organisasi  Barisan Pelopor ini berkembang pesat.  Dengan adanya organisasi ini, semangat nasionalisme dan rasa persaudaraan di lingkungan  rakyat Indonesia menjadi berkobar.
Hizbullah
Pada  tanggal   7  September   1944,   PM Jepang,   Kaiso mengeluarkan janji tentang  kemerdekaan  untuk   Indonesia.   Sementara  keadaan  di  medan perang,   Jepang  mengalami  berbagai  kekalahan. Jepang  mulai  merasakan berbagai   kesulitan.  Keadaan  tersebut memicu  Jepang   untuk  menambah kekuatan yang telah ada. Jepang merencanakan untuk membentuk pasukan cadangan khusus dan pemuda-pemuda Islam sebanyak  40.000 orang.
Rencana  Jepang  untuk  membentuk pasukan  khusus  Islam tersebut, cepat tersebar   di  tengah masyarakat.   Rencana  ini segera  mendapat  sambutan positif  dari  tokoh-tokoh Masyumi,  sekalipun  motivasinya  berbeda.  Begitu pula   para   pemuda  Islam  lainnya,   mereka   menyambut dengan  penuh antusias. Bagi Jepang, pasukan  khusus Islam itu digunakan untuk membantu memenangkan perang,  tetapi  bagi Masyumi pasukan  itu digunakan untuk persiapan  menuju  cita-cita  kemerdekaan Indonesia.  Pengumuman tentang akan didirikannya barisan Islam ini disampaikan oleh saiko shikikan pada 8 Desember 1944 berdasarkan permintaan para pemuda Islam. Keputusan ini berbeda dengan sikap Jepang setahun sebelumnya ketika pada September 1943 mereka menolak permintaan golongan Islam untuk mendirikan barisan bersenjata. Dengan pembentukan barisan Islam ini, agaknya Jepang masih berharap agar propaganda tentang “perang suci” akan mendapa dukungan dari para pemuda Islam. Berkaitan  dengan  hal itu maka para pemimpin Masyumi mengusulkan kepada  Jepang untuk membentuk pasukan sukarelawan  yang khusus terdiri atas pemuda-pemuda Islam. Oleh  karena  itu,  pada  tanggal  15  Desember  1944  berdiri  pasukan sukarelawan  pemuda Islam yang dinamakan Hizbullah (Tentara Allah) yang dalam istilah Jepangnya  disebut Kaikyo Seinen Teishintai.
Tugas pokok Hizbullah adalah sebagai berikut.
1)    Sebagai tentara cadangan dengan tugas:
a)    melatih diri jasmani maupun rohani dengan segiat-giatnya,
b)    membantu tentara Dai Nippon,
c)    menjaga  bahaya udara dan mengintai  mata-mata musuh, dan
d)    menggiatkan dan  menguatkan usaha-usaha untuk  kepentingan perang.
2)    Sebagai pemuda Islam, dengan tugas:
a)    menyiarkan agama  Islam,
b)    memimpin umat Islam agar taat menjalankan agama,  dan
c)    membela  agama  dan umat Islam Indonesia.
Untuk mengoordinasikan program  dan  kegiatan  Hizbullah, maka  dibentuk pengurus pusat Hizbullah. Ketua pengurus pusat Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin, dan wakilnya adalah  Moh. Roem. Anggota  pengurusnya antara  lain, Prawoto Mangunsasmito, Kyai Zarkasi, dan Anwar Cokroaminoto.
Setelah   itu,  dibuka   pendaftaran  untuk   anggota  Hizbullah.  Pada  tahap pertama pendaftaran melalui Syumubu (kantor Agama). Setiap keresidenan diminta  mengirim  25 orang  pemuda Islam, rata-rata mereka  para  pemuda berusia  17-25  tahun.   Berdasarkan  usaha  tersebut, terkumpul  500  orang pemuda. Para  anggota Hizbullah  ini kemudian   dilatih  secara  kemiliteran dan  dipusatkan di Cibarusa,  Bogor, Jawa  Barat. Pada  tanggal  28  Februari 1945, latihan secara resmi dibuka oleh pimpinan tentara Jepang. Pembukaan latihan ini dihadiri oleh gunseikan dan pengurus Masyumi, seperti K.H. Hasyim Asyari, K.H. Wahid  Hasyim, dan  Moh.  Natsir. Dalam pidato  pembukaannya, pimpinan tentara Jepang  menegaskan bahwa  para pemuda Islam dilatih agar menjadi kader dan pemimpin barisan Hizbullah. Tujuannya adalah agar para pemuda dapat   mengatasi  kesukaran   perang   dengan  hati  tabah   dan  iman  yang teguh.  Para pelatihnya berasal dari komandan-komandan Peta dan di bawah pengawasan perwira  Jepang,  Kapten  Yanagawa  Moichiro (pemeluk  Islam, yang kemudian  menikah dengan seorang  putri dari Tasik).
Latihan   dilakukan   di   Cibarusa   selama   tiga   setengah  bulan.   Program latihannya  di  samping  keterampilan fisik kemiliteran,  juga  dalam  bidang mental  rohaniah.  Keterampilan  fisik kemiliteran dilatih oleh para komandan Peta, sedangkan bidang  mental  kerohanian dilatih oleh K.H. Mustafa  Kamil (bidang kekebalan), KH. Mawardi (bidang tauhid), K.H. Abdul Halim (bidang politik), dan Kyai Tohir Basuki (bidang sejarah). Sementara itu, sebagai  ketua asrama  adalah K.H. Zainul Arifin.
Latihan  di Cibarusa  berhasil  membina  kader-kader pejuang  yang  militan. Pelatihan   itu   juga   menumbuhkan  semangat  nasionalisme   para   kader Hizbullah. Setelah selesai pelatihan, mereka kembali ke daerah masing-masing untuk  membentuk cabang-cabang Hizbullah beserta  program  pelatihannya. Dengan demikian, berkembanglah kekuatan Hizbullah di berbagai  daerah.
Para anggota Hizbullah menyadari bahwa tanah Jawa adalah pusat pemerintahan tanah air Indonesia maka harus dipertahankan. Apabila Jawa yang merupakan garis terdepan diserang musuh, Hizbullah akan mempertahankan dengan penuh semangat. Semangat ini tentu pada hakikatnya bukan karena untuk membantu Jepang, tetapi demi tanah air Indonesia. Jika Barisan Pelopor disebut sebagai   organisasi semi-militer di bawah naungan Jawa Hokokai, maka Hizbullah merupakan organisasi semi-militer berada  di bawah  naungan Masyumi.

Organisasi Militer
Heiho
Heiho merupakan program militer pertama pemerintah Jepang di Indonesia. Heiho (Pasukan Pembantu) adalah prajurit Indonesia yang langsung ditempatkan di dalam organisasi militer Jepang utnuk membantu tentara Jepang, baik Angkatan Darat maupun Angkatan  Laut. Syarat-syarat untuk menjadi tentara Heiho antara  lain:
1)    umur 18-25 tahun (Jawa) dan 18-30 tahun (Sumatera)
2)    berbadan sehat
3)    berkelakuan  baik, dan
4)    berpendidikan minimal sekolah dasar.
Organisasi Heiho lebih terlatih di dalam bidang  militer dibanding dengan organisasi-organisasi lain. Mereka dibagi menurut kompi (tsusai) dan dimasukkan ke dalam kesatua militer Jepang setempat. Kesatuan Heiho merupakan bagian integral dari pasukan  Jepang. Mereka sudah dibagi-bagi menurut kompi dan dimasukkan ke kesatuan Heiho menurut daerahnya, di Jawa menjadi bagian  Tentara ke-16  (Pembentukan Heiho diumumkan pada 24 April 1943) dan di Sumatera  menjadi  bagian Tentara  ke-25 (diumumkan pada Mei 1943). Selain itu, juga  sudah terbagai menjadi Heiho bagian angkatan darat (Rikugun Heiho), angkatan laut (Kaigun Heiho), dan juga bagian Kempeitei (kepolisian). Sejak berdiri sampai akhir pendudukan Jepang, diperkirakan jumlah anggota Heiho mencapai sekitar 42.000 orang dan sebagian besar sekitar 25.000 berasal dari Jawa. Namun, dari sekian banyak anggota Heiho tidak seorang pun yang berpangkat perwira, karena pangkat perwira hanya untuk orang Jepang.
Fungsi Heiho semula direncanakan hanyalah sebagai pembantu pasukan Jepang utnuk melakukan pekerjaan kasar, seperti juru masak, pengangkat barang-barang militer, dan pengemudi. Dalam kenyataan kemudian, mereka juga dilibatkan dalam pertempuran. Mereka juga dilibatkan dalam pertempuran. Mereka ditempatkan terutama dalam kesatuan artileri pertahanan udara, artileri medan, kesatuan tank, dan mortir parit. Selain itu mereka juga membangun kubu-kubu pertahanan dan menjaga kamp tahanan. Anggota Heiho banyak dikirim ke medan tempur di luar Indonesia, antara lain Burma, Thailand, Vietnam, dan kepulauan Solomon di Pasifik. Keterlibatannya dalam berbagai pertempuran, dari segi militer kemampuan Heiho melebihi tentara Pembela Tanah Air (Peta). Mereka memiliki kemampuan tempur untuk menggantikan serdadu Jepang.

Peta
Sekalipun tidak dapat  dilepaskan  dari rasa ketakutan akan adanya  serangan Sekutu, Jepang  berusaha agar Indonesia dapat  dipertahankan dari serangan Sekutu.  Heiho sebagai  pasukan  yang  terintegrasi  dengan pasukan  Jepang masih   dipandang  belum   memadai.   Jepang   masih   berusaha  agar   ada pasukan  yang secara konkret  mempertahankan Indonesia.  Oleh karena  itu, Jepang  berencana membentuk pasukan  untuk  mempertahankan tanah air Indonesia yang disebut  Pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Jepang  berupaya mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu secara sungguh-sungguh. Hal ini bisa saja didasari oleh rasa was-was  yang makin meningkat karena situasi di medan  perang  yang bertambah sulit sehingga  di samping  Heiho, Jepang juga membentuk organisasi Peta. Peta  adalah  organisasi  militer yang  pemimpinnya   bangsa   Indonesia  yang mendapatkan latihan  kemiliteran. 
Sebelum  ada  perintah  pembentukan Peta,  bagian  Tokuhetsu Han sudah  melatih  para  pemuda Indonesia  untuk  tugas  intelijen.  Latihan tugas intelijen dipimpin oleh Yanagawa. Latihan itu kemudian berkembang secara sistematis dan terprogram. Penyelenggaraannya berada di dalam Seinen  Dojo (Panti Latihan Pemuda) yang terletak di Tangerang. Mula-mula anggota yang dilatih hanya 40 orang dari seluruh Jawa. Pada akhir latihan angkatan ke-2 di Seinen Dojo, keluar perintah dari Panglima tentara Jepang Letnan Jenderal Kumaikici Harada untuk membentuk Tentara “Pembela   Tanah Air” (Peta). Berkaitan dengan itu, Gatot Mangkuprojo diminta untuk   mengajukan rencana  pembentukan organisasi Tentara Pembela Tanah Air. Akhirnya, pada tanggal 3 Oktober 1943 secara resmi berdirilah Peta.  Berdirinya Peta ini berdasarkan peraturan dari pemerintah Jepang yang disebut Osamu Seinendan, nomor 44. Berdirinya Peta ternyata mendapat sambutan hangat di kalangan  pemuda. Banyak di antara para pemuda yang tergabung dalam Seinendan mendaftarkan diri menjadi anggota Peta. Anggota Peta yang bergabung berasal dari berbagai golongan di dalam masyarakat.
Peta sudah mengenal  adanya jenjang kepangkatan dalam organisasi, misalnya   daidanco (komandan batalion), cudanco (komandan kompi), shodanco (komandan peleton), bundanco (komandan regu), dan giyuhei (prajurit sukarela). Pada umumnya,  para  perwira yang menjadi komandan batalion atau daidanco dipilih dari kalangan  tokoh-tokoh masyarakat atau orang-orang yang terkemuka, misalnya pegawai  pemerintah, pemimpin agama, politikus, dan  penegak hukum.  Untuk cudanco  dipilih dari mereka yang  sudah bekerja, tetapi  pangkatnya masih  rendah, misalnya guru-guru sekolah. Shodanco dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan. Adapun budanco dan giyuhei dipilih dari para pemuda tingkat sekolah dasar.
Untuk mencapai  tingkat  perwira Peta, para anggota harus mengikuti pendidikan  khusus. Pertama kali pendidikan  itu dilaksanakan  di Bogor dalam  lembaga  pelatihan  yang diberi nama  Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa (Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai). Setelah  menyelesaikan  pelatihan, mereka  ditempatkan di berbagai  daidan  (batalion) yang tersebar  di Jawa, Madura,  dan Bali.
Menurut struktur organisasi kemiliteran, Peta tidak secara resmi ditempatkan pada struktur organisasi  tentara Jepang. Hal ini memang berbeda dengan Heiho. Peta dimaksudkan sebagai pasukan gerilya yang membantu melawan apabila sewaktu-waktu terjadi serangan dari pihak musuh. Jelasnya, Peta bertugas membela dan mempertahankan tanah air Indonesia dari serangan Sekutu. Dalam kedudukannya di struktur organisasi militer Jepang, Peta memiliki kedudukan yang lebih bebas atau fleksibel dan dalam hal kepangkatan ada orang Indonesia yang sampai mencapai  perwira. Oleh karena itu, banyak di antara berbagai lapisan masyarakat  yang tertarik untuk menjadi anggota Peta. Sampai akhir pendudukan Jepang, anggota Peta ada sekitar 37.000 orang di Jawa dan sekitar 20.000 orang di Sumatra. Di Sumatra namanya lebih terkenal dengan Giyugun (prajurit-prajurit sukarela). Orang-orang Peta inilah yang akan banyak berperan di bidang ketentaraan di masa-masa berikutnya. Beberapa tokoh terkenal di dalam Peta, antara lain Supriyadi dan Sudirman.
Memahami uraian tentang pendudukan Jepang seperti diterangkan di depan, menunjukkan bahwa Jepang sebenarnya memerintah dengan otoriter, bersifat tirani. Semua organisasi yang dibentuk diarahkan untuk kepentingan perang. Oleh karena itu, program pendidikan bersifat militer.

Penyusun: Fitria Melinda, S. Pd