Kondisi Awal Negara Indonesia
Proklamasi 17 Agustus 1945 dilaksanakan dalam situasi yang chaos, tergesa-gesa tanpa perencanaan jelas walaupun sebelumnya sudah dirancang BPUPKI dan PPKI untuk mempersiapkan Pemerintahan Indonesia. Dapat dipahami bahwa ketika diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, saat itu negara kita belum sepenuhnya terbentuk, mengapa? Karena ada syarat yang harus dipenuhi sebagai berdirinya negara selain ada wilayah, memiliki struktur kepemerintahan dan diakui negara lain, yakni memilik kelengkapan lain seperti undang-undang dasar atau sumber peraturan hukum. Bagaimana proses the founding fathers kita membentuk sebuah pemerintahan negara yang berdaulat? Nah, kita bersama-sama akan membahas tentang ‘Pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia’.
Pengesahan Undang-Undang Dasar (UUD 1945)
Sehari setelah merdeka, Indonesia belum memiliki Undang-undang Dasar. Padahal Undang-undang Dasar adalah hal pokok yang harus segera dipenuhi sebagai syarat menjalankan sebuah pemerintahan yang berdaulat, sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI segera mengesahkan UUD 1945 di Pejambon.
Proklamasi 17 Agustus 1945 dilaksanakan dalam situasi yang chaos, tergesa-gesa tanpa perencanaan jelas walaupun sebelumnya sudah dirancang BPUPKI dan PPKI untuk mempersiapkan Pemerintahan Indonesia. Dapat dipahami bahwa ketika diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, saat itu negara kita belum sepenuhnya terbentuk, mengapa? Karena ada syarat yang harus dipenuhi sebagai berdirinya negara selain ada wilayah, memiliki struktur kepemerintahan dan diakui negara lain, yakni memilik kelengkapan lain seperti undang-undang dasar atau sumber peraturan hukum. Bagaimana proses the founding fathers kita membentuk sebuah pemerintahan negara yang berdaulat? Nah, kita bersama-sama akan membahas tentang ‘Pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia’.
Pengesahan Undang-Undang Dasar (UUD 1945)
Sehari setelah merdeka, Indonesia belum memiliki Undang-undang Dasar. Padahal Undang-undang Dasar adalah hal pokok yang harus segera dipenuhi sebagai syarat menjalankan sebuah pemerintahan yang berdaulat, sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI segera mengesahkan UUD 1945 di Pejambon.
Isu diintegrasi Bangsa
Pengesahan UUD 1945 tidak hanya menuai pro dan kontra. Sebelum rapat dimulai telah berkembang isu yang sangat berbahaya bagi keberadaan negara Indonesia yang saat itu masih bayi, yakni perbedaan persepsi isi pembukaan UUD yang tidak sejalan dengan ajaran agama mayoritas penduduk Indonesia Barat yang Islam dan Timur yang Kristen. Berkat kelegowoan ati para pemimpin Islam saat itu, maka sembilan kata dalam pembukaan UUD 1945 diganti yang semula berisi ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Kronologi
1. Nisyjima memperoleh informasi dari anak buahnya bahwa Indonesia Timur yang mayoritas Kristen-Katholik tidak mau bergabung dengan NKRI karena perbedaan pandang asas Ketuhanan yang cenderung keislaman sebagai dasar negara.
2. Pada sore harinya 17 Agustus 1945, Nisyijima bertemu dengan Mohammad Hatta menyampaikan informasi penting tersebut.
3. Pagi hari sebelum sidang PPKI dimulai pada 18 Agustus 1945, Hatta mengundang tokoh-tokoh Islam berpengaruh seperti Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama), Mr. Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), dan Teuku Hasan (Aceh) untuk membahas penghilangan kata pada sila pertama Pancasila dalam Paiagam Jakarta yakni ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ menjadi ‘Ketuhanan’
4. Usul Hatta ditolak oleh Wachid Hasyim maupun Ki Bagus Hadikusumo, tetapi berkat pendekatan yang dilakukan oleh Kasman Singodimejo kepada Ki Bagus Hadikusumo akhirnya disetujui dengan syarat penambahan kata ‘Yang Maha Esa’ menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’
Berkat kekawatiran Hatta yang secara penuh sadar arti kegagalan Republik Indonesia tanpa bergabungnya Indonesia Timur maka pada acara pertama sidang PPKI yakni sesi pandangan umum, Hatta berhasil menelurkan kesepakatan yang diambil bersama bahwa pokok mengenai seluruh bangsa Indonesia tidak hanya menyangkut identitas mayoritas pemeluk agama, tetapi terlebih dari itu adalah rakyat Indonesia secara keseluruhan, sehingga pergantian rumusan dalam pembukaan UUD dapat diterima oleh mayoritas peserta sidang, meskipun ada juga yang kecewa. Maka konsekuensi dari hasil musyawarah tersebut adalah merevisi isi draf pembukaan UUD yang tertera dalam Piagam Jakarta, dan pengesahan teks Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945.
Sidang kemudian dilanjutkan dengan membahas isi UUD dari bab ke bab, pasal demi pasal. Pembahasan isi UUD cukup produktif dan berjalan lancar.
- Pasal 35 disetujui tentang Bendera Indonesia adalah merah putih.
- Pasal 36 tentang bahasa negara yaitu Bahasa Indonesia.
- Pasal 29 tentang peran negara yang melindungi umat beragama.
Dengan disahkannya UUD 1945 maka bangsa Indonesia menjadi satu-satunya bangsa yang berani melawan keputusan Paus Alexander VI dengan Perjanjian Tordesilas 1494-nya yang membagi dunia menjadi dua wilayah jajahan, yakni belahan timur milik Portugis dan belahan barat milik Spanyol. Demikian pula imperialisme modern yang ditegakan oleh Inggris dan Belanda sejak 1870 serta perluasan penjajahan Kekaisaran Shinto Dai Nippon yang menjadikan Asia Timur Raya sebagai wilayah jajahanya dengan satu tekat yakni ‘kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan’.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Pada tanggal 18 Agustus 1945 pukul 15.00 agenda sidang adalah pemilihan presiden dan wakil presiden. Sebagai dasar hukumnya adalah pasal 3 tetapi dalam prosesnya, pertamakali pemilihan presiden dan wakilnya dilaksanakan oleh PPKI. Otto Iskandardinata mengusulkan aklamasi pemilihan presiden dan wakilnya, maka terpilihlah Sukarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya.
Sukarno dikukuhkan menjadi presiden dan wakil presiden secara resmi pada tanggal 29 Agustus 1945 oleh KNIP. Kedudukan Sukarno sebagai presiden menutut UUD 1945 adalah kedudukan selaku kepala pemerintah dan kepala negara (presidensil/single executive). Namun selama revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah menjadi semi presidensil/double executive, dimana Sukarno sebagai kepala negara sedangkan Sutan Syahrir sebagai perdana menteri atau kepala pemerintahan. Hal itu terjadi karena dikeluarkannya maklumat wakil presiden No X dan maklumat pemerintahan bulan November 1945 tentang partai Politik. Hal itu ditempuh agar Republik Indonesia dianggap sebagai negara yang demokratis.
Pembentukan Pemerintah Daerah
Sidang PPKI dilanjutkan pada tanggal 19 Agustus 1945 untuk mengesahkan pembentukan pemerintah daerah. Sehari sebelumnya Sukarno menunjuk Otto Iskandardinata bersama panitia kecil yang telah dibentuk pada tanggal 18 Agustus untuk merumuskan pembaagian wilayah negara Indonesia. Agenda sidang saat itu mendengarkan pembagian wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi sebagai berikut:
- Sumatera : Mohammad Teuku Hasan
- Jawa Tengah : R.P. Soeroso
- Jawa Timur : R.M. Soerjo
- Jawa Barat : R. Soetarjo
- Sunda Kecil : Mr. Poeja
- Borneo : Pangeran Noer
- Sulawesi : Dr. Sam Ratoelangi
- Maluku : Mr. Latuharary
Di samping delapan wilayah tersebut, masih ditambah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta, dimana pada masing-masing daerah dipimpin oleh gubernur. Wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah RI sekarang ini adalah bekas dari Kerajaan Belanda dari Sabang sampai Merauke yang luasnya bila dipindahkan pada skala yang sama maka Merauke ada di Baghdad Irak sedangkan Sabang di Greenwich London Inggris. Kemudian posisi Kepulauan Talaud ada di Jerman dan P. Rote ada di Aljazair.
Terbentuknya Pemerintahan Daerah Jawa Tengah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jumat Legi, jam 10.00. Berita proklamasi mulai dikumandangkan melalui kantor berita Domei Jakarta. Berita ini langsung diterima oleh Markonis Sugiarin di kantor berita Domei di Semarang dan diserahkan oleh Syarif Sulaiman dan M.S. Mintarjo ke Mr. Wongsonegoro. Semangat proklamasi kemedekaan mulai menggerakan semangat juang Rakyat Jawa Tengah setelah Wongsonegoro selaku fuku shuchokan (asisten residen) pada tanggal 19 Agustus 1945 pukul 13.00, membacakan copy-press pembentukan Pemerintah Daerah Jawa Tengah melalui corong radio sebagai berikut:
“Berdasarkan atas pengumuman-pengumuman Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Komite Nasional Djakarta maka dengan ini kami atas nama Rakyat Indonesia Daerah Semarang, mengumumkan sementara aturan-aturan pemerintahan, untuk menjaga keamanan umum di daerah Semarang, sebagai berikut:
1. Mulai hari ini tanggal 19 Agustus 1945, jam 1 siang, Pemerintahan Republik Indonesia untuk daerah Semarang mulai berlaku.
2. Terhadap segala perbuatan, yang menentang Pemerintahan Republik Indonesia, akan diambil tindakan yang keras.
3. Senjata api, kecuali yang ditunjuk mereka yang berhak memakainya, harus diserahkan kepada polisi.
4. Hanya bendera Indonesia Sang Merah Putih boleh dikibarkan.
5. Terhadap segala perbuatan yang mengganggu ketenteraman dan kesejahteraan umum diambil tindakan keras dan
6. Selanjutnya, semua pendududk hendaknya melakukan pekerjaaannya sehari-hari sebagai biasa”
Semarang, 19 Agustus 1945
Kepala Pemerintah RI
Daerah Semarang
Wongsonegoro
Sejak keluarnya pengumuman itu, maka Daerah Jawa Tengah masuk ke dalam kekuasaan Republik Indonesia. Maka pada tanggal 5 Sepetember 1945 Raden Panji Soeroso diangkat menjadi gubernur Jawa Tengah. Namun tidak berlangsung lama, R.P. Soeroso dimutasi menjadi kepala komisaris tinggi daerah Jawa Tengah yang merangkap sebagai ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Semarang pada tanggal 13 Oktober 1945, sehingga ia digantikan wakilnya bernama Wongsonegoro.
Pembagian Kementrian dalam Pembentukan Kabinet I
Pada tanggal 19 Agustus 1945, setelah pembagian wilayah Indonesia, sidang dilanjutkan mendengarkan laporan dari Ahmad Subardjo mengenai pembagian departemen atau kementrian. Dalam laporannya disepakati NKRI terbagi menjadi 12 departemen, tetapi kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno baru terbentuk pada 2 September 1945 dengan nama kabinet presidensil.
- Kementrian Dalam Negeri : R.A.A. Wiranata Kusumah
- Kementrian Luar Negeri : Mr. Ahmad Subarjo
- Kementrian Kehakiman : Prof. Mr. Supomo
- Kementrian Keuangan : Mr. A.A. Maramis
- Kementrian Kemakmuran : Ir. Surakhmad Cokroadisuryo
- Kementrian Kesehatan : Dr. Buntaran Martoatmojo
- Kementrian Pengajaran : Ki Hajar Dewantara
- Kementrian Sosial : Mr. Iwa Kusumasumantri
- Kementrian Pertahanan : Supriyadi
- Kementrian Penerangan : Mr. Amir Syarifuddin
- Kementrian Perhubungan : Abikusno Cokrosuyoso
- Kementrian Pekerjaan Umum : Abikusno Cokrosuyoso
Dalam kabinet presidensil terjadi politik identitas dimana saat itu pemimpin dari kelompok Islam seperti NU dan Muhammadiyah tidak banyak dimasukan. Seperti pemilihan menteri pendidikan, bukan dari golongan Muhammadiyah yang dimasukan melainkan dari Taman Siswa, yakni Ki Hajar Dewantara yang notabenenya organisasi Taman Siswa melarang guru-gurunya berpolitik aktif pada masa pergerakan nasional. Kemudian untuk posisi gubernur kebanyakan diduduki oleh orang-orang dari Parindra.
Usia kabinet presidensil berlangsung beberapa bulan saja, terhitung dari bulan Agustus 1945 sampai November 1945. Kemudian diganti menjadi kabinet parlementer yang pertama yang dipimpin oleh Syahrir pada tanggal 14 November 1945. Baik kabinet presidensial maupun parlementer aspirasi politik Islam dalam kepemerintahan tercegat yang merefleksikan politik identitas sehingga mengingatkan pada pengalaman di jaman kolonial dimana secara politik Islam tersisihkan.
Rapat Raksasa Ikada
Sejak dibentuknya Kabinet Presidensil, hingga pertengahan September belum ada tanda-tanda Kabinet bekerja dan berusaha menyingkirkan halangan-halangan dari Tentara Jepang. Melihat keadaan itu, para pemuda yang hilang kesabarannya melihat angkatan ‘tua’ yang ragu-ragu menghadapi Jepang merencanakan rapat raksasa di lapangan Ikada.
Rapat raksasa di Lapangan Ikada digelar pada tanggal 19 Sepetember 1945. Tujuan diselenggarakannya rapat itu untuk menyampaikan penjelasan kepada rakyat mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sebenarnya pihak penguasa Jepang sudah melarang sejak sehari sebelumnya, begitupula Sukarno meminta agar para pemuda pelajar dan mahasiswa membatalkan rapat raksasa Ikada, tetapi para pemuda menegaskan tekad mereka untuk tetap meneruskan rapat itu dan KNI tetap melangsungkannya sesuai rencana.
Pamflet-pamflet larangan dipasang, tetapi kebanyakan para pemuda tidak tahu adanya larangan itu. Mereka terus menggerakan massa dari dalam dan luar Jakarta. Mereka turun ke kota mengajak seluruh rakyat membanjiri lapangan Ikada yang jumlahnya kala itu hingga puluhan ribu orang. Berhadap-hadapan dengan tentara Jepang, rakyat yang telah dilucuti senjatanya tetap melangsungkan rapat.
Suasana di lapangan Ikada mulai riuh, rakyat menunggu hingga siang tetapi pemimpin mereka belum kunjung datang. Ahmad Subarjo yang saat itu menjabat menteri luar negeri diminta menghubungi Bung Karno dan Hatta agar keduanya bersedia menghadiri rapat umum di Ikada. Saling debat antara menghadiri dan menolak undangan di Ikada-pun pecah di sidang Kabinet. Bung Karno, Hatta dan menteri-menterinya semua khawatir bila rapat raksasa tetap dilaksanakan, pertumpahan darah akan tidak terelakka. Ribuan rakyat akan begelimpangan luka parah menjadi korban senapan mesin serdadu Jepang yang mengelililngi Ikada. Akhirnya Bung Karno beserta rombongan pun menghadiri rakyat. Mereka tiba di Ikada pada pukul 15.00. Ketika Bung Karno berjalan menuju podium, tiba-tiba seorang Kempetai mencoba menahan agar Sukarno enggan melakukannya. Tetapi Bung Karno mendesak agar sebaiknya jangan dicegah.
Di dalam kerumunan rakyatnya, Bung Karno hanya menyampaikan sedikit pidato. Kemudian para pemuda yang mengunjungi rapat itu diinnstruksikan pulang karena adanya tekanan dari Jepang. Tetapi terdapat makna dari terselenggaranya rapat Ikada bagi bangsa Indonesia saat itu yaitu mulai mempunyai harga diri sebagai manusia merdeka yang telah memiliki negara sendiri. Kemudian ditinjau dari segi politis, Rapat Raksasa Ikada merupakan strategi politik untuk membuka mata dunia bahwa kemerdekaan Indonesia yang baru berusia satu bulan itu mendapat dukungan dari rakyat Indonesia.
“Berdasarkan atas pengumuman-pengumuman Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Komite Nasional Djakarta maka dengan ini kami atas nama Rakyat Indonesia Daerah Semarang, mengumumkan sementara aturan-aturan pemerintahan, untuk menjaga keamanan umum di daerah Semarang, sebagai berikut:
1. Mulai hari ini tanggal 19 Agustus 1945, jam 1 siang, Pemerintahan Republik Indonesia untuk daerah Semarang mulai berlaku.
2. Terhadap segala perbuatan, yang menentang Pemerintahan Republik Indonesia, akan diambil tindakan yang keras.
3. Senjata api, kecuali yang ditunjuk mereka yang berhak memakainya, harus diserahkan kepada polisi.
4. Hanya bendera Indonesia Sang Merah Putih boleh dikibarkan.
5. Terhadap segala perbuatan yang mengganggu ketenteraman dan kesejahteraan umum diambil tindakan keras dan
6. Selanjutnya, semua pendududk hendaknya melakukan pekerjaaannya sehari-hari sebagai biasa”
Semarang, 19 Agustus 1945
Kepala Pemerintah RI
Daerah Semarang
Wongsonegoro
Sejak keluarnya pengumuman itu, maka Daerah Jawa Tengah masuk ke dalam kekuasaan Republik Indonesia. Maka pada tanggal 5 Sepetember 1945 Raden Panji Soeroso diangkat menjadi gubernur Jawa Tengah. Namun tidak berlangsung lama, R.P. Soeroso dimutasi menjadi kepala komisaris tinggi daerah Jawa Tengah yang merangkap sebagai ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Semarang pada tanggal 13 Oktober 1945, sehingga ia digantikan wakilnya bernama Wongsonegoro.
Pembagian Kementrian dalam Pembentukan Kabinet I
Pada tanggal 19 Agustus 1945, setelah pembagian wilayah Indonesia, sidang dilanjutkan mendengarkan laporan dari Ahmad Subardjo mengenai pembagian departemen atau kementrian. Dalam laporannya disepakati NKRI terbagi menjadi 12 departemen, tetapi kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno baru terbentuk pada 2 September 1945 dengan nama kabinet presidensil.
- Kementrian Dalam Negeri : R.A.A. Wiranata Kusumah
- Kementrian Luar Negeri : Mr. Ahmad Subarjo
- Kementrian Kehakiman : Prof. Mr. Supomo
- Kementrian Keuangan : Mr. A.A. Maramis
- Kementrian Kemakmuran : Ir. Surakhmad Cokroadisuryo
- Kementrian Kesehatan : Dr. Buntaran Martoatmojo
- Kementrian Pengajaran : Ki Hajar Dewantara
- Kementrian Sosial : Mr. Iwa Kusumasumantri
- Kementrian Pertahanan : Supriyadi
- Kementrian Penerangan : Mr. Amir Syarifuddin
- Kementrian Perhubungan : Abikusno Cokrosuyoso
- Kementrian Pekerjaan Umum : Abikusno Cokrosuyoso
Dalam kabinet presidensil terjadi politik identitas dimana saat itu pemimpin dari kelompok Islam seperti NU dan Muhammadiyah tidak banyak dimasukan. Seperti pemilihan menteri pendidikan, bukan dari golongan Muhammadiyah yang dimasukan melainkan dari Taman Siswa, yakni Ki Hajar Dewantara yang notabenenya organisasi Taman Siswa melarang guru-gurunya berpolitik aktif pada masa pergerakan nasional. Kemudian untuk posisi gubernur kebanyakan diduduki oleh orang-orang dari Parindra.
Usia kabinet presidensil berlangsung beberapa bulan saja, terhitung dari bulan Agustus 1945 sampai November 1945. Kemudian diganti menjadi kabinet parlementer yang pertama yang dipimpin oleh Syahrir pada tanggal 14 November 1945. Baik kabinet presidensial maupun parlementer aspirasi politik Islam dalam kepemerintahan tercegat yang merefleksikan politik identitas sehingga mengingatkan pada pengalaman di jaman kolonial dimana secara politik Islam tersisihkan.
Rapat Raksasa Ikada
Sejak dibentuknya Kabinet Presidensil, hingga pertengahan September belum ada tanda-tanda Kabinet bekerja dan berusaha menyingkirkan halangan-halangan dari Tentara Jepang. Melihat keadaan itu, para pemuda yang hilang kesabarannya melihat angkatan ‘tua’ yang ragu-ragu menghadapi Jepang merencanakan rapat raksasa di lapangan Ikada.
Rapat raksasa di Lapangan Ikada digelar pada tanggal 19 Sepetember 1945. Tujuan diselenggarakannya rapat itu untuk menyampaikan penjelasan kepada rakyat mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sebenarnya pihak penguasa Jepang sudah melarang sejak sehari sebelumnya, begitupula Sukarno meminta agar para pemuda pelajar dan mahasiswa membatalkan rapat raksasa Ikada, tetapi para pemuda menegaskan tekad mereka untuk tetap meneruskan rapat itu dan KNI tetap melangsungkannya sesuai rencana.
Pamflet-pamflet larangan dipasang, tetapi kebanyakan para pemuda tidak tahu adanya larangan itu. Mereka terus menggerakan massa dari dalam dan luar Jakarta. Mereka turun ke kota mengajak seluruh rakyat membanjiri lapangan Ikada yang jumlahnya kala itu hingga puluhan ribu orang. Berhadap-hadapan dengan tentara Jepang, rakyat yang telah dilucuti senjatanya tetap melangsungkan rapat.
Suasana di lapangan Ikada mulai riuh, rakyat menunggu hingga siang tetapi pemimpin mereka belum kunjung datang. Ahmad Subarjo yang saat itu menjabat menteri luar negeri diminta menghubungi Bung Karno dan Hatta agar keduanya bersedia menghadiri rapat umum di Ikada. Saling debat antara menghadiri dan menolak undangan di Ikada-pun pecah di sidang Kabinet. Bung Karno, Hatta dan menteri-menterinya semua khawatir bila rapat raksasa tetap dilaksanakan, pertumpahan darah akan tidak terelakka. Ribuan rakyat akan begelimpangan luka parah menjadi korban senapan mesin serdadu Jepang yang mengelililngi Ikada. Akhirnya Bung Karno beserta rombongan pun menghadiri rakyat. Mereka tiba di Ikada pada pukul 15.00. Ketika Bung Karno berjalan menuju podium, tiba-tiba seorang Kempetai mencoba menahan agar Sukarno enggan melakukannya. Tetapi Bung Karno mendesak agar sebaiknya jangan dicegah.
Di dalam kerumunan rakyatnya, Bung Karno hanya menyampaikan sedikit pidato. Kemudian para pemuda yang mengunjungi rapat itu diinnstruksikan pulang karena adanya tekanan dari Jepang. Tetapi terdapat makna dari terselenggaranya rapat Ikada bagi bangsa Indonesia saat itu yaitu mulai mempunyai harga diri sebagai manusia merdeka yang telah memiliki negara sendiri. Kemudian ditinjau dari segi politis, Rapat Raksasa Ikada merupakan strategi politik untuk membuka mata dunia bahwa kemerdekaan Indonesia yang baru berusia satu bulan itu mendapat dukungan dari rakyat Indonesia.
Pembubaran PPKI dan Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat
Pada tanggal 23 Agustus 1945, Hatta memimpin sidang pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai pengganti dari PPKI. KNIP baru disahkan pada 29 Agustus 1945, bersamaan dengan itu turut dilantik pula anggota KNIP sebanyak 136 orang dengan ketuanya adalah Mr. Kasman Singodimejo. Keanggotaan KNIP diambil dari pemuka-pemuka masyarakat dan wakil-wakil dari berbagai daerah sebagai bentuk representasi wilayah serta anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang tidak diangkat menjadi menteri. Meskipun anggota KNIP tidak dipilih oleh rakyat tetapi setidaknya KNIP menjadi awal proses pembentukan pemerintahan RI.
KNIP yang pada mulanya tidak diorientasikan sebagai lembaga legislatif, namun dalam perkembangannya akibat protes sejumlah anggotanya berubah menjadi lembaga legislatif yang memiliki fungsi sama dengan fungsi yang dilakukan DPR dan MPR setelah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang berisi ’Pemberian Kekuasaan Legislatif kepada Komite Nasional Pusat’. Eksistensi KNIP semakin kuat dengan turut merancang garis besar haluan negara. Sebagai lembaga legislatif KNIP memiliki hak yang sama dengan hak yang dimiliki DPR/MPR yakni mengajukan usul yang dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya tiga orang anggota dan hak mengajukan pertanyaan kepada pemerintah melalui ketua.
Sejalan dengan pembentukan KNI di tingkat pusat, di daerah-daerah juga dibentuk KNI Karesidenan. KNI Semarang sendiri berdiri pada 28 Agustus 1945 dipimpin oleh Wongsonegoro yang anggotanya terdiri dari golongan cendikiawan, tokoh masyarakat, alim ulama, wakil golongan profesi yang terdapat dalam masyarakat seperti pedagang dan petani. KNI Semarang betugas membantu penyelenggaraan Pemerintah RI di daerah Semarang.
Sumber
Mulyana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional Indonesia dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid II. Yogyakarta: LKiS.
Muttaqin, Fajriudin., dkk. 2015. Sejarah Pergerakan Nasional. Bandung: Humaniora
Suryanegara, Ahmad Mansyur. 2010. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani.
Penyusun: Dimas Anggoro, M. Pd