-->

Sejarah Romusha di Indonesia

Pengertian Romusha 
Romusha adalah sebuah kata Jepang yang berarti semacam “serdadu kerja” yang tenaganya dibutuhkan demi kepentingan Perang Pasifik yang dialami Jepang melawan tentara sekutu pada Perang Dunia II [2]. Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (1990:248) [3], romusha asal kata dari bahasa Jepang yang berarti kuli atau tenaga kerja. Lebih lanjut diterangkan Romusha adalah nama barisan pekerja Jawa yang tidak termasuk bagian ketentaraan akan tetapi umumnya dipekerjakan di garis belakang dari berbagai medan pertempuran.
Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia (1984:2934) [4], romusha adalah tenaga kerja paksa di dalam pendudukan Jepang yang dipekerjakan di sarana strategis demi kepentingan pertahanan Jepang dan mengalami perlakuan lebih buruk dari pada kerja rodi zaman Belanda. Dalam bahasa Jepang, romusha berarti “pahlawan kerja”. Romusha di Indonesia dipakai untuk menyebut tenaga kerja paksa di zaman pendudukan Jepang (1942–1945). Para romusha dipekerjakan untuk kepentingan membangun pertahanan pasukan Jepang. [5]. Romusha adalah rakyat yang dikerahkan oleh militer Jepang untuk membuat jalan, jembatan, rel kereta api dan sebagainya dalam Perang Dunia II di wilayah pendudukannya;banyak diantara mereka yang mati karena penderitaan. [6]
Apapun artinya, romusha adalah orang-orang yang dipaksa kerja berat di luar daerahnya, selama pendudukan Jepang bagi kepentingan tercapainya kemenangan akhir. Waktu itu setiap kepala keluarga diwajibkan menyerahkan seorang anak lelakinya dibawah usia 30 tahun untuk berangkat menjadi romusha. Tenaga- tenaga tersebut didatangkan dari Jawa sebagai pulau yang paling padat penduduknya untuk dikirim dan dikerahkan ke proyek-proyek tentara Jepang di Jawa dan pulau-pulau lain bahkan hingga ke Singapura dan Thailand.

Latar Belakang Pengerahan Romusha  
Ketika Perang Pasifik pecah yang diawali dengan serangan udara mendadak Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) di Pearl Harbour, Hawaii pada tanggal 7 Desember 1941. Saat itu pulalah dimulainya perang senjata antara Amerika Serikat (Sekutu) dan Jepang. Tentu saja peperangan antara kedua kubu tersebut membutuhkan biaya, tenaga dan bahan makanan yang tidak sedikit.
Dalam waktu yang sangat singkat Angkatan Perang Jepang telah dapat merebut dan menduduki hampir seluruh wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda. Hingga pada tanggal 8 Maret 1942 tentara Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Maka berakhir pulalah pemerintahan penjajahan bangsa Belanda di Indonesia digantikan oleh penjajahan bangsa Jepang.
Luasnya daerah pendudukan Jepang membuat Jepang memerlukan tenaga kerja yang begitu besar. Guna persiapan perang Asia Timur Raya serta memenuhi kebutuhan tentara Jepang. Pada akhir tahun 1942 keadaan Perang Pasifik semakin menyulitkan tentara Jepang untuk mencapai obsesinya sebagai negara ekspansionis yang sukses dan satu-satunya di wilayah Asia. Jika pada awal peperangan Jepang bertindak agresif dan selalu menyerang. Maka pada awal tahun 1943 tentara Jepang lebih bersifat defensif dari serangan balik Amerika Serikat sehingga pimpinan tentara Jepang merencanakan siasat perang selama mungkin untuk menahan dan menghambat kemajuan tentara Sekutu. Untuk keperluan itu tentara Jepang sangat membutuhkan bantuan tenaga dari bangsa Indonesia yang menjadi daerah jajahannya. Kurangnya sumber daya, terdesak Perang Asia Timur Raya, kekalahan Jepang dalam menghadapi sekutu pada Perang Asia Timur Raya menambah kegusaran Jepang dalam menghadapi kenyataan yang dialaminya. Situasi ini menyebabkan Jepang membabi-buta dalam hal pengadaan pengerahan romusha di Indonesia.

Pelaksanaan Pengerahan Romusha
Tenaga romusha diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui program Kinrohosi/kerja bakti. Pada awalnya mereka melakukannya dengan sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga diserahkan pada panitia pengerahan (Romukyokai) yang ada di setiap desa. Waktu itu setiap kepala keluarga diwajibkan menyerahkan seorang anak lelakinya untuk berangkat menjadi romusha. Namun bagi golongan masyarakat kaya seperti pedagang, pejabat, orang-orang Cina dapat menyogok pejabat pelaksana pengerahan tenaga atau dengan membayar kawan sekampung yang miskin untuk menggantikannya sehingga terhindar dari kewajiban untuk menjadi romusha.
Mula-mula tugas yang dilakukan bersifat sukarela dan tidak begitu jauh dari tempat tinggal penduduk, namun lama-kelamaan pengerahan tenaga kerja berubah menjadi paksaan. Di tempat-tempat mereka bekerja, mereka diperlakukan secara kasar. Kesehatan tidak dijamin, makanan tidak cukup, serta pekerjaan yang sangat berat. Bahkan, untuk pakaian para romusha hanya menggenakan celana dari karung goni untuk menutupi auratnya. Bahan karung goni sendiri merupakan bahan yang tidak nyaman dikenakan dan menjadi sarang kutu. Dengan keadaan yang sedemikian rupa tentu saja menjadi sarang bagi penyakit, sehingga banyak diantara romusha yang meninggal ditempat kerjanya karena sakit, kekurangan makan serta kecapaian ataupun kecelakaan. Berita buruk ini kemudian tersebar dan menjadi rahasia umum, sehingga banyak orang yang takut menjadi romusha. Untuk menghilangkan ketakutan penduduk dan menutupi rahasia itu, sejak tahun 1943 Jepang melancarkan kampanye baru, yang mengatakan bahwa romusha adalah “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja”. Mereka digambarkan sebagai prajurit-prajurit yang menunaikan tugas-tugas sucinya untuk angkatan perang Jepang dan sumbangan mereka terhadap usaha perang itu mendapat pujian setinggi langit.
Pengerahan romusha tidak lain karena motivasi Jepang untuk memenangkan perang. Motivasi ekspansi Jepang ke selatan adalah faktor ekonomi, khususnya ketertarikan Jepang dalam bidang eksploitasi sumber-sumber ekonomi padi, minyak tanah, batu bara, karet dan barang-barang krusial lainnya di daerah-daerah baru yang dikuasainya untuk mendukung peperangan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Jepang tidak memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang cukup guna menghadapi perang jangka panjang melawan sekutu.

Tujuan Jepang Mengeksploitasi Romusha 
Pulau Jawa menyimpan sumber daya yang melimpah dan dapat dimanfaatkan adalah penduduknya. Penduduk tersebut dimanfaatkan tenaganya sebagai sumber daya penting selain sumber alam, maka jutaan orang dimobilisasi sebagai romusha untuk melakukan pekerjaan berat di dalam dan luar pulau Jawa bahkan sampai ke luar wilayah Indonesia.
 Pada awalnya romusha dipekerjakan sebagai tenaga produktif di perusahaan-perusahaan, kedudukannya seperti buruh biasa. Kebijakan mobilisasi mereka ke luar Jawa dimaksudkan untuk menciptakan produktivitas akibat pengurangan produktivitas pertanian dan perkebunan di Pulau Jawa. Memasuki pertengahan tahun 1943, kebijakan pengerahan romusha berubah menjadi usaha eksploitasi. Pengambilan dan penempatan romusha oleh Angkatan Perang dilakukan dengan serius. Ada tiga alasan mengapa eksploitasi romusha dilakukan. Pertama, kondisi perang Pasifik semakin memburuk bagi Jepang. Kedua, adanya tuntutan memenuhi kebutuhan sendiri (swasembada) bagi setiap Angkatan Perang di daerah pendudukan. Ketiga, adanya motivasi ekonomi yang merupakan tujuan utama imperialisme Jepang ke Indonesia. Keempat, Jepang kekurangan tenaga dalam peran mensukseskan Perang Pasifik yang sedang dijalaninya guna untuk membuat kubu-kubu pertahanan, lubang-lubang pertahanan, lapangan-lapangan udara, rel kereta api, pertambangan batu bara, perkebunan jarak sebagai minyak dan sebagainya. Mulai saat itu tenaga romusha bukan hanya diperlukan untuk eksploitasi ekonomi, tetapi juga diperlukan untuk proyek-proyek yang secara langsung berkaitan dengan perang. Pada taraf ini permintaan terhadap romusha menjadi tak terkendali. Di setiap desa dan wilayah, laki-laki dan perempuan usia produktif diinventarisir oleh kepala desa atau kepala wilayah dan kemudian mereka dikenai kewajiban kerja tanpa terkecuali.

Dampak Romusha Bagi Bangsa Indonesia
Romusha memberikan akibat yang mendalam bagi bangsa Indonesia meskipun Jepang menjajah Indonesia hanya seumur jagung, tetapi dalam waktu yang sesingkat itu memumbuhkan dampak yang sangat mendalam bagi bangsa Indonesia karena pada waktu itu sangat menderita dengan adanya romusha rakyat Indonesia hidup bagaikan tulang tanpa daging pakaian compang-camping kelaparan dimana-mana. Berikut dampak-dampak diberlakukannya romusha di Indonesia.
1.    Bidang Ekonomi
Keadaan ekonomi di Indonesia mengalami kemerosotan. Penyebabnya antara lain adalah sebagai berikut:
a.    Para penyuluh pertanian bukan tenaga-tenaga ahli pertanian.
b.    Hewan-hewan yang berguna bagi pertanian banyak yang dipotong.
c.    Kurangnya tenaga kerja petani karena banyak yang dijadikan romusha.
d.    Banyaknya penebangan hutan liar.
e.    Kewajiban menyerahkan hasil bumi.
2.    Bidang Sosial dan Budaya
Kepala–kepala desa dan camat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengerahan romusha sering memilih orang–orang yang tidak mereka sukai atau orang yang ditakuti oleh masyarakat desa setempat. Berjuta-juta rakyat menderita kelaparan dan serba kekurangan. Dijalankannya program romusha lebih menambah hancurnya perasaan ketentraman masyarakat Jawa. Pengaruh buruk dari sistem romusha itu masih ditambah lagi oleh pelaksanaan setempat yang memungkinkan dapat dibelinya pengecualian atau kewajiban menjadi romusha. Tentu saja hal itu dapat dilakukan oleh golongan masyarakat kaya.
3.    Dampak bagi pekerja
Para tenaga kerja yang disebut romusha kebanyakan meninggal karena kekurangan makan, kelelahan, malaria dan terjangkit penyakit. Selain itu juga karena kerasnya pengawasan dan siksaan Jepang yang kejam dan tidak berperi kemanusiaan. Dibarak-barak romusha tidak tersedia perawatan dan tenaga kesehatan. Seakan-akan telah menjadi rumus bahwa siapa yang tidak lagi kuat bekerja maka akan mati. Sebagai mana alam pemikiran jepang, bahwa bukan manusianya yang diperhitungkan melainkan tujuannya yaitu “menang perang”.

Dampak Positif dan Negatif Pengerahan Romusha di Indonesia
•    Dampak Positif
a.    Dibangunnya jalan-jalan, jalur kereta, gedung-gedung
b.    Mengenal pertanian dengan lebih baik
•    Dampak Negatif
a.    Rakyat Indonesia sengsara
b.    Kerugian materil dan non materil
c.    Jepang mengeksploitasi SDA dan SDM untuk kepentingan perang
d.    Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Jepang karena menghukum keras orang-orang yang menyimpang/menentang dari Jepang.


6.    Sisa Kekejaman Romusha
    Jalur KA Saketi - Bayah (Banten)
    Dibangun             : Februari 1943-Maret 1944
    Operasional         : 1 April 1944-1950-an
    Panjang jalur         : 89 km
    Total pekerja         : 25000-55000 pekerja harian, ditambah berkala
    Death Toll (korban)     : - 500 per bulan / est. 40.000-80.000 jiwa

Jalur kereta api Saketi-Bayah yang terletak di Banten, merupakan salah satu jalur yang mendapat julukan “Death Railway”. Jalur Saketi-Bayah dibangun Jepang mempunyai tujuan untuk mengangkut batubara yang digunakan untuk bahan bakar kereta dan kapal laut dan untuk menghindari kehilangan armada kapal laut Jepang yang mulai terganggu akibat serangan torpedo kapal selam tentara sekutu. Jepang mendapat informasi tentang adanya cadangan batubara di daerah Cikotok dekat Bayah dari arsip peninggalan pemerintah Hindia-Belanda tahun 1900-an. Dalam laporan itu tertulis bahwa cadangan batubara disana mencapai 20 sampai 30 juta ton. Untuk itu, pada Agustus 1942 pemerintah Jepang yang diwakili biro transportasi melakukan penyelidikan bersama dengan pemandu lokal dan empat orang insinyur asal Belanda.
Pembangunan jalur ini dimulai pada Februari 1943, setelah pemerintahan militer Jepang resmi memerintahkan pembangunannya. Namun, dalam perjalanannya pembangunan jalur ini menghadapi beberapa kendala misalnya seperti daerah yang ditutupi dengan hutan lebat, rawa, dan pegunungan penuh dengan hewan buas seperti harimau, buaya, ular berbisa, kalajengking dan juga penuh dengan berbagai macam penyakit. Untuk pembangunan jalur rel dan membuka hutan, banyak digunakan rakyat dari berbagai daerah di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, Jawa Timur, dan dari daerah Banten sendiri.
Tidak ada data yang pasti berapa jumlah romusha yang dipakai untuk membangun jalur ini, namun dalam buku War, Nationalism, and Peasants: Java Under The Japanese Occupation 1942-1945, karya Shigeru Sato, disebutkan bahwa dipekerjakan tidak kurang 25.000 sampai 55.000 buruh romusha harian. Dalam sebulan hampir 500 orang romusha tewas dalam proses pembangunan jalur ini. Pada umunya para romusha tewas karena kelaparan, kurangnya obat-obatan, pekerjaan yang berat diluar batas kemampuan para romusha, dan penyakit seperti Malaria dan Disentri. Romusha yang tewas kemudian dikuburkan dengan cara dikumpulkan dalam satu lubang, di satu lubang kuburan itu terdapat lebih dari sepuluh mayat romusha. Untuk mengganti romusha yang tewas, Jepang kemudian merekrut jumlah romusha yang lebih banyak pada tiap harinya. Cara yang dilakukan Jepang untuk merekrut pekerja baru adalah melakukan propoganda, yaitu Jepang mengundang para pemuda untuk ikut ambil bagian dalam proyek pembangunan jalur kereta api Saketi-Bayah, dan yang ikut akan mendapatkan bayaran 40 sen gulden dan 250 gram beras. Tidak hanya itu Jepang juga bekerja sama dengan kepala desa untuk merekrut tenaga kerja. Selama bekerja membangun jalur kereta api Saketi-Bayah, para romusha tidak jarang juga mendapat penyiksaan dari tentara Jepang. Para romusha itu dipaksa terus bekerja, baik itu membuka hutan atau memasang jalur rel untuk jalannya kereta.
Jumlah romusha yang meninggal dalam pembangunan jalur kereta maut Saketi-Bayah belum diketahui jumlah pastinya. Namun, asal kata Saketi dalam bahasa Sunda berarti 100 ribu banyak yang menganalogikan bahwa 100 ribu itu adalah jumlah romusha yang tewas dalam proyek pembangunan jalur kereta api maut ini. Tan Malaka menyebut dalam memoarnya, sampai akhir masa kependudukan Jepang luas kuburan tempat pemakaman romusha adalah 38 hektar. Untuk mengenang para romusha yang tewas, pemerintah membangun sebuah tugu di sebelah kantor Kecamatan Bayah, namun kondisinya sekarang kurang terawat. Sekarang kuburan ribuan korban romusha di Pantai Pulo Manuk sudah tidak terlihat. Bekas jalur-jalur rel kereta dan stasiun mungkin sudah lama hilang oleh tangan-tangan perusak yang tidak menghargai sejarah. Goa-goa bekas tambang pun sudah sulit dilacak. Namun deburan ombak pantai Pulo Manuk masih menyisakan eksotisme berpadu dengan matahari senja merona cahaya yang tak akan pernah sirna.

Penyusun: Agung Wahyu Ramadhani, S. Pd