Dongson merupakan sal kebudayaan perunggu di Asia Tenggara, Oleh karena itu kebudayaan perunggu di Asia Tenggara disebut dengan kebudayaan Dongson. Kebudayaan perunggu (dongson) sendiri telah dimulai di Vietnam Utara pada tahun 2500 tahun sebelum masehi. Nama Dongson sendiri diambil dari nama situs yang berada di Provinsi Thanh Hoa, di pantai wilayah Annam. Hasil-hasil dari artefak perunggu yang bercirikan ornamen Dongson ditemukan tersebar meluas di hampir seluruh kawasan Asia Tenggara, dari Myanmar hingga kepulauan Kei di Indonesia Timur. Kebudayaan Dongson yang digunakan untuk mewakili kebudayaan perunggu daerah Asia Tenggara, apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya, seperti Thailand, Vietnam memiliki bukti yang lebih awal mengenai pembuatan benda-benda perunggu. Adapun pendukung dan penyebar kebudayaan ini adalah bangsa Melayu Muda (Deutro Melayu) yang datang ke Kepulauan Indonesia sekitar tahun 500 SM.
Kebudayaan Dongson diperkirakan didukung oleh orang-orang yang berlatar sebagai petani, peternakan, dan nelayan. Hasil tanaman yang mereka hasilkan adalah padi. Sementara hasil ternaknya dalah kerbau dan babi, sedangkan dari hasil melaut, mereka menghasilkan ikan dari perairan Laut Cina Selatan. Namun selain melakukan kegiatan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mereka pun menghasilkan benda-benda logam perunggu hasil campuran dari tembaga dan timah. Dari campuran tersebut akan menghasilkan logam yang berwarna hijau, sedikit kehitam-hitaman atau kecoklatan dan teksturnya sangat keras. Benda perunggu yang paling terkenal dari Dongson adalah nekara. bagi daerah-daerah yang terpengaruh kebudayaan Dongson, hampir bisa dipastikan bahwa disitu ditemukan nekara. Selain hasil kebudayaan yang bersifat material, mereka juga mengenal kebudayaan yang bersifat spiritual, seperti kepandaian bercocok tanam, membuat perahu bercadik, astronomi, dan kepercayaan bersifat animisme dan dinamisme.
Penelitian tentang nekara perunggu yang dilakukan oleh F. Heger memperkuat adanya hubungan antara kepulauan Indonesia dengan peradaban di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian Heger tersebut dapat diklasifikasi antara nekara tipe lokal dengan nekara tipe yagn sama dengan yang terdapat di Asia Tenggara. Adanya kesamaan ini bukan berarti bahwa nekara-nekara itu berasal dari Asia Tenggara sebab ada pula nekara-nekara yang dibuat di Indonesia. Hal itu terbukti dengan ditemukannya beberapa cetakan nekara seperti yang ditemukan di Bali. Penelitian terhadap benda-benda budaya tersebut juga sesuai dengan penelitian bahasa yang dilakukan oleh Hekeren pada tahun 1886.
Adapun benda-benda perunggu Dongson yang berhasil ditemukan di Indonesia antara lain kapak, corong, ujung tombak, mata panah, pisau, patung, bejana dan nekara. Benda-benda yang terbuat dari perunggu tersebut menunjukkan bahwa taraf kehidupan manusia telah mengalami kemajuan yang semakin maju karena teknik peleburan logam bukanlah teknik sederhana. Menurut Wagner (1995), benda-benda perunggu yang mempunyai ciri kebudayaan Dongson adalah kaya dengan ornamen. Bahkan, pada beberapa artefak hampir seluruh bagiannya penuh ditutupi ornamen. Hal itu menunjukkan bahwa para pembuatnya, orang-orang Dongson memiliki selera estetika yang tinggi.
Kebudayaan Dongson diperkirakan didukung oleh orang-orang yang berlatar sebagai petani, peternakan, dan nelayan. Hasil tanaman yang mereka hasilkan adalah padi. Sementara hasil ternaknya dalah kerbau dan babi, sedangkan dari hasil melaut, mereka menghasilkan ikan dari perairan Laut Cina Selatan. Namun selain melakukan kegiatan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mereka pun menghasilkan benda-benda logam perunggu hasil campuran dari tembaga dan timah. Dari campuran tersebut akan menghasilkan logam yang berwarna hijau, sedikit kehitam-hitaman atau kecoklatan dan teksturnya sangat keras. Benda perunggu yang paling terkenal dari Dongson adalah nekara. bagi daerah-daerah yang terpengaruh kebudayaan Dongson, hampir bisa dipastikan bahwa disitu ditemukan nekara. Selain hasil kebudayaan yang bersifat material, mereka juga mengenal kebudayaan yang bersifat spiritual, seperti kepandaian bercocok tanam, membuat perahu bercadik, astronomi, dan kepercayaan bersifat animisme dan dinamisme.
Penelitian tentang nekara perunggu yang dilakukan oleh F. Heger memperkuat adanya hubungan antara kepulauan Indonesia dengan peradaban di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian Heger tersebut dapat diklasifikasi antara nekara tipe lokal dengan nekara tipe yagn sama dengan yang terdapat di Asia Tenggara. Adanya kesamaan ini bukan berarti bahwa nekara-nekara itu berasal dari Asia Tenggara sebab ada pula nekara-nekara yang dibuat di Indonesia. Hal itu terbukti dengan ditemukannya beberapa cetakan nekara seperti yang ditemukan di Bali. Penelitian terhadap benda-benda budaya tersebut juga sesuai dengan penelitian bahasa yang dilakukan oleh Hekeren pada tahun 1886.
Adapun benda-benda perunggu Dongson yang berhasil ditemukan di Indonesia antara lain kapak, corong, ujung tombak, mata panah, pisau, patung, bejana dan nekara. Benda-benda yang terbuat dari perunggu tersebut menunjukkan bahwa taraf kehidupan manusia telah mengalami kemajuan yang semakin maju karena teknik peleburan logam bukanlah teknik sederhana. Menurut Wagner (1995), benda-benda perunggu yang mempunyai ciri kebudayaan Dongson adalah kaya dengan ornamen. Bahkan, pada beberapa artefak hampir seluruh bagiannya penuh ditutupi ornamen. Hal itu menunjukkan bahwa para pembuatnya, orang-orang Dongson memiliki selera estetika yang tinggi.
Nekara-nekara yang berhasil ditemukan di Indonesia tidak kurang dari 56 buah yang tersebar di seluruh Nusantara.Untuk motifnya pun beraneka ragam. Misalnya, nekara yang ditemukan di Pulau Sangeang memuat motif hiasan bergambar dengan orang berseragam pada masa Dinasti Han. Sementara itu, nekara dari pulau Selayar, Sulawesi Selatan, menampilkan motif gambar gajah, dan dari kepulauan Kei bermotif gambar kijang dan macan.
Sumber:
Farid, Samsul dan Taufan Harimurti. 2016. Sejarah Untuk Siswa SMA/MA Kelas X Kelompok Peminatan Ilmu-ilmu Sosial. Bandung: Yrama Widya
Hermawan, dkk. 2016. Sejarah 1 Peminatan Ilmu-ilmu Sosial. Bogor: Yudistira