Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam yang besar karena kemampuannya mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya menentang hegemoni bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuan menjalin diplomatik dengan negara lain. Sumber sejarah tentang kerajaan ini adalah kitab Bustanussalatin karya Nuruddin ar-Raniry tahun 1637 yang berisi tentang silsilah keturunan kesultanan Aceh dan batu nisan dari makam Sultan Ali Mughayat Syah yang wafat pada 12 dzulhijah tahun 936 Hijriyah atau atau 7 Agustus 1530 Masehi.
Kerajaan Aceh Darussalam terletak di Aceh Rayeuk (Aceh Besar) yang didirikan pada tahun 1507 di atas bekas wilayah kerajaan Lamuri dari hasil penaklukkan oleh Ali Mughayat Syah sendiri. Selanjutnya dalam usaha perluasan hegemoni kekuasaan maka Kerajaan Aceh melakukan ekspansi ke daerah kerajaan Pedir (Pidie) dan kesultanan-kesultanan lain yang berada di wilayah Aceh secara umumnya.
Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam yang besar karena kemampuannya mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya menentang hegemoni bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuan menjalin diplomatik dengan negara lain. Sumber sejarah tentang kerajaan ini adalah kitab Bustanussalatin karya Nuruddin ar-Raniry tahun 1637 yang berisi tentang silsilah keturunan kesultanan Aceh dan batu nisan dari makam Sultan Ali Mughayat Syah yang wafat pada 12 dzulhijah tahun 936 Hijriyah atau atau 7 Agustus 1530 Masehi. Kerajaan Aceh Darussalam terletak di Aceh Rayeuk (Aceh Besar) yang didirikan pada tahun 1507 di atas bekas wilayah kerajaan Lamuri dari hasil penaklukkan oleh Ali Mughayat Syah sendiri. Selanjutnya dalam usaha perluasan hegemoni kekuasaan maka Kerajaan Aceh melakukan ekspansi ke daerah kerajaan Pedir (Pidie) dan kesultanan-kesultanan lain yang berada di wilayah Aceh secara umumnya. Pada masa kekuasaan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 yang pada saat itu merupakan salah satu bandar dagang terbesar dunia, maka para pedagang muslim yang mayoritas berasal dari semenanjung Arab mengalihkan kegiatan perdagangan mereka ke Aceh. Sejak saat itu kesultanan aceh mengalami kemajuan yang cukup pesat di bidang ekonomi dan maritim hingga pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636 dimana pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Aceh terkenal dengan armada laut yang sangat kuat dan terlatih dan memiliki kapal-kapal besar yang mampu mengangkut 600 hingga 700 orang prajurit. Selain armada laut yang kuat, yang tak kalah penting juga ialah Kesultanan Aceh juga memiliki pasukan darat yang telah menggunakan kuda-kuda yang didatangkan dari Persia, satuan gajah, artileri, dan pasukan infanteri sehingga dengan kedua kekuatan perang ini Kesultanan Aceh berhasil memperluas daerah kekuasan dengan menaklukkan beberapa kerajaan seperti Deli (1612), Aru (1613), hingga Johor. Pada tahun 1914 Masehi, pasukan Aceh di bawah perintah Sultan Iskandar Muda mampu mengalahkan pasukan Portugis di Bintan, pada 1617 Masehi berhasil menduduki Pahang, pada 1920 Masehi mengalahkan Kedah, dan berhasil menguasai Nias pada 1624-1625 Masehi sehingga Kesultanan Aceh dapat menguasai Bandar Dagang Malaka beberapa tahun sepenuhnya. Keberhasilan mengalahkan Portugis itu tentu ditunjang juga oleh semangat Jihad Fisabilillah yang ada pada setiap hati nurani prajurit Kesultanan Aceh yang memang menentang keras adanya penindasan dan penguasaan orang kristen Katolik Portugis terhadap kerajaan-kerajaan Islam di yang berada di sekitar Malaka. Dimana juga diketahui bersama bahwa Portugis juga selain melakukan monopoli perdagangan atas rempah di daerah kekuasaannya memiliki semangat Gospel yakni menyebarkan agama Katolik di daerah yang dikuasainya. Dengan demikian, sebagai salah satu kerajaan yang berdiri di atas pondasi Islam, sudah menjadi kewajiban Kesultanan aceh untuk membatasi bahkan menumpas praktek-praktek penjajahan yang dilakukan bangsa Portugis di Malaka. Sultan Iskandar Muda sebagai sultan yang mampu membawa Kesultanan Aceh mengalami puncak kejayaan juga memiliki hubungan erat dengan berbagai kesultanan Islam dunia. Sultan Iskandar muda dikenal sebagai sosok yang piawai menjalin kerjasama diplomatik dengan Kesultanan Islam seperti Turki Usmani. Selain itu Sultan Iskandar Muda dalam sebuah transkrip kuno juga dijelaskan pernah melakukan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan di Eropa seperti Inggris, Belanda (bukan VOC), dan Perancis di masa kekuasaannya. Bahkan pada saat negara Belanda memerlukan pengakuan sebagai negara merdeka dari Belgia, Kesultanan Aceh pernah mengirim sebuah surat kepada ratu Belanda dimana Kesultanan Aceh mengakui dan mendukung negara Belanda untuk merdeka. Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, kejayaan Kesultanan Aceh lambat laun mengalami kemunduran. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perebutan kekuasaan di dalam istana, serta adanya hubungan kurang menyenangkan antara golongan ulama (tengku) dan golongan bangsawan (teuku). Kerajaan Aceh benar-benar runtuh ketika Sultan terakhir bernama Sultan Muhammad Daud Syah ditangkap oleh Belanda sekitar awal 1900 an, namun semangat jidah menentang kolonialisme terus ada di antara hati rakyat Aceh hingga Belanda sampai tahun 1942 tidak pernah berhasil dalam usaha menjajah Aceh. Pada masa kekuasaan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 yang pada saat itu merupakan salah satu bandar dagang terbesar dunia, maka para pedagang muslim yang mayoritas berasal dari semenanjung Arab mengalihkan kegiatan perdagangan mereka ke Aceh. Sejak saat itu kesultanan aceh mengalami kemajuan yang cukup pesat di bidang ekonomi dan maritim hingga pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636 dimana pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Aceh terkenal dengan armada laut yang sangat kuat dan terlatih dan memiliki kapal-kapal besar yang mampu mengangkut 600 hingga 700 orang prajurit. Selain armada laut yang kuat, yang tak kalah penting juga ialah Kesultanan Aceh juga memiliki pasukan darat yang telah menggunakan kuda-kuda yang didatangkan dari Persia, satuan gajah, artileri, dan pasukan infanteri sehingga dengan kedua kekuatan perang ini Kesultanan Aceh berhasil memperluas daerah kekuasan dengan menaklukkan beberapa kerajaan seperti Deli (1612), Aru (1613), hingga Johor. Pada tahun 1914 Masehi, pasukan Aceh di bawah perintah Sultan Iskandar Muda mampu mengalahkan pasukan Portugis di Bintan, pada 1617 Masehi berhasil menduduki Pahang, pada 1920 Masehi mengalahkan Kedah, dan berhasil menguasai Nias pada 1624-1625 Masehi sehingga Kesultanan Aceh dapat menguasai Bandar Dagang Malaka beberapa tahun sepenuhnya.
Keberhasilan mengalahkan Portugis itu tentu ditunjang juga oleh semangat Jihad Fisabilillah yang ada pada setiap hati nurani prajurit Kesultanan Aceh yang memang menentang keras adanya penindasan dan penguasaan orang kristen Katolik Portugis terhadap kerajaan-kerajaan Islam di yang berada di sekitar Malaka. Dimana juga diketahui bersama bahwa Portugis juga selain melakukan monopoli perdagangan atas rempah di daerah kekuasaannya memiliki semangat Gospel yakni menyebarkan agama Katolik di daerah yang dikuasainya. Dengan demikian, sebagai salah satu kerajaan yang berdiri di atas pondasi Islam, sudah menjadi kewajiban Kesultanan aceh untuk membatasi bahkan menumpas praktek-praktek penjajahan yang dilakukan bangsa Portugis di Malaka.
Sultan Iskandar Muda sebagai sultan yang mampu membawa Kesultanan Aceh mengalami puncak kejayaan juga memiliki hubungan erat dengan berbagai kesultanan Islam dunia. Sultan Iskandar muda dikenal sebagai sosok yang piawai menjalin kerjasama diplomatik dengan Kesultanan Islam seperti Turki Usmani. Selain itu Sultan Iskandar Muda dalam sebuah transkrip kuno juga dijelaskan pernah melakukan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan di Eropa seperti Inggris, Belanda (bukan VOC), dan Perancis di masa kekuasaannya. Bahkan pada saat negara Belanda memerlukan pengakuan sebagai negara merdeka dari Belgia, Kesultanan Aceh pernah mengirim sebuah surat kepada ratu Belanda dimana Kesultanan Aceh mengakui dan mendukung negara Belanda untuk merdeka.
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, kejayaan Kesultanan Aceh lambat laun mengalami kemunduran. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perebutan kekuasaan di dalam istana, serta adanya hubungan kurang menyenangkan antara golongan ulama (tengku) dan golongan bangsawan (teuku). Kerajaan Aceh benar-benar runtuh ketika Sultan terakhir bernama Sultan Muhammad Daud Syah ditangkap oleh Belanda sekitar awal 1900 an, namun semangat jidah menentang kolonialisme terus ada di antara hati rakyat Aceh hingga Belanda sampai tahun 1942 tidak pernah berhasil dalam usaha menjajah Aceh.
Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam yang besar karena kemampuannya mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya menentang hegemoni bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuan menjalin diplomatik dengan negara lain. Sumber sejarah tentang kerajaan ini adalah kitab Bustanussalatin karya Nuruddin ar-Raniry tahun 1637 yang berisi tentang silsilah keturunan kesultanan Aceh dan batu nisan dari makam Sultan Ali Mughayat Syah yang wafat pada 12 dzulhijah tahun 936 Hijriyah atau atau 7 Agustus 1530 Masehi. Kerajaan Aceh Darussalam terletak di Aceh Rayeuk (Aceh Besar) yang didirikan pada tahun 1507 di atas bekas wilayah kerajaan Lamuri dari hasil penaklukkan oleh Ali Mughayat Syah sendiri. Selanjutnya dalam usaha perluasan hegemoni kekuasaan maka Kerajaan Aceh melakukan ekspansi ke daerah kerajaan Pedir (Pidie) dan kesultanan-kesultanan lain yang berada di wilayah Aceh secara umumnya. Pada masa kekuasaan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 yang pada saat itu merupakan salah satu bandar dagang terbesar dunia, maka para pedagang muslim yang mayoritas berasal dari semenanjung Arab mengalihkan kegiatan perdagangan mereka ke Aceh. Sejak saat itu kesultanan aceh mengalami kemajuan yang cukup pesat di bidang ekonomi dan maritim hingga pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636 dimana pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Aceh terkenal dengan armada laut yang sangat kuat dan terlatih dan memiliki kapal-kapal besar yang mampu mengangkut 600 hingga 700 orang prajurit. Selain armada laut yang kuat, yang tak kalah penting juga ialah Kesultanan Aceh juga memiliki pasukan darat yang telah menggunakan kuda-kuda yang didatangkan dari Persia, satuan gajah, artileri, dan pasukan infanteri sehingga dengan kedua kekuatan perang ini Kesultanan Aceh berhasil memperluas daerah kekuasan dengan menaklukkan beberapa kerajaan seperti Deli (1612), Aru (1613), hingga Johor. Pada tahun 1914 Masehi, pasukan Aceh di bawah perintah Sultan Iskandar Muda mampu mengalahkan pasukan Portugis di Bintan, pada 1617 Masehi berhasil menduduki Pahang, pada 1920 Masehi mengalahkan Kedah, dan berhasil menguasai Nias pada 1624-1625 Masehi sehingga Kesultanan Aceh dapat menguasai Bandar Dagang Malaka beberapa tahun sepenuhnya. Keberhasilan mengalahkan Portugis itu tentu ditunjang juga oleh semangat Jihad Fisabilillah yang ada pada setiap hati nurani prajurit Kesultanan Aceh yang memang menentang keras adanya penindasan dan penguasaan orang kristen Katolik Portugis terhadap kerajaan-kerajaan Islam di yang berada di sekitar Malaka. Dimana juga diketahui bersama bahwa Portugis juga selain melakukan monopoli perdagangan atas rempah di daerah kekuasaannya memiliki semangat Gospel yakni menyebarkan agama Katolik di daerah yang dikuasainya. Dengan demikian, sebagai salah satu kerajaan yang berdiri di atas pondasi Islam, sudah menjadi kewajiban Kesultanan aceh untuk membatasi bahkan menumpas praktek-praktek penjajahan yang dilakukan bangsa Portugis di Malaka. Sultan Iskandar Muda sebagai sultan yang mampu membawa Kesultanan Aceh mengalami puncak kejayaan juga memiliki hubungan erat dengan berbagai kesultanan Islam dunia. Sultan Iskandar muda dikenal sebagai sosok yang piawai menjalin kerjasama diplomatik dengan Kesultanan Islam seperti Turki Usmani. Selain itu Sultan Iskandar Muda dalam sebuah transkrip kuno juga dijelaskan pernah melakukan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan di Eropa seperti Inggris, Belanda (bukan VOC), dan Perancis di masa kekuasaannya. Bahkan pada saat negara Belanda memerlukan pengakuan sebagai negara merdeka dari Belgia, Kesultanan Aceh pernah mengirim sebuah surat kepada ratu Belanda dimana Kesultanan Aceh mengakui dan mendukung negara Belanda untuk merdeka. Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, kejayaan Kesultanan Aceh lambat laun mengalami kemunduran. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perebutan kekuasaan di dalam istana, serta adanya hubungan kurang menyenangkan antara golongan ulama (tengku) dan golongan bangsawan (teuku). Kerajaan Aceh benar-benar runtuh ketika Sultan terakhir bernama Sultan Muhammad Daud Syah ditangkap oleh Belanda sekitar awal 1900 an, namun semangat jidah menentang kolonialisme terus ada di antara hati rakyat Aceh hingga Belanda sampai tahun 1942 tidak pernah berhasil dalam usaha menjajah Aceh. Pada masa kekuasaan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 yang pada saat itu merupakan salah satu bandar dagang terbesar dunia, maka para pedagang muslim yang mayoritas berasal dari semenanjung Arab mengalihkan kegiatan perdagangan mereka ke Aceh. Sejak saat itu kesultanan aceh mengalami kemajuan yang cukup pesat di bidang ekonomi dan maritim hingga pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636 dimana pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Aceh terkenal dengan armada laut yang sangat kuat dan terlatih dan memiliki kapal-kapal besar yang mampu mengangkut 600 hingga 700 orang prajurit. Selain armada laut yang kuat, yang tak kalah penting juga ialah Kesultanan Aceh juga memiliki pasukan darat yang telah menggunakan kuda-kuda yang didatangkan dari Persia, satuan gajah, artileri, dan pasukan infanteri sehingga dengan kedua kekuatan perang ini Kesultanan Aceh berhasil memperluas daerah kekuasan dengan menaklukkan beberapa kerajaan seperti Deli (1612), Aru (1613), hingga Johor. Pada tahun 1914 Masehi, pasukan Aceh di bawah perintah Sultan Iskandar Muda mampu mengalahkan pasukan Portugis di Bintan, pada 1617 Masehi berhasil menduduki Pahang, pada 1920 Masehi mengalahkan Kedah, dan berhasil menguasai Nias pada 1624-1625 Masehi sehingga Kesultanan Aceh dapat menguasai Bandar Dagang Malaka beberapa tahun sepenuhnya.
Keberhasilan mengalahkan Portugis itu tentu ditunjang juga oleh semangat Jihad Fisabilillah yang ada pada setiap hati nurani prajurit Kesultanan Aceh yang memang menentang keras adanya penindasan dan penguasaan orang kristen Katolik Portugis terhadap kerajaan-kerajaan Islam di yang berada di sekitar Malaka. Dimana juga diketahui bersama bahwa Portugis juga selain melakukan monopoli perdagangan atas rempah di daerah kekuasaannya memiliki semangat Gospel yakni menyebarkan agama Katolik di daerah yang dikuasainya. Dengan demikian, sebagai salah satu kerajaan yang berdiri di atas pondasi Islam, sudah menjadi kewajiban Kesultanan aceh untuk membatasi bahkan menumpas praktek-praktek penjajahan yang dilakukan bangsa Portugis di Malaka.
Sultan Iskandar Muda sebagai sultan yang mampu membawa Kesultanan Aceh mengalami puncak kejayaan juga memiliki hubungan erat dengan berbagai kesultanan Islam dunia. Sultan Iskandar muda dikenal sebagai sosok yang piawai menjalin kerjasama diplomatik dengan Kesultanan Islam seperti Turki Usmani. Selain itu Sultan Iskandar Muda dalam sebuah transkrip kuno juga dijelaskan pernah melakukan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan di Eropa seperti Inggris, Belanda (bukan VOC), dan Perancis di masa kekuasaannya. Bahkan pada saat negara Belanda memerlukan pengakuan sebagai negara merdeka dari Belgia, Kesultanan Aceh pernah mengirim sebuah surat kepada ratu Belanda dimana Kesultanan Aceh mengakui dan mendukung negara Belanda untuk merdeka.
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, kejayaan Kesultanan Aceh lambat laun mengalami kemunduran. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perebutan kekuasaan di dalam istana, serta adanya hubungan kurang menyenangkan antara golongan ulama (tengku) dan golongan bangsawan (teuku). Kerajaan Aceh benar-benar runtuh ketika Sultan terakhir bernama Sultan Muhammad Daud Syah ditangkap oleh Belanda sekitar awal 1900 an, namun semangat jidah menentang kolonialisme terus ada di antara hati rakyat Aceh hingga Belanda sampai tahun 1942 tidak pernah berhasil dalam usaha menjajah Aceh.