-->

Kerajaan Sriwijaya (Maritim Nusantara)

Sejarah Terbentuknya Kerajaan Sriwijaya sehingga menjadi sebuah kerajaan bercorak maritim di Nusantara.
Sriwijaya adalah nama kerajaan bercorak Buddha yang berdiri pada abad VII. Salah satu kemaharajaan maritim yang pernah berdiri di Pulau Sumatera ini memiliki wilayah kekuasaan yang membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan Pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanksekerta, sri berarti bercahaya atau gemilang, dan wijaya berarti kemenangan yang gilang-gemilang, maka nama Sriwijaya bermakna kemenangan yang gilang-gemilang.
Meskipun pusat kekuasaannya masih kontroversial, tetapi berdasarkan bukti-bukti yang ada dari Prasasti Kedukan Bukit, lokasi wanua atau kota Sriwijaya yang dipilih oleh Dapunta Hyang berada di tempat yang strategis, yaitu daerah sekitar pertemuan sungai Musi dengan Kramasan dan Ogan. Lokasi kota Sriwijaya terletak di Meander sebelah utara sungai Musi. Melalui tempat ini dapat diawasi lalu lintas perdagangan dari dan menuju daerah pedalaman.
Sriwijaya didirikan pertama kali pada abad ke-7 dengan raja pertama bernama Dapunta Hyang. Bukti fisik ini bisa dilihat dari kronik berita Cina yang memberitahukan bahwa pada tahun 682 Masehi atau pada abad ke-6 ada seorang pendeta Buddha dari Tiongkok yang ingin memperdalam agamanya di tanah India. Sebelum keberangkatan resminya, ia harus sudah menguasai bahasa Sanksekerta, karena itulah pendeta bernama I-tsing tersebut mempelajarinya dulu selama setengah tahun di Sriwijaya. Kronik ini sekaligus memberi sisnyal bahwa ternyata pada zaman dulu, Sriwijaya sudah menjadi pusat keagamaan yang mumpuni di kawasan Asia Tenggara. Bahkan I-Tsing juga berhasil menerjemahkan kitab-kitab agama Buddha ke bahasa nenek moyangnya setelah mempelajari secara mendalam agama Buddha di Sriwijaya.
Adapun bukti lain mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya dapat dilihat dari sejumlah prasasri yang ditemukan di daerah Palembang, Karangbrahi (Jambi), Kota Kapur (Bangka), dan Lampung yang berasal dari masa sekitar pertengahan abad ke-7, Prasasti-Prasasti ini memberitakan kehadiran sebuah kerajaan bernama Sriwijaya. Prasasti-Prasasti tersebut ditulis dengan aksara Palawa dan berbahasa Malayu Kuno. Salah satu Prasasti tersebut yang ditemukan di Kedukan Bukit, Palembang, menyebutkan tentang  perjalanan untuk mencapai kemenangan (mangalap siddhayatra) yang dilakukan oleh Dapunta Hyang dengan berperahu pada tanggal 11 paro-terang (suklapaksa) bulan Waisaka, tahun 604 Saka (= 23 April 682). Pada tanggal 7 paro-terang bulan Jyestha (= 19 Mei 682) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa dua laksa dan 200 peti perbekalan dengan perahu, dan 1312 tentara berjalan darat, datang di suatu tempat bernama Mukha-Upang. Pada tanggal 5 paro-terang bulan Asadha (= 16 Juni 682) sampailah di suatu tempat membuat kota (wanua). Kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan dan perjalanannya berhasil.
Berdasarkan isinya Prasasti Kedukan Bukit memperingati usaha penaklukan daerah  sekitar  Palembang dan  pendirian  sebuah  ibukota  baru  Sriwijaya  oleh Dapunta Hyang. Prasasti-Prasasti Sriwijaya yang lain umumnya merupakan Prasasti permakluman tentang kemenangan Sriwijaya atas daerah-daerah di bagian selatan Sumatra yang ditaklukkannya. Hampir semua Prasasti tersebut diahiri dengan kutukan-kutukan dan persumpahan bagi siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah raja. Mengenai tempat asal Sriwijaya terdapat beberapa penafsiran yang dikemukakan oleh para ahli. Sebagian di antaranya berpendapat bahwa Kerajaan Sriwijaya berasal dari Minanga di daerah Minangkabau, yaitu di dekat daerah pertemuan  antara  sungai  Kampar  Kiri  dan  sungai  Kampar  Kanan.  Dari  tempat asalnya itu kemudian Sriwijaya mengadakan penaklukan ke daerah selatan dan akhirnya mendirikan ibukota baru di daerah Palembang.
Prasasti Sriwijaya    yang berupa fragmen dan     Prasasti-Prasasti pendek, umumnya berisi keterangan tentang perjalanan kemenangan (jaya siddhayatra) dan peperangan  serta  keterangan  mengenai  ajaran  agama  Buddha  Mahayana  dan beberapa   sekte   agama   Buddha.   Sebuah   fragmen   Prasasti   yang   berasal   dari Telagabatu, dekat Palembang menyebutkan pula pendirian sebuah wihara.
Beralihnya pusat kekuasaan  Sriwijaya ke daerah pantai timur Sumatra bagian selatan itu agaknya berkaitan dengan penguasaan daerah perdagangan dan jalur pelayaran melalui Selat Malaka dan Selat Bangka. Prasasti Ligor, Malaysia, yang berangka tahun 775 menyebutkan seorang raja Sriwijaya bernama Wisnu, dan pendirian sebuah bangunan suci untuk pemujaan Padmapatni, Sakyamuni dan Wajrapani. Di Nalanda ditemukan pula sebuah Prasasti dari pertengahan abad ke-9 yang isinya menyebutkan tentang pendirian sebuah wihara oleh Balaputradewa raja dari Suwarnabhumi (Sriwijaya). Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Dewapaladewa.
Berita-berita Tionghoa dari abad ke-11 masih menunjukkan peranan Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat penyiaran agama Buddha. Raja Sriwijaya pada waktu itu ialah Sri Culamaniwarman, mengadakan persahabatan dengan kerajaan Cola. Dalam Prasasti  Leiden  dari  tahun  1005/1006  disebutkan  raja  Culamaniwarman  dari Sriwijaya mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha di Nagapattinam dengan bantuan raja Cola, Rajaraja I. Bangunan ini dinamakan Culamaniwarmawihara. Hubungan dengan Cola ini kemudian terputus karena pada tahun 1017 Rajendracoladewa mengadakan penyerangan ke Sriwijaya. Penyerangan dari Cola ke Sriwijaya ini terjadi lagi pada tahun 1025 seperti disebutkan dalam Prasasti Tanjore dari Rajendracola tahun 1030. Dalam penyerangan kedua ini raja Sriwijaya Sri Sanggramawijayottunggawarman ditawan oleh bala tentara Cola.
Dalam sejarah Dinasti Sung disebutkan bahwa pada tahun 1028 datang utusan dari Sriwijaya. Utusan dari Sriwijaya yang tercatat dalam sejarah dinasti Sung yang terakhir ialah pada tahun 1178. Untuk beberapa lamanya tidak ada catatan tentang utusan Sriwijaya dalam kitab-kitab sejarah Tiongkok. Sekitar permulaan abad ke-13 Sriwijaya (San-fo-tsi) muncul kembali sebagai kerajaan yang kuat dan berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelayaran. Namun berita Tionghoa dari jaman dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1376 kerajaan San-bo-tsai (San-fo-tsi) ditaklukkan oleh kerajaan Jawa dan akhirnya runtuh. Dengan keruntuhannya ini daerah-daerah yang tadinya berada dalam kekuasaan Sriwijaya melepaskan diri.

Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Jalur perdagangan maritim nusantara pada masa Kerajaan Sriwijaya meliputi Jawa, Sumatera, semenanjung Malaya (Melayu), Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Hubungan dengan India pun berjalan dengan baik terutama dengan Benggala (Buddha), Sriwijaya banyak mengirimkan orang-orangnya untuk mempelajari Buddha di Nalanda. Namun, beberapa sumber Tiongkok menyebutkan bahwa Sriwijaya juga memiliki perguruan tinggi agam Buddha yang cukup baik. I-Tsing dalam kitabnya yang ditulis tahun 688-695 dengan judul Ta Ta’ang si-yu-ku-fa-kao-sheng-chuan menyebutkan di Sriwijaya terdapat seribu orang biksu yang meneliti dan mempelajari ilmu di Sriwijaya. Kondisi tersebut disamakan dengan kondisi di Madyadhesa di India. Para biksu yang menempuh pendidikan di Sriwijaya terlebih dahulu selama tiga bulan, lalu pergi ke India. Tidak jarang para biksu menggunakan perahu-perahu Sriwijaya untuk menempuh perjalanan ke India.
Sebuah Prasasti yang dinamai Kedukan Bukit memiliki angka tahun 683 Masehi disebutkan bahwa Sriwijaya pada saat itu dipimpin oleh seorang raja bernama Dapunta Hyang yang sedang berusaha memperluas wilayah. Ia menyiapkan bala tentara sampai berjumlah 20.000 orang. Penaklukan ini membuahkan hasil setelah 8 hari bertempur di medan perang. Pada akhirnya beberapa wilayah yang kekuatan militernya tak sebanding menyerahkan upeti ke Sriwijaya sebagai tanda takluk.
Selanjutnya dalam Prasasti Kota Kapur menyebutkan bahwa setelah Dapunta Hyang berhasil menang bersama 20.000 pasukannya, ia berkeinginan untuk meneruskan ekspedisinya ke Jawa. Prasasti yang berangka tahun 686 Masehi tersebut menjadi bukti bahwa Sriwijaya berhasil menaklukkan jawa yang pada masa itu dikuasai oleh Tarumanegara.
Pada tahun 860 berdasarkan Prasasti Nalanda menyeret nama Sriwijaya sebagai kerajaan internasional yang sangat peduli dengan pendidikan. Masa keemasan ini semakin meningkatkan pamor Balaputradewa yang saat itu menjadi raja Sriwijaya. Dalam Prasasti tersebut, Balaputradewa disebutkan mendirikan asrama pelajar dan mahasiswa yang diperuntukkan bagi anak dari Sriwijaya yang sedang menuntut ilmu di Nalanda, India. Tempat tersebut telah menghasilkan banyak para pendeta yang dapat mengayomi orang banyak. Padazaman itu, India dan Benggala merupakan daerah yang dipimpin oleh raja Dawapaladewa.
Balaputradewa yang berhasil membawa Sriwijaya mencapai puncak kejayaan itu sebenarnya adalah anak dari raja Samaratungga. Seorang keturunan Dinasti Syailendra dari bumi Jawa yang memberikan peninggalan berupa Candi Borobudur kepada anak cucunya. Di masa pemerintahan Balaputradewa ini agama Buddha bernar-benar menunjukkan progresnya. Ada banyak orang yang bermaksud menjadi murid spiritual seorang biksu bersar bernama Dharmakirti.

Faktor keruntuhan Kerajaan Sriwijaya.
Sekitar abad X-XI Masehi, Kerajaan Sriwijaya mendapat serangan dari raja Dharmawangsa dari Kahuripan yang ingin melakukan perluasan wilayah dan ingin menguasai perdagangan di Selat Malaka. Serangan dari Dharmawangsa ini dapat diatasi, namun ada serangan yang berasal dari kerajaan Cholamandala sebanyak dua kali yaitu tahun 1007 Masehi dan 1023 Masehi yang menentukan akhir dari Kerajaan Sriwijaya. Hal ini bisa dibuktikan dengan Prasasti Tanjore, yang menyebutkan alasan penyerangan yang disebabkan oleh adanya persaingan kekuasaan di Selat Malaka. Selain itu ada beberapa faktor lain penyebab keruntuhan Kerajaan Sriwijaya, diantaranya:
1.    Serangan kerajaan Medang Kamulan, Jawa Timur, di bawah perintah raja Dharmawangsa pada 990 Masehi yang pada saat itu Sriwijaya diperintah oleh Raja Sudamaniwarwadesa yang dapat melemahkan Sriwijaya.
2.    Negara-negara yang pernah ditaklukkan, seperti Ligor, Tanah Genting, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Sunda, satu persatu melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya.
3.    Terdesak oleh kerajaan Thailand yang mengembangkan kekuasaannya sampai Semenanjung Malaya.
4.    Serangan dari Majapahit pada 1477 Masehi dan berhasil menaklukkan Sriwijaya. Sejakitu, berakhirlah kekuasaan Sriwijaya.
5.    Adanya ekspedisi Pamalayu dari kerajaan Singosari.
6.    Banyak kerajaan kecil yang mepaskan diri dari pengaruh Sriwijaya.
7.    Faktor alam yaitu adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya sehingga kapal-kapal dagang yang tiba ke Sriwijaya berkurang dimana dapat melemahkan perekonomian kerajaan Sriwijaya.

Sistem Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya.
Masyarakat Sriwijaya yang sangat majemuk dan mengenal stratifikasi sosial membentuk satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya yang dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang Kedatuan, vanua, samaryyada dan Bhumi. Kedatuan dapat bermakna kawasan datu (tanah rumah) yang merupakan tempat tinggal bini haji yang merupakan tempat menyimpan emas dan hasil cukai (Drawy) yang merupakan kawasan yang mesti dijaga. Kedatuan dikelilingi oleh Vanua yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat Vihara untuk tempat beribadah. Selanjutnya Samariyyada merupakan kawasan yang berbatasan dengan Vanua yang terhubung dengan jalan khusus yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan Mandala merupakan suatu kawasan otonom dari Bhumi yang berada dala pengaruh kekuasaan kedatuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut Dapunta Hyang atau Maharaja dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan Yuvaraja (Putra Mahkota), Pratiyuvaraja (Putra Mahkota Kedua) dan Rajakumara (pewaris berikutnya). Menurut Prasasti Telaga Batu, selain menceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya, antara lain Raja Putra (putra raja yang keempat), Bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja), Kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), Puwaham (nahkoda kapal), Waniyaga (pedagang), Pratisra (pemimpin kelompok kerja), Marsi Haji (tukang cuci), dan Hulun Haji (budak raja).

Kehidupan Sosial Pada Masa Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya yang bercorak maritim dan tersohor sebagai pengembang agama Buddha, mendirikan sangga (kelompok belajar) untuk memperdalam Buddhisme dengan cara menyiapkan banyak guru spiritual Buddha. Guru agama Buddha yang paling tersohor yaitu Sakyakirti. Fakta yang mengejutkan ditemukan di daerah-daerah dekat Palembang yang menjadi titik pusat pemerintahan Sriwijaya dimana diduga ada candi yang lebih besar dari Borobudur pernah diciptakan oleh kerajaan ini. Namun sampai saat ini hanya arcanya saja yang ditemukan.
Pengunjung yang datang ke Sriwijaya menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha juga turut berkembang, hal ini tentu membuktikan bahwa pengaruh India mengambil andil yang cukup berpengaruh di Sriwijaya. Penguasaan terhadap daerah-daerah oleh Sriwijaya dari abad ke 7 hingga ke 9 Masehi secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap perkembangan bahasa Melayu dan kebudayaan di Nusantara.

Sistem Perekonomian Pada Masa Kerajaan Sriwijaya
Pada masa nya, kerajaan Siriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara india dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti Kapur Barus, Kayu Gaharu, Cengkeh, Pala, Kapulaga, Gading, Emas, dan Timah yang membuat raja sekaya dengan raja di India. Kekayaan yang melimpah ini memungkinkan Sriwijaya untuk membeli kesetiaan dari Vassal nya di seluruh Asia Tenggara, dengan berperan sebagai pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari kaisar china untuk dapat berdagang bahari dan menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan dengan menjaga dominasi perdagangannya dengan cara selalu mengawasi dan memerangi pelabuhan yang dapat menjadi pesaing di negara jirannya. Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan Tanah Arab. Sistem pajak juga diterapkan oleh Sriwijaya dimana pernah dicatat bahwa raja Sriwijaya pernah meminta 20.000 dinar sebelum memberikan izin kepada kapal dagang arab dan Persia untuk melanjutkan pelayaran ke Tiongkok.

Kebudayaan Pada Masa Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya meninggalkan beberapa prasasti seperti:
1.    Prasasti Ligor (Thailand selatan).
2.    Prasasti Palas Pasemah (Lampung Selatan).
3.    Prasasti Hujung Langit (Lampung).
4.    Prasasti Kota Kapur (Pulau Bangka).
5.    Prasasti Telaga Batu (Palembang).
6.    Prasasti Kedukan Bukit (Palembang).
7.    Prasasti talang Tuwo (Palembang).
8.    Prasasti Karang Berahi (Jambi).
9.    Prasasti Leiden (Belanda).

Pengaruh Kehidupan Sriwijaya Yang Masih Ada Pada Masa Kini
Adapun pengaruh dari kerajaan Sriwijaya yang bisa dijumpai pada masa kini antara lain:
1.    Sistem bea cukai


Sumber:
Hapsari, Ratna dan M. Adil. 2016. Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Peminatan. Jakarta: Erlangga

Purwoko, Sugeng. Dkk. _. Sejarah Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial Untuk SMA/MA Kelas XI Semester Gasal (Modul Pendamping). Semarang: MGMP Sejarah Kota Semarang