Pengertian dan Budaya Maritim
Kata Maritim berasal dari bahasa Latin, yaitu Maritimus/mare yang artinya laut. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maritim memiliki arti berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan laut. Sejarah mencatat bahwa sejak masa praaksara, masyarakat Nusantara telah memiliki kemampuan berlayar dengan menggunakan perahu bercadik. Hal ini dibuktikan dengan adanya lukisan praaksara berupa gambar sampan di dinding gua yang ada di Pulau Kei Kecil (Ohoidertawun), Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku.
Para penutur budaya Austronesia (masyarakat paraaksara Nusantara) memang dikenal dengan kemampuan berlayarnya. Teknologi pelayaran memang sudah dikenal nenek moyang penutur Austronesia sejak berada di Yunan. Namun, teknologi pelayaran tersebut semakin berkembang ketika mereka berada di Kepulauan Nusantara. Perkembangan tersebut dapat terjadi karena laut yang terbentang antara laut Sulu hingga ke Melanesia memiliki sifat yang relatif tenang. Selain itu, daerah tersebut mempunyai tempat persinggahan yang aman sehingga sangat ideal untuk mengembangkan pelayaran jarak jauh. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sejak masa praaksara, masyarakat Indonesia adalah pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas.
Kemampuan berlayar menempuh jarak yang jauh tentu harus didukung dengan pengetahuan tentang navigasi, pembuatan kapal, arus laut, angin musim, dan ilmu astronomi (perbintangan). Pengetahuan tentang musim, arah arus laut, dan angin menjadi pedoman untuk menentukan saat yang baik untuk berlayar sesuai tujuannya. Dengan mengetahui arah dan jenis angin (angin darat dan angin laut), mereka dapat memanfaatkan dorongan angin darat ketika akan melaut dan memanfaatkan dorongan angin laut ketika akan kembali ke darat pada sore dan malam hari. Selain itu, nenek moyang kita juga mengetahui bentuk bintang yang bermanfaat sebagai syarat untuk menentukan arah tujuan misalnya rasi bintang Waluku sebagai penunjuk araj barat dan Gubuk Penceng sebagai penunjuk arah selatan.
Salah satu bukti adanya hubungan perdagangan antara Nusantara dengan berbagai daerah di daratan Asia dapat dilihat dari adanya peninggalan Nekara Perunggu di sejumlah kawasan di Nusantara. F. Heger yang meneliti Nekara Perunggu di Asia Tenggara mengklarifikasi dengan cara membedakan nekara tipe lokal (Indonesia) dengan tipe yang sama yang terdapat di daratan Asia Tenggara. Nekara tipe Pejeng merupakan nekara asli Indonesia, sedangkan tipe Heger kerap dianggap sebagai nekara yang mendapat pengaruh dari luar Indonesia.
Perahu bercadik dibuat dari sebatang pohon yang memiliki garis tengah batang cukup besar. Tengah batang pohon tersebut kemudian dikeruk dengan menggunakan alat sederhana, seperti beliung dari batu. Jika bentuk dasar sudah selesai, barulah diberi cadik dari sisi kiri dan sisi kanan badan perahu.
Pembuatan kapal kemudian mengalami kemajuan besar dengan adanya hunbungan dengan daratan Asia Tenggara. Jenis kapal yang mengalami perkembangan ini mempunyai ciri-ciri antara lain badan (lambung) perahu berbentuk huruf V, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris, dan tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya. Keunikan dari kapal atau perahu asli Indonesia ini adalah tidak ada unsur besi di dalam perahu tersebut. Untuk menyambung satu papan dengan papan ain hanya menggunakan tali ijuk, pasak kayu, dan gabungan keduanya. Perahu seperti ini dapat ditemukan dan digunakan oleh orang-orang Melayu, Jawa, dan Maluku.
Terbentuknya Perdagangan Internasional Pada Masa Kuno
Berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan diantara benua Asia dan Australia, membuat kepulauan Nusantara terletak dalam jalur perdagangan antara dua pusat perdagangan internasional zaman kuno, yaitu India dan Tiongkok (Cina) dimana Selat Malaka menjadi penghubung dan gerbang utama yang menghubungkan para pedagang dari Tiongkok dan India yang berlayar melalui bandar-bandar penting di sekitar wilayah tersebut.
Berlabuhnya kapal-kapal dagang dari berbagai bangsa membuat masyarakat Indonesia tidak dapat menghindar dari pengaruh luar. Hubungan dagang antara Indonesia dan India terjadi sejak abad 1 Masehi. Berdasarkan peninggalan arkeologisnya, pengaruh kebudayaan India dapat dilihat dari Situs Buni, Sembiran, dan Pacung. Pada ditus tersebut, ditemukan gerabah berkualitas baik yang diperkirakan berasal dari Situs arikamedu di India Selatan. Selain gerabah juga ditemukan manik-manik yang tersebar di beberapa wilayah yang terdapat situs prasejarah Indonesia dari masa logam awal yang berasal dari tahun 2000-2500 SM. Huruf Pallawa dan bahasa Sangsekerta yang digunakan di India banyak terdapat pada prasarti-prasasti di Nusantara.
Teori-Teori Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia
C.C. Berg, J. L. Moens, dan R. C. Majundar meyakini bahwa kaum ksatria berperan besar dalam munculnya kerajaan Hindu di Nusantara. Berg dalam hipotesisnya mengemukakan bahwa peran besar golongan kaum ksatria dapat dilihat dari karya kesusastraan yang banyak menyebutkan kedatangan pangeran-pangeran dari India. Moens meyakini peran besar kaum ksatria setelah mengkaji sejarah politik yang terjadi di India dan munculnya dinasti-dinasti di Jawa. Adapun Majundar meyakini bahwa prajurit India mendirikan koloni-koloni di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Namun, pendapat ini kurang meyakinkan karena tidak ada bukti arkeologis yang menunjukkan adanya ekspansi prajurit India ke Nusantara.
Kroom mengatakan bahwa kaum pedagang yang berperan dalam mengenalkan Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa telah terjadi penyebaran kebudayaan melalui perkawinan dengan para perempuan pribumi.
Van Leur dan Bosch mengatakan bahwa Hindu dibawa oleh kaum brahmana. Bosch juga mengajukan kemungkinan lain tentang orang-orang dari Nusantara sendiri yang berkesempatan belajar di pusat agama India, seperti Nalanda. Mereka juga memiliki peranan dalam penyebaran unsur-unsur kebudayaan india di Nusantara.
Sumber: Hapsari, Ratna dan M. Adil. 2016. Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Peminatan. Jakarta: Erlangga
Kata Maritim berasal dari bahasa Latin, yaitu Maritimus/mare yang artinya laut. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maritim memiliki arti berkenaan dengan laut; berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan laut. Sejarah mencatat bahwa sejak masa praaksara, masyarakat Nusantara telah memiliki kemampuan berlayar dengan menggunakan perahu bercadik. Hal ini dibuktikan dengan adanya lukisan praaksara berupa gambar sampan di dinding gua yang ada di Pulau Kei Kecil (Ohoidertawun), Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku.
Para penutur budaya Austronesia (masyarakat paraaksara Nusantara) memang dikenal dengan kemampuan berlayarnya. Teknologi pelayaran memang sudah dikenal nenek moyang penutur Austronesia sejak berada di Yunan. Namun, teknologi pelayaran tersebut semakin berkembang ketika mereka berada di Kepulauan Nusantara. Perkembangan tersebut dapat terjadi karena laut yang terbentang antara laut Sulu hingga ke Melanesia memiliki sifat yang relatif tenang. Selain itu, daerah tersebut mempunyai tempat persinggahan yang aman sehingga sangat ideal untuk mengembangkan pelayaran jarak jauh. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sejak masa praaksara, masyarakat Indonesia adalah pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas.
Kemampuan berlayar menempuh jarak yang jauh tentu harus didukung dengan pengetahuan tentang navigasi, pembuatan kapal, arus laut, angin musim, dan ilmu astronomi (perbintangan). Pengetahuan tentang musim, arah arus laut, dan angin menjadi pedoman untuk menentukan saat yang baik untuk berlayar sesuai tujuannya. Dengan mengetahui arah dan jenis angin (angin darat dan angin laut), mereka dapat memanfaatkan dorongan angin darat ketika akan melaut dan memanfaatkan dorongan angin laut ketika akan kembali ke darat pada sore dan malam hari. Selain itu, nenek moyang kita juga mengetahui bentuk bintang yang bermanfaat sebagai syarat untuk menentukan arah tujuan misalnya rasi bintang Waluku sebagai penunjuk araj barat dan Gubuk Penceng sebagai penunjuk arah selatan.
Salah satu bukti adanya hubungan perdagangan antara Nusantara dengan berbagai daerah di daratan Asia dapat dilihat dari adanya peninggalan Nekara Perunggu di sejumlah kawasan di Nusantara. F. Heger yang meneliti Nekara Perunggu di Asia Tenggara mengklarifikasi dengan cara membedakan nekara tipe lokal (Indonesia) dengan tipe yang sama yang terdapat di daratan Asia Tenggara. Nekara tipe Pejeng merupakan nekara asli Indonesia, sedangkan tipe Heger kerap dianggap sebagai nekara yang mendapat pengaruh dari luar Indonesia.
Perahu bercadik dibuat dari sebatang pohon yang memiliki garis tengah batang cukup besar. Tengah batang pohon tersebut kemudian dikeruk dengan menggunakan alat sederhana, seperti beliung dari batu. Jika bentuk dasar sudah selesai, barulah diberi cadik dari sisi kiri dan sisi kanan badan perahu.
Pembuatan kapal kemudian mengalami kemajuan besar dengan adanya hunbungan dengan daratan Asia Tenggara. Jenis kapal yang mengalami perkembangan ini mempunyai ciri-ciri antara lain badan (lambung) perahu berbentuk huruf V, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris, dan tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya. Keunikan dari kapal atau perahu asli Indonesia ini adalah tidak ada unsur besi di dalam perahu tersebut. Untuk menyambung satu papan dengan papan ain hanya menggunakan tali ijuk, pasak kayu, dan gabungan keduanya. Perahu seperti ini dapat ditemukan dan digunakan oleh orang-orang Melayu, Jawa, dan Maluku.
Terbentuknya Perdagangan Internasional Pada Masa Kuno
Berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan diantara benua Asia dan Australia, membuat kepulauan Nusantara terletak dalam jalur perdagangan antara dua pusat perdagangan internasional zaman kuno, yaitu India dan Tiongkok (Cina) dimana Selat Malaka menjadi penghubung dan gerbang utama yang menghubungkan para pedagang dari Tiongkok dan India yang berlayar melalui bandar-bandar penting di sekitar wilayah tersebut.
Berlabuhnya kapal-kapal dagang dari berbagai bangsa membuat masyarakat Indonesia tidak dapat menghindar dari pengaruh luar. Hubungan dagang antara Indonesia dan India terjadi sejak abad 1 Masehi. Berdasarkan peninggalan arkeologisnya, pengaruh kebudayaan India dapat dilihat dari Situs Buni, Sembiran, dan Pacung. Pada ditus tersebut, ditemukan gerabah berkualitas baik yang diperkirakan berasal dari Situs arikamedu di India Selatan. Selain gerabah juga ditemukan manik-manik yang tersebar di beberapa wilayah yang terdapat situs prasejarah Indonesia dari masa logam awal yang berasal dari tahun 2000-2500 SM. Huruf Pallawa dan bahasa Sangsekerta yang digunakan di India banyak terdapat pada prasarti-prasasti di Nusantara.
Teori-Teori Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia
C.C. Berg, J. L. Moens, dan R. C. Majundar meyakini bahwa kaum ksatria berperan besar dalam munculnya kerajaan Hindu di Nusantara. Berg dalam hipotesisnya mengemukakan bahwa peran besar golongan kaum ksatria dapat dilihat dari karya kesusastraan yang banyak menyebutkan kedatangan pangeran-pangeran dari India. Moens meyakini peran besar kaum ksatria setelah mengkaji sejarah politik yang terjadi di India dan munculnya dinasti-dinasti di Jawa. Adapun Majundar meyakini bahwa prajurit India mendirikan koloni-koloni di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Namun, pendapat ini kurang meyakinkan karena tidak ada bukti arkeologis yang menunjukkan adanya ekspansi prajurit India ke Nusantara.
Kroom mengatakan bahwa kaum pedagang yang berperan dalam mengenalkan Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa telah terjadi penyebaran kebudayaan melalui perkawinan dengan para perempuan pribumi.
Van Leur dan Bosch mengatakan bahwa Hindu dibawa oleh kaum brahmana. Bosch juga mengajukan kemungkinan lain tentang orang-orang dari Nusantara sendiri yang berkesempatan belajar di pusat agama India, seperti Nalanda. Mereka juga memiliki peranan dalam penyebaran unsur-unsur kebudayaan india di Nusantara.
Sumber: Hapsari, Ratna dan M. Adil. 2016. Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Peminatan. Jakarta: Erlangga