Sejarah panjang manusia sudah membuktikan bahwa dunia pendidikan merupakan faktor penentu maju mundurnya sebuah peradaban. Mesir Kuno dan Yunani Kuno memiliki peradaban yang tinggi, karena pendidikannyayang maju. Dewasa ini, bangsa di dunia yang pendidikannya berkembang juga mampu tampil menjadi negara yang hebat dan maju pesat. (Imas Kurniasih dan Berlin Sani, iii)
Tanah Gayo adalah sebutan untuk Kabupaten Aceh Tengah, salah satu kabupaten dalam Nanggroe Aceh Darussalam. Sebutan lain dari Aceh Tengah adalah Negeri Antara sebagai pengejewantahan dari letak wilayahnya yang diapit oleh kabupaten/kota lainnya seperti Bireun, Aceh Timur, Gayo Lues, Nagan Raya, dan Pidie. Namun asal muasal dari sebutan Negeri Antara dikarenakan legenda kisah kasih yang tak terlerai antara Malem Dewa dan Puteri Bensu. (M. Saleh Suhaidy, 1)
Kabupaten Aceh Tengah adalah suatu daerah yang merupakan bagian dari provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang beribukota Takengon. Takengon merupakan daerah yang di huni oleh etnis lokal dan etnis pendatang, daerah ini umumnya di huni oleh sebagian besar suku Gayo sebagai kelompok mayoritas, suku Gayo adalah bagian dari Melayu Tua yang datang dari Hindia belakang kepulauan Nusantara ini pada gelombang pertama sebelum masehi. Mereka menetap di pantai utara dan timur Aceh serta sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Jambo Aye, sungai Perlak, sungai Kuala Simpang, Sungai Wih (air) jernih, dan lain-lain. (anonym)
Kata “Gayo” adalah berasal dari kata: “Pegayon” artinya tempat mata air yang jernih dimana terdapat ikan suci (bersih) dan kepiting. Abdurrahim Daudy dalam buku Tafsir Gayo menyebutkan asal kata Gayo “ketika orang Aceh dahulu kala ke Takengon, sampai disana mereka merasa sangat kedinginan sehingga gemetar seluruh badannya, sambil merasa kedinginan mereka mengatakan lon kayou artinya saya sudah gemetar/takut. (M. Saleh Suhaidy, 8)
Bagaimana dengan pendidikan di Gayo ?
Pendidikan yang teratur dimulai oleh Meurah Johan anak Raja Linge I pada tahun 529 H (1197 M) pada Dayah Cot Kala di Perlak. Meurah Johan ini kemudian menjadi raja pertama Kerajaan Islam Aceh Darussalam. Pendidikan mengalami masa kemunduran pada penghujung masa kerajaan Linge sampai dengan pertengahan masa penjajahan Belanda pada tahun 1910. Pada tahun 1911 M Belanda mendirikan Sekolah Desa, tahun 1925 dibangun sekolah tingkat Dasar Muhammadiyah dan tahun 1935 dibuka RPK (Rumah Perguruan Kita) serta PMM (Perguruan Murid-Murid) pada tahun 1940. (M. Saleh Suhaidy, 5)
Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia pendidikan di Aceh Tengah semakin berkembang jika dibandingkan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, meskipun masih terdapat banyak kekurangan. Sarana dan prasarana pendidikan tercatat pada tahun 1951 sampai tahun 1996 berjumlah 526 gedung sekolah baik negeri maupun swasta terdiri dari gedung sekolah Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, SMTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. (AR Latif, 1995)
Pada tahun 1946 didirikan gedung sekolah SMP I atas prakarsa pimpinan Daerah Aceh Tengah Raja Wahab, kemudian berturut-turut pada tahun 1951 didirikan BPKB dipimpin Abdul Mutalib, pada tahun 1951 didirikan SGB, pada tahun 1953 didirikan SGA di bawah pimpinan AS. Nasution. Pada tahun 1960 dibuka SMA I, gedung sekolahnya bekas milik gedung Sekolah Cina yang diambil alih Pelaksana Kuasa Perang Kabupaten Aceh Tengah, berdasarkan PP 10 tahun 1960, diserahkan kepada SMA I Takengon dibawah pimpinan Affan Hasan BA, kemudian pada tahun 1964 dibangun SMEA dibawah pimpinan M. Yakub Umar. Pada tahun 1985 dibangun STM Pertanian di Blang Bebangka Pegasing. (AR Latif, 1995)
Di bidang pendidikan agama di bangun sejumlah sekolah seperti MIN, MTsN, dan MAN. Tahun 1946 dibangun dan dinegerikan delapan unit SRI (Sekolah Rendah Islam) yaitu SRI Asir-Asir, Kebayakan, Bebesen, Kenawat Lut, Toweren, Rawe, Simpang Kelaping, Simpang Tiga Redelong. Jumlah ini lebih banyak dari jumlah SR Negeri pada waktu itu, tetapi jumlah ini tidak bertambah sampai tahun 1965 (Alyasa, 2002).
Pada tahun 1994 atas prakarsa Drs. Muchlis Gayo Jakarta dibangun SMA 1001 dan Perguruan Tinggi Gajah Putih pada tahun 1987. Pada tahun 1951 sampai tahun 1953 mutu pendidikan di daerah ini menunjukkan prestasi yang menggembirakan, tetapi setelah terjadinya peristiwa pemberontakan Darul Islam Aceh, mutu pendidikan semakin merosot terutama pendidikan SGA. Hal ini disebabkan guru-gurunya sebagian besar berasal dari Sumatera Utara kembali kedaerahnya akibat konflik . baru pada tahun 1960 mutu pendidikan SGA di daerah ini semakin baik setelah beberapa orang guru putra daerah datang dari Yogyakarta dan kota besar lainnya. (M. Saleh Suhaidy, 5-6)
Jauh sebelum Indonesia merdeka atau masih dalam masa penjajahan Belanda, putra Aceh Tengah sudai mulai belajar mengkaji kitab-kitab Jawi, seperti kitab Bidayah, Kitab Perukunen, dan kitab-kitab lainnya. Kemudian setelah beberapa tahun lamanya belajar di kampung, diantara mereka ada yang merantau keluar daerah untuk melanjutkan pelajarannya seperti ke Kabupaten Aceh Utara antara lain belajar di Pesantren Pulau Kitun, di Madrasah Al Islah Kuta Blang Samalanga, juga ada yang ke Madrasah Darul ‘Ulum Grugok dan Madrasah Al Muslim Matang Glumpang Dua, ke Bukit Tinggi (Sumatera Barat), dan ke Pulau Jawa. (M. Saleh Suhaidy, 6)
Sumber:
1. Suhaidy, M. Saleh. 2006. Rona Perkawinan di Tanah Gayo. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
2. Kurniasih, Imas dan Berlin Sani. 2015. Sukses Uji Kompetensi Guru (UKG). Surabaya: Kata Pena
3. AR. Latif. 1995. Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. Banda Aceh:_
4. Anonym