Meneliti dan menulis tentang Gayo adalah hal yang sangat perlu dilakukan oleh generasi saat ini terlebih generasi milenial yang sangat melekat dengan gadget dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Generasi milenial perlu memiliki alasan cukup kuat untuk melakukan hal ini. Alasan yang paling mudah dicerna adalah bahwasanya tulisan mengenai Gayo masih sangat minim. Sebagai seorang yang lahir di Tanoh Gayo seringkali kita merasa malu dengan keterbatasan referensi tentang Gayo di perpustakaan daerah dan nasional. Dengan demikian tugas untuk memperkaya referensi tentang Gayo merupakan tugas kita semua sebagai orang yang disebut suku Gayo.
Sembari duduk bersilaturahim dengan kerabat semasa kuliah ataupun dengan orang yang dianggap memiliki ilmu adalah hal yang sangat disenangi. Kebiasaan menyeruput kopi Gayo sembari berdiskusi tentang Gayo adalah hal yang jarang sekali terdengar di kalangan generasi milenial. Kebanyakan generasi milenial datang berkunjung ke warkop hanya untuk bermain game online dan memakai wifi gratisan. Dengan bermain game bersama teman-temannya, quality time untuk berdiskusi menjadi sangat terbatas bahkan benilai nol dan menjadi hal yang sia-sia untuk dilakukan.
Sebagai generasi penerus sekaligus pemangku perkembangan akan referensi untuk Gayo, sudi kiranya oleh kita semua untuk dapat mengubas sifat malas dalam menggali dan meneliti cerita masa lalu yang pernah terjadi di Gayo. Segala macam peristiwa tersebut pastilah diaktori oleh para pendahulu kita. Hal ini sangat bertujuan guna memperkaya rasa simpati terhadap apa yang telah diperbuat oleh para Datu kita di Tanah Gayo ini.
Nah, kali ini kita akan membahas mengenai klan, atau keluarga besar, atau marga yang pernah ada di Gayo dan hingga saat ini kesemua klan ini masih ada dan tetap menjadi ujung tombak aliran darah dalam masyarakat Gayo.
Referensi ini kami dapat dari buku karangan Muklis Paeni yang merupakan seorang antropolog tersohor yang masih aktif membuat buku-buku tentang Gayo, Aceh, dan daerah lainnya.
Referensi ini kami dapat dari buku karangan Muklis Paeni yang merupakan seorang antropolog tersohor yang masih aktif membuat buku-buku tentang Gayo, Aceh, dan daerah lainnya.
Kalau sekiranya Tanah Gayo sekarang keadaannya sama dengan situasi kehidupan generasi Gayo terdahulu, maka bisa diperkirakan bahwa setiap orang masih mendiami Umah Pitu Ruang. Tentu bisa pula dibayangkan bahwa desa-desa atau perkampungan orang Gayo terdiri atas Time Ruang-Time Ruang itu.
Sekarang Umah Time Ruang sudah tidak berfungsi lagi sebagai tempat tinggalm karena itu sebagai gantinya adalah lokasi perumahan yang dibangun berdempetan yang juga menjadi simbol ikatan kekerabatan. Keadaan semacam ini dapat dilihat pada perkampungan tradisional gayo di Kebayakan dan Bebesen.
Di masyarakat gayo dikenal istilahbelah diartikan sama dengan clan. Belah adalah kelompok persekutuan hidup yang dapat disebut dengan istilah kerabat luas. Dalam sebuah kerabat luas terdapat gabungan keluarga luas, sedang sebuah keluarga luas mendiami masing-masig sebuah Time Ruang. Dengan demikian yang dimaksud dengan keluarga luas ialah gabungan beberapa keluarga batih yang tinggal bersama dalam sebuah Time Ruang. Dalam sebuah kerabat luas didalamnya para warga dibedakan antara satu dengan lainnya berdasarkan atas kuru. Istilah ini seringkali dihubungkan dengan “Pelapisan Sosial” yang dikenal di gayo, yakni:
1. Kuru Reje, kerabat Bangsawan.
2. Kuru Petue, kerabat Cendekiawan (orang yang dianggap banyak pengetahuan tentang gayo),
3. Kuru Imem, kerabat Ulama (ahli agama),
4. Rakyat, masyarakat atau orang biasa.
Selain pelapisan sosial yang didasarkan atas kuru atau “hubungan geneologi”, masyarakat Gayo mengenal juga pelapisan sosial yang didasarkan atas status seseorang dalam masyarakat, yakni:
1. Jema Wajeb yang dalam arti sempit, disebut dengan “Lapisan Pemimpin” yang anggotanya terdiri atas Reje, Petue dan Imem.
2. Sudere, dapat diartikan dengan rakyat biasa atau orang kebanyakan.
3. Temuluk, dapat disamakan dengan “budak”.
Selain pelapisan sosial yang terjadi karena perbedaan Kuru dan pelapisan berdasarkan atas status sosial seseorang, masyarakat gayo mengenal juga pelapisan yang didasarkan atas senioritas seseorang yang dilihat dari segi umur. Seseorang yang berusia lanjut atau orang tua (sitetue), selalu memperoleh berbagai kehormatan dan tempat yang istimewa dalam berbagai upacara adat, dibanding dengan warga masyarakat lainnya yang berusia lebih muda.
Selain itu, masyarakat gayo membedakan juga seseorang dengan lainnya atas dasar perkawinan. Seseorang yang sudah menikah dipandang lebih tinggi statusnya dibandingkan dengan yang belum menikah. Karena itulah maka seseorang yang sudah menikah sekali pun usianya lebih muda, berhak untuk mengemukakan pendapatnyadalam pertemuan adat. Mereka yang sudah menikah oleh adat gayo disebut Jema Wajib, sedangkan seseorang yang usianya tua, tetapi belum menikah masih berstatus Jema Warus. Seseorang yang berstatus Jema Warus, tidak memiliki hak suara dalam pertemuan adat, sekalipun kehadirannya sangat diperlukan.
Sekalipun belah dapat diartikan atau disamakan dengan istilah marga di masyarakat Batak, namun dimasyakat gayo tidak ada kebiasaan untuk menulis atau menggunakan nama marga dibelakang nama sendiri seperti yang secara tradisional dipraktekkan di masyarakat Batak. Karena itu seseorang dapat saja menulis nama-nama tambahan di belakang atau di depan nama diri menurut selera masing-masing seperti berikut:
Menggunakan nama Suku Bangsa.
Ø Husain Gayo
Ø M. Daud Gayo
Ø Mizaska Gayo
Menggunakan nama Kampung
Ø Helmi Kala
Ø Abd. Rauf Hakim
Ø Syamsudin Nosar
Menggunakan nama Belah
Ø Afrianda Bujang
Ø Noer Tebe
Ø Syarif Bukit
Karena penggunaan nama tambahan di belakang nama diri bukan suatu keharusan dalam adat gayo, akibatnya terjadi ketidakseragaman dalam menggunakan nama tambahan. Seseorang dapat secara bebas memilih nama tambahan yang dianggapnya serasi dengan nama dirinya yakni dengan “memodernisasi” nama belah, nama kampungm atau nama sukum seperti:
Ø M. Jufri Caubat, berasal dari nama kampung Kebet di Bebesen.
Ø Lukman Ugati, singkatan dari U (Urang), Ga (Gayo), Ti (Tingkem), jadi Ugati kepanjangan dari Urang Gayo Tingkem.
Ø Zainuddin Nosarios, berasal dari kata Nosar nama sebuah kampung di Kebayakan.
Nama-nama Belah di seluruh Tanoh Gayo dapat dilihat berikut ini:
1. Belah Daerah Linge,
Ø Linge
Ø Lot
Ø Gading
Ø Cik
Ø Tengku
Ø Guru
Ø Gerpa
Ø Beno
Ø Payung
Ø Owaq
Ø Kerlang
Ø Bugak
Ø Tukik
Ø Lane
Ø Kute
Ø Robel
Ø Kute Baru
Ø Riem
Ø Kute Rayang
Ø Kute Keramil
Ø Uning
Ø Panyang penarum
Ø Lumut
Ø Pertik
Ø Sekinel
Ø Tekik
Ø Jamat
Ø Nasuh
2. Nelah di daerah Syiah Utama, antara lain:
Ø Kejurun
Ø Mude Tue
Ø Mude Baru
Ø Imem
Ø Bale
Ø Hakim
Ø Gerpa
Ø Uning
Ø Jalil
Ø Kerlang
Ø Payung
Ø Lane
Ø Beno
Ø Pasir Putih
3. Belah di Bebesen, antara lain:
Ø Munte Padang
Ø Ujung
Ø Cibero
Ø Kebet
Ø Melala Kemili
Ø Melala Toa
Ø Tebe Toa
Ø Suku
Ø Tebe Lah
Ø Setie Reje
Ø Melala Cik
Ø Cibero Cik
Ø Cibero Toa
Ø Munthe Kala
Ø Gading
Ø Gading Linge
Ø Linge Raja Kaya
Ø Tebe Uken
Ø Baluhen
Ø Munthe Lot
Ø Melala Sagi
4. Belah di Kebayakan, antara lain:
Sagi Onom
Ø Belah Lot
Ø Belah Kala atau Wakil
Ø Belah Jalil
Ø Belah Gading
Ø Belah Cik
Ø Belah Mude
Sagi Lime
Ø Belah Jongok
Ø Belah Bujang
Ø Belah Cik Serule
Ø Belah Penghulu Bukit
Ø Belah Timangan
Sumber: buku Riak Di Danau Laut Tawar Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan Sosial di Gayo-Aceh Tengah. Karangan Muklis Paeni. 2004.