Marwah adalah salah satu kata yang diangkat dari bahasa Gayo yang berhubungan dengan sebuah kehormatan, harkat, martabat, serta harga diri.
Secara luas kata Marwah sendiri berarti masyarakat Gayo memiliki harkat, martabat dan harga diri yang sangat tinggi, dimana orang Gayo tidak rela diinjak-injak dan diremeh-temehkan harga diri dan martabatnya apalagi hal yang menyangkut ke persoalan agama.
Karena tinggi nya harga diri seorang yang memiliki darah Gayo, maka ia tidak pernah merelakan harga dirinya diinjak-injak oleh orang lain. Semiskin dan sefakir apapun orang Gayo, ia tidak akan bekerja sebagai pengemis di pinggir jalan dan tempat-tempat umum. Lebih baik mati kelaparan, daripada menjadi seorang peminta-minta.
Dalam teropong sejarah, pada tahun 1973 merupakan awal mula penjajah Belanda ingin menundukkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam dalam tatanan Pemerintah Hindia Belanda. Perang melawan kolonialisme di wilayah Aceh berlangsung sekitar 32-34 tahun. Daendels sebagai gubernur jendral yang dikenal kejam saat itu sangat kewalahan menghadapi perlawanan demi perlawanan yang dilakukan oleh para pahlawan di Aceh.
Dari wilayah pesisir, seluruh suku Aceh angkat senjata, dan dari wilayah tengah seluruh rakyat Gayo membantu menembaki seluruh pasukan yang dikerahkan oleh bangsa Belanda. Melihat kegigihan tersebut, diutuslah seorang Belanda yang memiliki watak seperti ular berkepala dua untuk mencari cara agar perlawanan seluruh rakyat di tanah Aceh dapat diredam.
Di tahun 1904-1905 pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menghentikan peperangan dengan cara damai, jika tidak diindahkan maka Belanda berencana untuk melakukan genosida secara besar-besaran kepada seluruh rakyat yang melawan.
Singkat cerita, pada waktu itu tidak ada satupun rakyat Gayo yang mau berdamai dengan Belanda. Belanda adalah bangsa kafir nan licik, untuk itu tidak boleh satu pun dari orang Gayo yang boleh dekat apalagi sampai berteman dengan Belanda. Penolakan demi penolakan yang dilakukan oleh para pejuang di Aceh dan Gayo memaksa Belanda untuk melakukan genosida.
Pembumi hangusan secara massal pertama kali dilakukan di wilayah Gayo. Sekitar kurang lebih 4000 orang dibunuh oleh pasukan Belanda. Pada pembunuhan ini, Belanda tidak lagi memandang jenis kelamin dan umur. Semua dianggap sama oleh mereka.
Dari pemaparan peristiwa singkat di atas, dapat diambil pelajaran bahwa demi mempertahankan Marwah dan agama, orang Gayo rela menyerahkan nyawa dan mati syahid daripada berdamai dan berteman dengan orang kafir seperti Belanda.