Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia pada tahun 1816. Pemerintah Inggris sebenarnya telah menunjuk John Fendall untuk menggantikan Raffles tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan Konvensi London. Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada Belanda. Dengan demikian, pada tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu dimulailah Pemerintahan Kolonial Belanda.
a) Jalan Tengah Bersama Komisaris Jenderal
Setelah kembali ke tangan Belanda, tanah
Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal yang
dipimpin oleh Gubernur Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran
Willem VI yang beranggotakan tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout,
Arnold Ardiaan Buyskes, dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen.
Semula Elout ditunjuk sebagai ketua, tetapi kemudian digantikan oleh Van der
Capellen sebagai ketua dan sekaligus sebagai gubernur jenderal. Sebagai
rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di negeri jajahan, Pangeran Willem VI
mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan (Regerings
Reglement) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undang-undang tersebut
menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini
menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana
diusulkan oleh Dirk van Hogendorp. Berbekal ketentuan dalam undang-undang
tersebut ketiga anggota Komisaris Jenderal itu berangkat ke Hindia Belanda.
Ketiganya sepakat untuk mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah diterapkan
oleh Raffles.
Mereka sampai di Batavia pada 27 April
1816. Ketika melihat kenyataan di lapangan, Ketiga Komisaris Jenderal itu
bimbang untuk menerapkan prinsipprinsip liberalisme dalam mengelola tanah
jajahan di Nusantara. Hindia dalam keadaan terus merosot dan pemerintah
mengalami kerugian. Kas negara di Belanda dalam keadaan menipis. Mereka sadar
bahwa tugas mereka harus dilaksanakan secepatnya untuk dapat mengatasi
persoalan ekonomi baik di Tanah Jajahan maupun di Negeri Induk. Sementara itu
perdebatan antara kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan
tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesarbesarnya belum mencapai
titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan
mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat
diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif berpendapat
pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila langsung
ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.
Dengan mempertimbangkan amanat UU
Pemerintah dan melihat kenyataan di lapangan serta memperhatikan pandangan kaum
liberal dan kaum konservatif, Komisaris Jenderal sepakat untuk menerapkan
kebijakan “jalan tengah”. Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan
langsung ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan
keuntungan bagi negeri induk, di samping mengusahakan kebebasan penduduk dan
pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan. Tetapi kebijakan jalan tengah ini
tidak dapat merubah keadaan. Pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah
memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan
adalah gubernur jenderal. Van der Capellen kemudian ditunjuk sebagai Gubernur
Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der
Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapusan peran penguasa
tradisional (bupati dan para penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga
menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan
mendorong terjadinya perlawanan. Van der Capellen kemudian dipanggil pulang dan
digantikan oleh Du Bus Gisignies. Du Bus Gisignies berkeinginan membangun modal
dan meningkatkan ekspor. Tetapi program ini tidak berhasil karena rakyat tetap
miskin sehingga tidak mampu menyediakan barang-barang yang diekspor.
Kenyataannya justru impor lebih besar dibanding ekspor. Tentu ini sangat
merugikan bagi pemerintah Kondisi tanah jajahan dalam kondisi krisis, kas
negara di negeri induk pun kosong. Hal ini disebabkan dana banyak tersedot
untuk pembiayaan perang di tanah jajahan. Sebagai contoh Perang Diponegoro yang
baru berjalan
satu tahun sudah menguras dana yang luar
biasa, sehingga pemerintahan Hindia Belanda dan pemerintah negeri induk
mengalami kesulitan ekonomi. Pengeluaran keuangan menjadi tidak terkontrol,
sementara pengembangan usaha harus terus dilakukan untuk memperbaiki kondisi
keuangan. Untukmengatasi dan mengatur keuangan ini diperlukan suatu lembaga
keuangan yang bonafit. Oleh karena itu, sebagai bentuk persetujuannya, Raja
Belanda mengeluarkan oktroi. Atas dasar oktroi ini dibentuklah De Javasche Bank
pada tanggal 9 Desember 1826. Kemudian oleh Gubernur Jenderal Du Bus Gisignies
dikeluarkan Surat Keputusan No. 25 tertanggal 24 Desember 1828 tentang Akte
Pendirian De Javasche Bank. Pembentukan De Javasche Bank ini sekaligus juga
merupakan bentuk dukungan Raja terhadap rencana pelaksanaan Tanam Paksa di
Indonesia/Hindia. Pemulihan kondisi ekonomi dan keuangan Belanda harus segera
diprogramkan. Apalagi setelah keberhasilan Belgia dalam berjuang untuk
memisahkan diri dari Belanda pada tahun 1830. Dengan pisahnya Belgia dari
Belanda ini menjadi pukulan bagi Belanda. Keadaan ekonomi Belanda semakin
berat. Sebab, Belanda banyak kehilangan lahan industri sehingga pemasukan
negara juga semakin berkurang.
b) Sistem Tanam Paksa
Pemerintah Belanda terus mencari cara
bagaimana untuk mengatasi problem ekonomi. Berbagai pendapat mulai dilontarkan
oleh para pemimpin dan tokoh masyarakat. Salah satunya pada tahun 1829 seorang
tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang
berkaitan dengan sistem dan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di
Hindia. Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi di Negeri Belanda,
di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang dapat laku dijual di pasar
dunia. Sesuai dengan keadaan di negeri jajahan, maka sistem penanaman harus
dikembangkan dengan memanfaatkan kebiasaan kaum pribumi/petani, yaitu dengan
“kerja rodi”. Oleh karena itu, penanam yang dilakukan para petani itu bersifat
wajib. Kita, orang Indonesia menyebut sistem ini dengan nama “Sistem Tanam
Paksa”. Van den Bosch menggunakan prinsip bahwa daerah jajahan itu fungsinya
sebagai tempat
mengambil keuntungan bagi negeri induk.
Diibaratkan oleh Baud, Jawa adalah “gabus tempat Nederland mengapung”. Jadi
dengan kata lain Jawa harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk keuntungan
negeri penjajah. Dapat dikatakan Jawa dimanfaatkan sebagai sapi perahan. Konsep
Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Dengan
cara ini diharapkan perekonomian Belanda dapat dengan cepat pulih dan semakin
meningkat. Bahkan dalam salah satu tulisan Van den Bosch membuat suatu perkiraan
bahwa dengan Tanam Paksa, hasil tanaman ekspor dapat ditingkatkan sebanyak
kurang lebih f.15. sampai f.20 juta setiap tahun. Van den Bosch menyatakan
bahwacara paksaan seperti yang pernah dilakukan VOC adalah cara yang terbaik
untuk memperoleh tanaman ekspor untuk pasaran Eropa. Dengan membawa dan
memperdagangkan hasil tanaman sebanyak-banyaknya ke Eropa, maka akan
mendatangkan keuntungan yang sangat besar.
1) Ketentuan Tanam Paksa
Raja Willem tertarik serta setuju dengan
usulan dan perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat
sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa, Van den Bosch
segera mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa. Secara umum Tanam Paksa
mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di
pasaran dunia. Jenis tanaman itu di samping kopi juga antara lain tembakau,
tebu, dan nila. Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada
Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara
lain sebagai berikut.
a) penduduk menyediakan sebagian dari
tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa;
b) tanah pertanian yang disediakan
penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari
tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa; waktu dan pekerjaan yang
diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan
yang diperlukan untuk menanam padi;
d) tanah yang disediakan untuk tanaman
Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah;
e) hasil tanaman yang terkait dengan
pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika
harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus
dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.;
f) kegagalan panen yang bukan disebabkan
oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah;
g) penduduk desa yang bekerja di
tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah pengawasan langsung
para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara
umum; dan
h) penduduk yang bukan petani, diwajibkan
bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam
satu tahun;
Menurut apa yang tertulis di dalam
ketentuan-ketentuan tersebut di atas,tampaknya tidak terlalu memberatkan
rakyat. Bahkan pada prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan
apabila memang tidak dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Ini artinya
ketentuan Tanam Paksa itu masih memperhatikan martabat dan batas-batas
kewajaran nilai-nilai kemanusiaan.
2) Pelaksanaan Tanam Paksa
Menurut Van den Bosch, pelaksanaan sistem
Tanam Paksa harus menggunakan organisasi dan kekuasaan tradisional yang sudah
ada. Dalam hal ini para pejabat bumiputra, kaum priayi dan kepala desa memiliki
peran penting. Mereka ini sangat diharapkan dapat menggerakkan kaum tani wajib
menanam tanaman yang laku di pasaran dunia. Kekuasaan mereka harus diperkokoh
dengan cara diberi hak pemilikan atas tanah dan hakhak istimewa yang lain. Para
penguasa pribumi akhirnya lebih menjadi alat kolonial. Dengan demikian masyarakat
umum sudah kehilangan pimpinan yang menjadi tempat berlindung di negerinya
sendiri. Berkaitan dengan pengerahan tenaga kerja melalui kegiatan seperti
sambatan, gotong royong maupun gugur gunung, merupakan usaha yang tepat untuk
dilaksanakan. Dalam hal ini peran para penguasa pribumi, priayi dan juga kepada
desa sangat sentral. Kemudian kepala desa di samping sebagai penggerak para
petani, juga sebagai penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah. Oleh
karena posisi yang begitu penting itu maka kepala desa tetap berada di bawah
pengaruh dan pengawasan para pamong praja. Para penguasa pribumi dan juga
kepala desa ini dalam menjalankan tugasnya juga mendapatkan bonus atau cultuur
procenten dari pemerintah kolonial. Besaran bonus itu tergantung dari besar
kecilnya hasil setoran kepada pemerintah kolonial. Semakin besar setoran dari
petani kepada pemerintah kolonial yang ada di wilayahnya, pejabat pribumi di
tempat itu juga akan menerima bonus semakin besar pula. Hal inilah yang
mendorong terjadinya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Tanam Paksa. Para
penguasa pribumi demi mengejar cultuur procenten yang besar, kemudian memaksa
para petani di wilayahnya untuk menanam tanaman yang diwajibkan dalam sistem
Tanam Paksa sebanyak-banyaknya agar dapat menyetorkan hasil yang besar kepada
pihak kolonial. Sistem cultuur procenten inilah kemudian mendorong terjadinya
berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Tanam Paksa. Beberapa penyelewengan
itu antara dapat dicontohkan sebagai berikut.
a) Menurut ketentuan tanah pertanian yang
disediakan penduduk untuk kepentingan Tanam Paksa tidak melebihi seperlima dari
tanah pertanian yang dimiliki petani, tetapi kenyataannya lebih dari seperlima,
sepertiga, bahkan ada yang setengah dan daerahdaerah tertentu ada yang lebih
dari setengah tanah yang dimiliki petani. Hal ini dimaksudkan agar setoran
hasil tanamannya juga bertambah besar, dan bonusnya juga semakin banyak.
b) Menurut ketentuan waktu yang diperlukan
untuk menanam tanaman untuk Tanam Paksa tidak boleh melebihi waktu untuk
menanam padi, ternyata dalam pelaksanaannya waktu yang digunakan untuk menanam
tanaman bagi Tanam Paksa melebihi waktu penanaman padi. Semua ini jelas terkait
agar hasil tanaman untuk Tanam Paksa itu lebih banyak.
Dapatlah dikatakan bahwa dalam pelaksanaan
Tanam Paksa itu umumnya berjalan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Pemicu
penyelewengan ini tidak terlepas dari adanya cultuur procenten. Pihak
pemerintah colonial di Hindia ini juga melakukan pembiaran dan ini tampaknya
yang memang diinginkan oleh pihak kolonial Belanda, agar hasil dari pelaksanaan
Tanam Paksa segera dapat memperbaiki ekonomi dan mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya bagi Negeri Belanda. Harus juga dipahami bahwa dalam
pelaksanaan Tanam Paksa itu juga disertai dengan tindak kekerasan, tindakan
menakut-nakuti para petani. Tanam Paksa telah membawa penderitaan rakyat.
Banyak pekerja yang jatuh sakit, bahkan meninggal. Mereka dipaksa fokus bekerja
untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus.
Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah.
Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada
tahun 1850. Sementara itu dengan pelaksanaan Tanam Paksa ini Belanda telah
mengeruk keuntungan dan kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun 1831 hingga
tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden,
utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan dapat
dibangun. Belanda menikmati keuntungan di atas penderitaan sesame manusia.
Pelaksanaan Tanam Paksa dapat dikatakan telah melanggar hak-hak asasi manusia.
Memang harus diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa, misalnya,
dikenalkannya beberapa jenis tanaman baru yang menjadi tanaman ekspor,
dibangunnya berbagai saluran irigasi, dan juga dibangunnya jaringan rel kereta
api. Beberapa hal ini memang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat di
kemudian hari.
c) Sistem Usaha Swasta
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah
berhasil memperbaiki perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat.
Bahkan keuntungan dari Tanam Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai
negara industri. Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum
liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh karena itu, mulai muncul
perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa. Masyarakat Belanda mulai
mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan
kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa. Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa
tetap dilaksanakan adalah kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah.
Mereka setuju karena Tanam Paksa telah mendatangkan banyak keuntungan. Begitu
juga para pemegang saham perusahaan NHM (Nederlansche Handel Matschappij), yang
mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli untuk mengangkut
hasil-hasil Tanam Paksa dari Hindia Belanda ke Eropa. Sementara, pihak yang
menentang pelaksanaan Tanam Paksa adalah kelompok masyarakat yang merasa
kasihan terhadap penderitaan rakyat pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok
yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas liberalisme. Kaum liberal
menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi.
Kegiatan ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta.
Nederlansche Handel Matschappij:
perusahaan dagang yang didirikan oleh Raja William I di Den Haag pada 9 Maret
1824 sebagai promosi antara lain bidang perdagangan dan perusahaan pengiriman,
dan memegang peran penting dalam mengembangkan perdagangan Belanda-Indonesia.
Pandangan dan ajaran kaum liberal itu
semakin berkembang dan pengaruhnyasemakin kuat. Oleh karena itu, tahun 1850
Pemerintah mulai bimbang. Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan
politik di Parlemen (Staten Generaal). Parlemen memiliki peranan lebih besar
dalam urusan tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal
menuntut adanya perubahan dan pembaruan. Peranan pemerintah dalam kegiatan
ekonomi harus dikurangi, sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak
swasta untuk mengelola kegiatan ekonomi.
Pemerintah berperan sebagai pelindung warga, mengatur tegaknya hukum, dan
membangun sarana prasarana agar semua aktivitas masyarakat berjalan lancar.
Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal
tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max
Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan
buku berjudul Suiker Contractor (Kontrakkontrak Gula) tulisan Frans van de
Pute.
Kedua buku ini memberikan kritik keras
terhadap pelaksanaan Tanam Paksa. Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah menjadi
pendapat umum. Oleh karena itu, secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai
dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal. Hal ini juga
didorong oleh isi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani tahun 1871. Di dalam
Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan bahwa Inggris memberikan kebebasan
kepada Belanda untuk meluaskan daerahnya sampai ke Aceh. Tetapi sebagai
imbangannya Inggris meminta kepada Belanda agar menerapkan ekonomi liberal
sehingga pihak swasta termasuk Inggris dapat menanamkan modalnya di tanah
jajahan Belanda di Hindia.
Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan. Tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh parlemen. 2) Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta. 3) Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain:
a) Tanah di negeri jajahan di Hindia
Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa
persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanahtanah hutan, pegunungan
dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah
pemerintah.
b) Pemerintah mengeluarkan surat bukti
kepemilikan tanah.
c) Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik
tanah pemerintah maupun tanah penduduk.
Tanah-tanah pemerintah dapat disewa
pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama lima
tahun, ada juga yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus
didaftarkan kepada pemerintah. Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta
semakin banyak memasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan
peranan penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Oleh karena itu, mulailah
era imperialism modern. Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah
jajahan berfungsi sebagai: (1) tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk
kepentingan industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing, (2) tempat
pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa, (3) penyedia tenaga kerja
yang murah.
Usaha perkebunan di Hindia Belanda semakin
berkembang. Beberapa jenis tanaman perkebunan yang dikembangkan misalnya tebu,
tembakau, kopi, teh, kina, kelapa sawit, dan karet. Hasil barang tambang juga
meningkat. Industri ekspor terus berkembang pesat seiring dengan permintaan
dari
pasaran dunia yang semakin meningkat.
Untuk mendukung pengembangan sektor ekonomi, diperlukan sarana dan prasarana,
misalnya irigasi, jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Hal ini
semua dimaksudkan untuk membantu kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan
perkebunan dari daerah pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan yang akan
diteruskan ke dunia luar. Pada tahun 1873 dibangun serangkaian jalan kereta
api. Jalan-jalan kereta api yang pertama dibangun adalah antara Semarang dan
Yogyakarta, kemudian antara Batavia dan Bogor, dan antara Surabaya dan Malang.
Pembangunan jalan kereta api juga dilakukan di Sumatera pada akhir abad ke-19.
Tahun 1883 Maskapai Tembakau Deli telah memprakarsai pembangunan jalan kereta
api. Pembangunan jalan kereta api ini direncanakan untuk daerah-daerah yang
telah dikuasai dan yang akan dikuasai, misalnya Aceh. Oleh karena itu,
pembangunan jalan kereta api di Sumatera ini, juga berdasarkan pertimbangan
politik dan militer. Jalur kereta api juga dibangun untuk kepentingan
pertambangan, seperti di daerah pertambangan batu bara di Sumatra Barat. Di
samping angkutan darat, angkutan laut juga mengalami peningkatan. Tahun 1872
dibangun Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan Belawan di Sumatra
Timur, dan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) di Padang. Jalur laut ini semakin
ramai dan efisien terutama setelah adanya pembukaan Terusan Suez pada tahun
1869. Bagi rakyat Bumiputera pelaksanaan usaha swasta tetap membawa
penderitaan. Pertanian rakyat semakin merosot. Pelaksanaan kerja paksa masih
terus dilakukan seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan kereta api,
saluran irigasi, benteng-benteng dan sebagainya. Di samping melakukan kerja
paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara hasil-hasil pertanian rakyat
banyak yang menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat mengalami kemunduran karena
terdesak oleh alat-alat yang lebih maju. Alat transportasi tradisional, seperti
dokar, gerobak juga semakin terpinggirkan. Dengan demikian rakyat tetap hidup
menderita.
Setelah membaca dan memahami artikel di atas, ayo kita evaluasi dengan klik tautan berikut : klik disini
sumber :
1. Tim
Penyusun. 2014. Buku Sejarah Indonesia
Untuk SMA/MA/MAK Kelas X semester ganjil Buku guru.Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan-edisi revisi.
2. Tim
Penyusun. 2014. Buku Sejarah Indonesia
Untuk SMA/MA/MAK Kelas X semester ganjil Buku siswa. Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan – edisi revisi.