Indonesia
adalah negeri yang kaya sumber daya alam, hal inilah yang menyebabkan
banyak orang yang datang ke nusantara. Apa sobat tahu manusia mana yagn
pertama datang ke daratan Indonesia? mereka adalah manusia yang sering
disebut dengan manusia prasejarah atau praaksara. Kelebihan lain yang
bisa diungkapkan adalah sebelum manusia menghuni eropa, Indonesia sudah
sejak lama dihuni oleh manusia hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya
fosil-fosil manusia purba lengkap dengan alat kebudayaannya yang
terdapat di Indonesia. Kali ini kita akan membahas mengenai bagaimana
manusia purba Indonesia dahulu menjalankan hidupnya. Simak penjelasan
berikut ini:
Pola Hunian Masa Praaksara
Pola hunian manusia purba memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu, (1) kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu dapa dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh- contoh dari adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di pinggir sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengingat keberadaan air memberikan beragam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memberikan kesuburan bagi tanaman. Keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, manusia dapat melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Hunian di jaman mesolithik masih berupa Gua-Gua yang sebenarnya adalah curuk-curuk batu karang. Motif mereka menempati Gua mulanya hanya sebatas untuk tempat berlindung dari panas dan hujan sehingga Gua ini tidak ditempati selamanya sebab pola mobilitas mereka masih berpindah-pindah mengikuti ketersediaan pangan. Namun pada kasus tertentu, dimana sumber pangan berlimpah, Gua-Gua menjadi hunian tetap. Biasanya hunian ini letaknya di sekitar pantai ataupun sungai. P. V. van Stein Callenfels adalah orang yang pertamakali meneliti tentang abris sous roche di Gua Lawa, Ponorogo Jawa Timur pada tahun 1933 dan 1934. Di dalam Gua tersebut ia menemukan kerangka manusia ras Australomelanesoid. Bersamaan dengannya turut pula ditemukan flakes (serpih batu) dan alat dari tulang. Namun di Gua ini masih ada keganjilan, ketika kapak Sumatra (pebble) yang menjadi inti kebudayaan tidak ditemukan.
Kjokkenmoddinger (sampah dapur)
Pada tahun 1925 P.V. Van Stein Callenfels meneliti sampah dapur (Kjokken/dapur; Moddinger/sampah) yang berisi tumpukan kerang di Langsa Aceh dan Deli Serdang Sumatera Utara. Pada awalnya tumpukan kerang tersebut dikira lapisan bumi. Namun setelah diteliti lebih lanjut ternyata pada cangkang tidak terkandung pasir maupun tanah. Melihat ujung kerang yang kebanyakan telah dibelah menunjukan bahwa kerang-kerang itu pernah mendapat perlakuan khusus oleh makhluk lain secara disengaja. Di zaman Mesolithik manusia hidup dari perburuan. Ada tiga jenis perburuan, yakni perburuan hewan kecil (small game hunting), hewan besar (big game hunting), dan perburuan hewan air (aquatic hunting). Nampaknya orang Australomelanesoid yang tinggal di Sumatera Utara ini hidup dari perburuan hewan air berupa kerang. Oleh karena persediaan yang banyak, mereka tidak perlu berpindah tempat, sehingga di sepanjang Pantai Sumatra bagian Utara dan Timur Gua-Gua karang (abris sous roche) menjadi hunian tetap.
Budaya berburu di jaman Mesolithik merupakan embrio dari pembentukan kelompok sosial. Hal ini terkait dengan strategi dan target perburuan mereka saat itu. Apabila hewan target buruan mereka kecil, maka satu orang cukup untuk melumpuhkan. Namun sebaliknya apabila hewan buruannya besar seperti kerbau dan banteng, tentu harus melibatkan banyak orang. Maka dari itu mereka harus bekerjasama dengan membentuk kelompok-kelompok berburu. Kelompok-kelompok inilah yang akhirnya berkembang menjadi kelompok sosial.
Pola hunian manusia purba memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu, (1) kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu dapa dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh- contoh dari adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di pinggir sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengingat keberadaan air memberikan beragam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memberikan kesuburan bagi tanaman. Keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, manusia dapat melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Hunian di jaman mesolithik masih berupa Gua-Gua yang sebenarnya adalah curuk-curuk batu karang. Motif mereka menempati Gua mulanya hanya sebatas untuk tempat berlindung dari panas dan hujan sehingga Gua ini tidak ditempati selamanya sebab pola mobilitas mereka masih berpindah-pindah mengikuti ketersediaan pangan. Namun pada kasus tertentu, dimana sumber pangan berlimpah, Gua-Gua menjadi hunian tetap. Biasanya hunian ini letaknya di sekitar pantai ataupun sungai. P. V. van Stein Callenfels adalah orang yang pertamakali meneliti tentang abris sous roche di Gua Lawa, Ponorogo Jawa Timur pada tahun 1933 dan 1934. Di dalam Gua tersebut ia menemukan kerangka manusia ras Australomelanesoid. Bersamaan dengannya turut pula ditemukan flakes (serpih batu) dan alat dari tulang. Namun di Gua ini masih ada keganjilan, ketika kapak Sumatra (pebble) yang menjadi inti kebudayaan tidak ditemukan.
Kjokkenmoddinger (sampah dapur)
Pada tahun 1925 P.V. Van Stein Callenfels meneliti sampah dapur (Kjokken/dapur; Moddinger/sampah) yang berisi tumpukan kerang di Langsa Aceh dan Deli Serdang Sumatera Utara. Pada awalnya tumpukan kerang tersebut dikira lapisan bumi. Namun setelah diteliti lebih lanjut ternyata pada cangkang tidak terkandung pasir maupun tanah. Melihat ujung kerang yang kebanyakan telah dibelah menunjukan bahwa kerang-kerang itu pernah mendapat perlakuan khusus oleh makhluk lain secara disengaja. Di zaman Mesolithik manusia hidup dari perburuan. Ada tiga jenis perburuan, yakni perburuan hewan kecil (small game hunting), hewan besar (big game hunting), dan perburuan hewan air (aquatic hunting). Nampaknya orang Australomelanesoid yang tinggal di Sumatera Utara ini hidup dari perburuan hewan air berupa kerang. Oleh karena persediaan yang banyak, mereka tidak perlu berpindah tempat, sehingga di sepanjang Pantai Sumatra bagian Utara dan Timur Gua-Gua karang (abris sous roche) menjadi hunian tetap.
Budaya berburu di jaman Mesolithik merupakan embrio dari pembentukan kelompok sosial. Hal ini terkait dengan strategi dan target perburuan mereka saat itu. Apabila hewan target buruan mereka kecil, maka satu orang cukup untuk melumpuhkan. Namun sebaliknya apabila hewan buruannya besar seperti kerbau dan banteng, tentu harus melibatkan banyak orang. Maka dari itu mereka harus bekerjasama dengan membentuk kelompok-kelompok berburu. Kelompok-kelompok inilah yang akhirnya berkembang menjadi kelompok sosial.
Lukisan Dinding Gua
Banyak Gua-Gua jaman prasejarah menyimpan lukisan di dinding-dindingnya. Entah itu lukisan berupa gambar abstrak berupa garis vektor (M, N, SS), hewan-hewan, maupun gambar tangan. Gambar tangan merupakan objek budaya seni gambar tertua di dunia. Berdasarkan temuan terbaru diketahui bahwa gambar tangan tertua di dunia di temukan di Indonesia yakni pada Gua Maros (Sulawesi Selatan) yang sudah ada sejak 37.900 tahun yang lalu. Situs di Maros menunjukan bahwa manusia penghuni Maros sudah mengenal seni gambar Gua (cave art) lebih dahulu dibanding bangsa Eropa. Hal ini ditunjukan dari usia gambar tangan di Maros yang lebih tua mengungguli situs tertua di Eropa yakni di Gua El Castilo Spanyol yang berusia 37.300 tahun yang lalu. Demikian pula dengan Gua Chauved-Pont-d’Arc Prancis (30.000), Gua Cosquer Prancis (25.000), Gua Gargas Prancis (25.000), Gua Maltra Viesco (18.000), Gua Karawi Papua Nugini (18.000), dan Gua Masri II Kalimantan Indonesia (8000).
Ada dua metode pembuatan gambar tangan. Pertama adalah metode cap, dimana pada dinding Gua dicap langsung dengan telapak tangan yang telah dilumuri dengan cat yang dibuat dari bahan oker (ocher) atau hematit (hematite) berupa material batuan berwarna kemerahan. Kedua dengan semprotan, yakni dengan merentangkan permukaan telapak tangan pada dinding Gua, kemudian melalui pipa bambu cat ditiup dengan mulut atau bisa juga dengan diciprat-cipratkan.
Berdasarkan fungsinya diketahui gambar tangan merupakan kode komunikasi dan status keanggotaan pada masyarakat tradisional. Gambar tangan juga ditujukan untuk menolak balak dari kekuatan jahat. Begitupula pada gambar tangan besar dan kecil menunjukan adanya hubungan antara pendahulu dengan keturunannya.
Sistem Kepercayaan Pada Zaman Pra Aksara
Pada zaman pra aksara, seiring dengan perkembangan kemampuan berpikir, manusia purba mulai mengenal kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya yang disebut sistem kepercayaan manusia purba/zaman pra aksara. Oleh sebab itu mereka berusaha mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut. Caranya ialah dengan mengadakan berbagai upacara, seperti pemujaan, pemberian sesaji, yang paling menonjol upacara penguburan orang meninggal ataupun upacara ritual lainnya. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lukisan-lukisan didinding gua di Sulawesi Selatan dan juga berbagai alat ritual lainnya. Sistem kepercayaan masyarakat Indonesia zaman pra aksara diperkirakan tumbuh pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Masyarakat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari tempat tinggal yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Orang mulai berpikir bahwa orang yang meninggal berbeda dengan orang yang masih hidup. Pada orang yang meninggal ada sesuatu yang pergi, sesuatu itulah yang kemudian disebut dengan roh. Penguburan kerangka manusia di dalam goa-goa merupakan wujud penghormatan kepada orang yang meninggal, penghormatan kepada orang yang telah pergi atau penghormatan kepada roh. Upacara sebagai bentuk ritual kepercayaan mengalami perkembangan seiring zaman. Mereka melakukan upacara tidak hanya berkaitan dengan leluhur, akan tetapi berkaitan dengan mata pencaharian hidup yang mereka lakukan. Misalnya ada upacara khusus yang dilakukan oleh masyarakat pantai khususnya para nelayan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat pantai ini, yaitu penyembahan kekuatan yang dianggap sebagai penguasa pantai. Penguasa inilah yang mereka anggap memberikan kemakmuran kehidupannya. Sedang di daerah pedalaman atau pertanian ada upacara persembahan kepada kekuatan yang dianggap sebagai pemberi berkah terhadap hasil pertanian.
Berdasarkan hasil peninggalan budaya sejak masa bercocok tanam berupa bangunan-bangunan megalithikum dengan fungsinya sebagai tempat-tempat pemujaan atau penghormatan kepada roh nenek moyang, maka diketahui bahwa masyarakat pada masa itu sudah menghormati orang yang sudah meninggal. Di samping itu, ditemukan pula bekal kubur. Pemberian bekal kubur itu dimaksudkan sebagai bekal untuk menuju ke alam lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah memberikan penghormatan dan pemujaan kepada roh nenek moyang.
Macam-macam kepercayaan
Pada zaman pra aksara, seiring dengan perkembangan kemampuan berpikir, manusia purba mulai mengenal kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya yang disebut sistem kepercayaan manusia purba/zaman pra aksara. Oleh sebab itu mereka berusaha mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut. Caranya ialah dengan mengadakan berbagai upacara, seperti pemujaan, pemberian sesaji, yang paling menonjol upacara penguburan orang meninggal ataupun upacara ritual lainnya. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya lukisan-lukisan didinding gua di Sulawesi Selatan dan juga berbagai alat ritual lainnya. Sistem kepercayaan masyarakat Indonesia zaman pra aksara diperkirakan tumbuh pada masa berburu dan mengumpulkan makanan. Masyarakat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari tempat tinggal yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Orang mulai berpikir bahwa orang yang meninggal berbeda dengan orang yang masih hidup. Pada orang yang meninggal ada sesuatu yang pergi, sesuatu itulah yang kemudian disebut dengan roh. Penguburan kerangka manusia di dalam goa-goa merupakan wujud penghormatan kepada orang yang meninggal, penghormatan kepada orang yang telah pergi atau penghormatan kepada roh. Upacara sebagai bentuk ritual kepercayaan mengalami perkembangan seiring zaman. Mereka melakukan upacara tidak hanya berkaitan dengan leluhur, akan tetapi berkaitan dengan mata pencaharian hidup yang mereka lakukan. Misalnya ada upacara khusus yang dilakukan oleh masyarakat pantai khususnya para nelayan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat pantai ini, yaitu penyembahan kekuatan yang dianggap sebagai penguasa pantai. Penguasa inilah yang mereka anggap memberikan kemakmuran kehidupannya. Sedang di daerah pedalaman atau pertanian ada upacara persembahan kepada kekuatan yang dianggap sebagai pemberi berkah terhadap hasil pertanian.
Berdasarkan hasil peninggalan budaya sejak masa bercocok tanam berupa bangunan-bangunan megalithikum dengan fungsinya sebagai tempat-tempat pemujaan atau penghormatan kepada roh nenek moyang, maka diketahui bahwa masyarakat pada masa itu sudah menghormati orang yang sudah meninggal. Di samping itu, ditemukan pula bekal kubur. Pemberian bekal kubur itu dimaksudkan sebagai bekal untuk menuju ke alam lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah memberikan penghormatan dan pemujaan kepada roh nenek moyang.
Macam-macam kepercayaan
- Animisme adalah kepercayaan terhadap roh yang mendiami semua benda. Manusia purba percaya bahwa roh nenek moyang masih berpengaruh terhadap kehidupan di dunia. Mereka juga mempercayai adanya roh diluar roh manusia yang dapat berbuat jahat dan berbuat baik. Roh-roh itu mendiami semua benda, misalnya pohon, batu, gunung, dsb. Agar mereka tidak diganggu roh jahat, mereka memberikan sesaji kepada roh-roh tersebut.
- Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Mereka percaya terhadap kekuatan gaib dan kekuatan itu dapat menolong mereka. Kekuatan gaib itu terdapat di dalam benda-benda seperti keris, patung, gunung, pohon besar, dll. Untuk mendapatkan pertolongan kekuatan gaib tersebut, mereka melakukan upacara pemberian sesaji, atau ritual lainnya.
- Totemisme adalah kepercayaan bahwa hewan tertentu dianggap suci dan dipuja karena memiliki kekuatan supranatural. Hewan yang dianggap suci antara lain sapi, ular, dan harimau. Hewan yang dianggap suci juga bisa berasal dari mimpi, misal seseorang memimpikan kura-kura, maka hewan suci yang dipujanya adalah kura-kura. Biasanya orang-orang yang menganggap suatu hewan suci akan pantang makan daging hewan iu dan tidak membunuh serta melindungi hewan itu.
Barang-barang peninggalan sistem kepercayaan zaman pra aksara
- Menhir adalah tiang atau tugu batu yang berfungsi sebagai prasasti dan melambangkan kehormatan arwah nenek moyang.
- Dolmen adalah meja batu untuk meletakkan sesaji.
- Peti kubur batu adalah lempeng batu besar berbentuk kotak persegi panjang berfungsi sebagai peti jenazah.
- Sarkofagus adalah batu besar yang dipahat berbentuk mangkuk terdiri dari dua keping yang ditangkupka menjadi satu. Berfungsi sebagai peti jenazah.
- Waruga adalah peti kubur batu berukuran kecil, berbentuk kubus dan memiliki tutup.
- Punden berundak adalah bangunan berupa batu seperti candi digunakan untuk upacara pemujaan.