-->

Dialog si Tuli (Ketidak Akuran Antara Ilmu Sejarah dan Sosiologi)

Sejarawan dan Sosiologiwan (khususnya) adalah tetangga yang tak selalu akur. Padahal secara intelektual mereka bertetangga dekat, artinya praktisi kedua disiplin itu (seperti antropologiwan sosial) sama-sama mnaruh perhatian pada masyarakat secara keseluruhan beserta seluruh aspek perilaku manusia. Untuk hal-hal seperti ini mereka memang berbeda dari ahli ekonomi, geografi, atau para spesialis bidang kajian politik atau keagamaan.
Sosiologi dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang masyarakat, manusia, dengan titik berat pada perampatan (generalisasi) struktur masyarakat serta perkembangannya. Sejarah lebih cocok didefinisikan sebagai studi tentang masyarakat manusia dalam arti jamak, dengan titik berat pada perbedaan-perbedaan antarmasyarakat dan perubahan-perubahan di masing-masing masyarakat dari waktu ke waktu. Kedua pendekatan ini kadang-kadang dianggap kontradiktif, tetapi akan lebih baik jika kita menganggapnya saling melengkapi. Hanya dengan membandingkan satu masyarakat dengan masyarakat lain dapat diketahui segi keunikan masyarakat itu. Perubahan itu terstruktur, dan struktur berubah. Memang, proses strukturasi seperti diistilahkan sebagian sosiologiwan, telah menjadi pumpuan perhatian akhir-akhir ini.
Sejarawan dan teoretisi sosial sebenarnya dapat menghilangkan berbagai bentuk pengkotak-kotakan (parokialisme). Sejarawan berpeluang untuk mudah terjebak pada pengkota-kotakan, dalam arti yang hampir harfiah. Oleh karena sejarawan terbiasa mengkhususkan diri kepada kawasan tertentu, maka mereka mungkin akan menganggap pengkotak-kotakan studi mereka itu unik, ketimbang menganggapnya sebagai suatu gabungan yang khas dari berbagai unsur yang juga dimiliki oleh disiplin lain. Gejala pengkotak-kotakan dalam arti kiasan, yaitu yang lebih menyangkut waktu ketimbang tempat, terjadi pula pada kalangan teoritisi sosial manakala membuat perampatan tentang masyarakat hanya atas dasar pengalaman sezaman (kontemporer), atau ketika membahas perubahan sosial tanpa memperhitungkan proses-proses waktu jangka panjangnya.
Sosiologiwan dan sejarawan satu sama lain mestinya dapat melihat kelemahan dalam dirinya masing-masing dengan meminjam kacamata lawan. Celakanya, kelompok yang satu cenderung memandang jelek yang lain. Di Inggris misalnya, banyak sejarawan yang masih memandang sosiologiwan sebagai orang yang suka menggunakan istilah selingkungan (jargon) yang kasar dan abstrak untuk menyatakan hal-hal yang sudah jelas; tidak memiliki sense waktu dan tempat, membenamkan individu ke dalam kategori-kategori yang kaku. Maka untuk menutup semua ini, mereka menyebut kegiatan mereka sebagai hal yang ilmiah.
Sebaliknya, sejak lama kalangan sosiologiwan menganggap sejarawan sebagai tukang kumpul fakta (fact-collector) amatiran yang rabun, yang tidak mempunyai sistem atau metode, dan ketidakakuratan databasenya lalu dicocok-cocokkan dengan kekurangmampuan mereka dalam menganalisanya. Singkatnya, meski jumlah dwibahasawan makin banyak, para sosiologiwan dan sejarawan ternyata masih belum berbicara dalam bahasa yang sama. Dialog mereka, seperti pernah dikatakan oleh sejarawan Perancis Fernand Braudel, bagaikan dialog di tuli.
Untuk memahami keadaan ini, kita sebaiknya memandang disiplin-disiplin ilmu yang berbeda sebagai profesi yang berbeda dan bahkan sebagai sub budaya yang berbeda pula, yang memiliki bahasa, nilai-nilai dan  mentalitas atau pola pikir masing-masing yang dibangun melalui proses pelatihan atau sosialisasinya sendiri. Sosiologiwan misalnya, dilatih untuk mengamati dan merumuskan aturan-aturan yang umum dan kerap mengabaikan perkecualian atau keunikan. Sejarawan terciasa mencermati detail-detail yang konkret, tetapi mengabaikan pola-pola umum.
Dari sudut pandang sejarah, jelas bahwa kedaua pihak melakukan kesalahan dalam penempatan waktu, atau anakronisme. Sampai belum lama ini, banyak teoritisi sosial menganggap sejarawan seolah-olah masih terpaku pada penceritaan peristiwa-peristiwa politik, pendekatan mereka yang menonjolkan model pendekatan sejarawan besar abad ke 19, Leopold von Ranke. Demikian juga, sejumlah sejarawan masih menyebut sosiologi seakan-akan terpaku dengan zaman Auguste Comte, zaman keemasan generalisasi-genaralisasi besar tanpa dukungan penelitian empirik sistematis model pertengahan abad ke 19.
Sumber: Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu sejarah. Yogyakarta: Bentang (PT. Bentang Pustaka)