Sejarawan dan Teorisi sosial tidak pernah putus hubungan sama sekali, seperti yang terlihat pada beberapa contoh berikut. Pada tahun 1919, sejarawan terkenal Belanda, Johan Huizinga menerbitkan buku Waning of The Middle Ages yang mengkaji kebudayaan abad ke-14 dan ke-15 dengan memanfaatkan ide-ide antropologi sosial. Di tahun 1929, jurnal baru Annales d'histoire economique et sociale mengangkat ahli geografi politik Andre Siegfried dan sosiologiwan Maurice Halbwachs untuk menjadi anggota dewan redaksi bersama para sejarawan. Pada tahun 1949, antropologiwan Edward Evans-Pritchard, yang sepanjang hayatnya menyokong hubungan erat antara antropologi dan sejarah, menulis sejarah tentang Sanusi dan Cyrenaica. Namun, pada tahun 1960-an, embun berubah menjadi hujan. Buku-buku seperti The Political System of Empires karya Shmuel N. Eisenstadt (1963), The First New Nation tulisan Seymour M. Lipset (1963), dan sebagainya menyuarakan dan mendorong rasa kesamaan tujuan antara teorisi dan sejarawan sosial.
Dalam dua puluh tahun terakhir, kecenderungan ini terus berlanjut. Semakin banyak antropologiwan sosial, teritama Clifford Geertz dan Marshall Sahlins, memasukkan dimensi sejarah dalam kajian-kajiannya. Sekelompok sosiologiwan Inggris, utamanya Ernest Gellner, John Hall, dan Michael Mann, telah menghidupkan kembali proyek abad ke-18 mengenai sejarah filsafat, dalam arti kajian sejarah dunia mengikuti tradisi adam Smith, Karl Marx, dan Max Webber, yang tujuannya adalah untuk membedakan berbagai tipe masyarakat serta menjelaskan proses peralihan dari suatu tipe ke tipe lainnya.
Ada alasan-alasan yang jelas atas makin akrabnya hubungan sejarah dengan teori sosial. Cepatnya perubahan sosial jelas menarik perhatian sosiologiwan dan antropologiwan. Para pakar demografi yang mengkaji ledakan penduduk dunia dan para ekonom atau sosiologiwan yang menaganalisis berbagai persyaratan pembangunan pertanian dan industri di negara-negara yang disebutkan negara terbelakang mendapati bahwa yang mereka kaji adalah tentang perubahan dari waktu ke waktu, dengan kata lain mengkaji sejarah. Sebagian diantaranya seperti ahli kependudukan dari Perancis Louis Henry atau sosiologiwan Amerika Immanuel Wellerstein tergoda untuk memperluas penyelidikannya hingga jauh ke masa silam.
Sementara itu, di kalangan sejarawan di seluruh dunia telah terjadi pergeseran minat secara besar-besaran untuk meninggalkan sejarah politik yang tradisional dan menuju ke arah sejarah sosial. Dalam sebuah tulisan yang terkenal, Francis Bacon mengkritik tajam kaum empirik ibarat semut, yang kerjanya hanya mengumpulkan data, dan kaum teoritisi murni, sang laba-laba yang membuat sendiri jaring-jaringnya. Bacon menyarankan agar mencontoh lebah, yang mencari bahan baku dan sekaligus memprosesnya. Perumpamaan ini cocok untuk sejarah penelitian ilmu sejarah dan ilmu sosial maupun untuk sejarah ilmu-ilmu alam. Tanpa kombinasi sejarah dan teori kita tidak mungkin bisa memahami masa lalu maupun masa kini.
Tentu saja ada lebih dari satu cara mengawinkan sejarah dengan teori. Beberapa sejarawan telah menyetujui teori tertentu dan berusaha mengaplikasikannya dalam karya-karya mereka, seperti pada kebanyakan kaum Marxis.
Sumber: Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka