Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, akhirnya pemimpin Negara Islam Indonesia (NII), Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962. Penangkapan Kartoauwiryo ini tidak lepas dari peran Panglima Divisi Siliwangi, Ibrahim Adjie, yang mengerahkan seluruh pasukan-pasukannya berjumlah 15.000 orang untuk menyusuri Gunung Geber, Majalaya, yang diperkirakan sebagai markas pusat Negara Islam Indonesia. Dengan tertangkapnya Kartosuwiryo, banyak diantara pemimpin bawahan Tentara Islam Indonesia yang kemudian menyerah. Peristiwa ini menyebabkan gerakan pemberontak NII berada di titik yang paling rendah.
Pada tanggal 5 September 1962, pemerintah memutuskan bahwa Kartosuwiryo harus dihukum mati. Keputusan ini berdasarkan rapat pemerintah pusat yang diadakan pada tanggal 16 agustus 1960. Keputusan berat tersebut diambil, karena Kartosuwiryo telah melakukan beberapa kesalahan diantaranya:
- Mempunyai pemikiran untuk memberontak kepada pemerintahan yang sah
- Mendirikan sebuah negara atau kedaulatan di dalam wilayah negara Indonesia yang kemerdekaannya telah diakui oleh dunia dan PBB
- Mempunyai rencana untuk menggulingkan pemerintahan serta membunuh kepala negara, atau dalam hal ini Ir. Soekarno
- Membentuk tentara militer yang bertujuan untuk menlawan TNI
- Melakukan perekrutan anggota masyarakat untuk menjadi warga negara NII
- Melakukan berbagai pemberontakan, pembunuhan, dan pemaksaan terhadap rakyat yang tidak mau mendukung, baik secara langsung maupun tidak langsung atas berdirinya NII
- Melakukan pemaksaan terhadap rakyat yang tidak mau ikut bergerilya melawan TNI
- Melakukan pemaksaan terhadap rakyat yang tidak mau menyerahkan sebagian harta kekayaannya untuk perjuangan mendirikan NII
Saat diadili, Kartosuwiryo menolak bahwa tujuannya membentuk Tentara Islam Indonesia atau mendirikan NII adalah untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Namun, keterangan yang didapatkan TNI dari sepuluh orang pemimpin bawahan Kartosuwiryo mengatakan demikian. Selain menolak, Kartosuwiryo juga berkata, "keterangan dari anak buah saya itu sungguh direkayasa untuk memastikan diri saya mendapatkan vonis hukuman mati". Seorang pemimpin bawahan yang bernama Djatmiko juga mengatakan bahwa Kartosuwiryo pernah mengajaknya menemui pemimpin Belanda bernama Schmidt di klub Konkordia Bandung guna membicarakan kerjasama perang besar-besaran melawan TNI. Djatmiko menambahkan, setelah itu ia juga diajak Kartosuwiryo menemui komisaris Tinggi Mahkota Belanda, Lovink, di Hotel Den Indes, Jakarta, untuk melakukan transaksi senjata berat. Namun, semua tuduhan itu ditolak Kartosuwiryo. Sebaliknya, Kartosuwiryo mengatakan bahwa para pemimpin bawahannya yang memberikan kesaksian itu telah berkhianat kepadanya.
Setelah kesaksian-kesaksian dari para pemimpin bawahan Tentara Islam Indonesia ditolak Kartosuwiryo, pengadilan tetap memutuskan bahwa ia dihikum mati. Keputusan ini tidak dapat diubah atau diganggu gugat, karena kartosuwiryo secara terang-terangan telah melakukan delapan kesalahan, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam rapat pemerintah. Pengacara Kartosuwiryo lantas memohon keringanan agar kliennya tidak mendapatkan hukuman mati dengan alasan bahwa ia sudah tua renta dan sakit-sakitan. Selain itu, ia masih memiliki beberapa anak yang haus ditanggung masa depannya. Akan tetapi, permohonan itu ditolak hakim agung. Sebelum Kartosuwiryo mendapatkan hukuman mati, ia dipaksa pemerintah untuk menyampaikan informasi pembubaran NII di seluruh NKRI, menghapuskan jihad, dan menyatakan menyerah.
Menjelang pelaksanaan vonis hukuman mato, Kartosuwiryo menulis surat wasiat yang terdiri dari empat bagian. Pada bagian pertama, ia menggambarkan tentang jalannya persidangan dan meminta kepada istri dan anak-anaknya agar tetap sabar menerima kenyataan pahit yang akan diterimanya. Kepada istrinya, Dewi Siti Kalsum, ia meminta agar selalu membimbing anak-anaknya di jalan yang diridhai Allah. Pada bagian kedua, Kartosuwiryo mengucapkan selamat berpisah (selamat berjuang kembali) kepada seluruh Tentara Islam Indonesia dan pendukungnya. Pada bagian ketiga, Kartosuwiryo meminta agar barang-barang pribadinya diserahkan sepenuhnya kepada keluarganya. Selain itu, ia juga memohon kepada pemerintah agar sekiranya istri dan anak-anaknya dijamin dalam menjalani kehidupan masa depan. Pada bagian keemapt, Kartosuwiryo meminta kepada pihak pemerintah agar jasadnya dikebumikan di tanah miliknya sendiri, yakni di dalam instansi Suffah yang terletak di desa Cisitu kecamatan Malangbong, Garut. Terakhir, ia juga meminta kepada pemerintah RI agar wasiat-wasiatnya ini disiarkan melalui radio, sehingga seluruh rakyat tahu jalannya persidangan hingga akhir kematiannya.
Di saat-saat menjelang pelaksanaan hukuman mati, keluarga Kartosuwiryo meminta kepada pihak pengadilan untuk mengizinkan mereka menyaksikan jalannya eksekusi. Namun, pihak pengadilan tidak mengizinkan dengan alasan-alasan tertentu. Menjelang hari pelaksanaan eksekusi, Markas tentara jakarta memerintahkan Panglima Kodam Jaya, Umar Wirahadikusumah, untuk segera menyusun regu tembak guna pelaksanaan hukuman mati Kartosuwiryo. Tanggal 4 September 1962 dini hari, kartosuwiryo dibawa ke sebuah pulau di teluk Jakarta dengan menaiki kapal pendarat milik Angkatan Laut.
Setibanya disana, Kartosuwiryo diikat di sebuah batang kayu dengan mata tertutup. Regu tembak yang berjumlah sepuluh orang lantas disiagakan dengan jarak sepuluh meter. Sesuai peraturan TNI, hanya satu senapan yang berisi peluru tajam. Tepat pada pukul 5.50 wib, eksekusi mati Kartosuwiryo pun dilaksanakan. Eksekusi itu disaksikan oleh tujuh jendral yang kesemuanya dalah perwira tinggi markas tentara jakarta.
Terimakasih kepada sumber, yaitu:
Hadiwijoyo, Suwelo. 2013. Kahar Muzakkar dan Kartosuwirjo, pahlawan atau pemberontak?. Yogyakarta: Palapa