-->

Nilai-Nilai Kejuangan Pada Masa Revolusi di Indonesia

Tokoh-Tokoh Pejuang Diplomasi

1. Sutan Syahrir
Sutan Syahrir lahir di padang Panjang, Sumatra Barat 5 Maret 1909. Syahrir mendapatkan pendidikanya di Europeesche Lagere School (ELS) di Medan. Pada tahun 1926 Syahrir melanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung. Pada tanggal 14 November 1945 Syahrir dilantik menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri. Syahrir juga dikenal sebagai politisi yang cerdas ditunjukan dalam Agresi Milter I misalnya Syahrir menyadari bahwa  kedaulatan bangsa Indonesia  terancam dan mendesak Lembaga Internasional untuk memerintahkan Belanda agar menghentikan agresinya. Syahrir menjadi wakil Indonesia dalam perjanjian Linggarjati Sutan Syahrir dengan anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946. Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya

2. Mohammad Roem
Mohammad Roem lahir pada tanggal 16 Mei 1908 didesa Klewongan Parakan Temanggung. M Roem mengenyam Pendidikan di Hollands Inlandshe School (HIS) di Temanggung pada tahun 1917-1923. Setelah tamat dari HIS, M Roem mendapat beasiswa  untuk melanjutkan studi ke STOVIA di Jakarta. Sejak dibangku STOVIA selain dikenal cerdas, Mohammad Roem juga pemuda yang aktif dalam organisasi. Pada awalnya ia bergabung pada Jong Java (Pemuda Jawa). Selanjutnya Moh Rorm juga tergabung didalam Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Moh Roem mempunyai peranan sangat penting terutama dalam bidang diplomasi atau jalur perundingan. Ia mewakili pemerintah Indonesia dalam perjanjian renville pada 17 Januari 1948. Selanjutnya ditunjuk sebagai ketua juru runding dalam perjanjian Roem Royen 14 April 1949. Dalam perjanjian tersebut dinilai sangat berhasil karena telah mendororng dilakukan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949.

3. Syafruddin Prawiranegara
Syafrudin Prawiranegara lahir di Serang, Banten 28 Februari 1911. Ia adalah pejuang masa kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Presiden/ Ketua PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Indonesia di Yogyakarta jatuh ketangan Belanda pada Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948. Setelah kemerdekaan Indonesia Syafrudin banyak berkiprah dalam organisasi pergerakan nasional dan berhasil menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada tahun 1945. Badan ini bertugas sebagai badan legislative di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. Badan ini diberikan kekuasaan legislative dan ikut menetapkan GBHN. Ketika Belanda melakukan Agresi Militer ke II di Indonesia Sukarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berisi memberikan kekuasaan untuk mendirikan pemerintah darurat di Sumatera jika pemerintahan di Yogyakarta tidak dapat menjalankan pemerintahan.
Karena terbatasnya sitem komunikasi masa itu telegram yang dikirimkan Sukarno tidak sampai ke Syafrudin. Ketika mendengar bahwa Yogyakarta telah diduduki oleh Belanda maka Syafrudin melakukan rapat untuk membentuk pemerintahan darurat  demi menyelamatkan Republik Indonesia. Atas usaha Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Belanda terpaksa melakukan perundingan dengan Indonesia dengan dilakukan perjanjian Roem Royen akhirnya Sukarno-Hatta berhasil dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada tanggal 13 Juli 1949 dilakukan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukaarno dan Hatta dan sejumlah anggota kabinet untuk mengembalikan  mandat dari PDRI kepada Pemerintahan Republik Indonesia.
Sebagai aktivis, Syafrudin memiliki karir yang bagus diantaranya menjadi wakil Menteri keuangan dn Menteri kemakmuran. Setelah menyerahkan kekuasaan PDRI, Syafrudin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Keuangan pada tahun 1949 dan 1950 pada Kabinet Hatta.

4. Amir Syarifuddin
Amir Syarifudin Harahap lahir dari keluarga Batak Islam, Medan Sumatera Utara pada tanggal 27 April 1907. Masa kecil Amir dihabiskan di medan. Ia menamatkan sekolah dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS) Medan tahun 1914-1921. Pada tahun 1926 Amir berangkat ke Leiden Belanda untuk meneruskan pendidikanya, namun disana ia hanya bertahan selama setahun. Pada tahun 1931 Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dan selanjutnya mendirikan gerakan rakyat Indonesia (garindo).
Pada tanggal 3 Juli 1947 Amir terpilih sebagai Perdana Menteri menggantikan Sutan Syahrir. Amir juga ditunjuk oleh pemerintah Indonesia sebagai negosiator dalam perjanjian yang diprakarsai Dewan Keamanan PBB. Badan PBB yang diberi nama Komisi Tiga Negara (KTN) itu melahirkan nota perjanjian antara Indonesia dangan Belanda yang diberi nama “Perjanjian Renville”. Sebagai konsekuensi ditandatanganinya Perjanjian Renville, wilayah RI semakin sempit dikarenakan diterimanya garis demarkasi Van Mook. Berdasarkan garis demarkasi Van Mook itu wilayah Republik Indonesia tinggal meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur. Dampak lainnya adalah Anggota TNI yang masih berada di daerah-daerah kantong yang dikuasai Belanda, harus ditarik masuk ke wilayah RI di sekitar Yogyakarta. Sebagai contoh pasukan yang berasal dari kesatuan Divisi Siliwangi yang berjumlah sekitar 35 000 orang harus ditarik dan dipindahkan ke wilayah RI.
Kemudian sejumlah sekitar 6000 pasukan dari Jawa Timur ditarik masuk ke wilayah RI. Peristiwa inilah yang dikenal dengan peristiwa “hijrah”. Peristiwa “hijrah” ini dimulai tanggal 1 Februari 1948. Isi Perjanjian Renville mendapat tentangan sehingga muncul mosi tidak percaya terhadap Kabinet Amir Syarifuddin dan pada tanggal 23 Januari 1948, Amir menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden.

5. Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Sri Sultan merupakan raja dari kerajaan Yogyakarta yang banyak memberikan sumbangsih besar bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Ia lahir diYogyakarta tanggal 12 April 1912. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan perekonomian sangat buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri rusak berat akibat perang. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-mana, termasuk di Yogyakarta. Oleh karena itu, untuk menjamin agar roda pemerintahan RI tetap berjalan, Sultan Hamengkubuwana IX menyumbangkan kekayaannya sekitar 6.000.000 Gulden, baik untuk membiayai pemerintahan, kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya. Setelah Perundingan Renville, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer yang ke-2. Sasaran penyerbuan adalah Ibukota Yogyakarta.
Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1948 Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan para pembesar lainnya di tangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka. Sementara itu, Sultan Hamengkubuwana IX tidak di tangkap karena kedudukannya yang istimewa, dikhawatirkan akan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, waktu itu Belanda sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat. Akan tetapi, Sultan menolak ajakan Belanda untuk bekerja sama dengan Belanda. Untuk itu, Sultan Hamengkubuwana IX menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh daerah Yogyakarta. Dalam surat itu dikatakan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengunduran diri Sultan kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam. Hal ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda. Selain itu dengan demikian, Sultan tidak akan dapat diperalat untuk membantu musuh. Sementara itu, secara diam-diam Sultan membantu para pejuang RI, dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat pemerintah RI dan orang-orang Republiken. Bahkan di lingkungan keraton, Sultan memberikan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI. Pada Februari 1949, dengan bantuan kurir, Sultan menghubungi Panglima Besar Sudirman untuk meminta persetujuannya melaksanakan serangan umum terhadap Belanda. Setelah mendapat persetujuan Panglima Sudirman, Sultan langsung menghubungi Letkol Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan Belanda di Yogyakarta. Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam.
Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya. Sesuai dengan hasil Perundingan Roem-Royen, maka pasukan Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda minta jaminan keamanan selama penarikan itu berlangsung. Untuk itu, Presiden Sukarno mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu dilaksanakannya dengan baik. Pada tanggal 27 Desember 1949 ketika di Belanda berlangsung penyerahan kedaulatan, maka di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta, juga terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah RIS. Sri Sultan Hamengkubuwana IX kembali mendapatkan kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintahan RIS.

6. I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah Rai lahir di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali, tanggal 30 Januari 1917, Ayahnya bernama I Gusti Ngurah Palung yang berprofesi sebagai manca (jabatan setingkat camat). Setelah menamatkan pendidikannya di HIS Denpasar dan MULO di Malang, tahun 1936 beliau melanjutkan pendidikan di Sekolah Kader Militer di Gianyar Bali. Selanjutnya mengikuti pendidikan di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di Magelang. Pada masa pendudukan Jepang, Ngurah Rai bekerja sebagai intel sekutu di daerah Bali dan Lombok.
Setelah Indonesia Merdeka, I Gusti Ngurah Rai membentuk TKR Sunda Kecil dan beliau menjadi komandannya dengan pangkat Letnan Kolonel. Ngurah Rai kemudian pergi ke Yogyakarta untuk konsolidasi dan mendapatkan petunjuk dari pimpinan TKR. Sekembalinya dari Yogyakarta, Ia mendapati pasukan Belanda dengan 2000 pasukan dan persenjataan lengkap dan pesawat terbang siap untuk menyerang I Gusti Ngurah Rai dengan pasukan kecilnya. Bersama dengan pasukan Ciung Wanaranya, I Ngurah Rai berhasil memukul mundur pasukan Belanda pada saat itu pada tanggal 18 November 1946. Namun hal ini justru membuat pihak Belanda menyiapkan bala tentara yang lebih banyak dari Pulau Jawa, Madura dan Lombok untuk membalas kekalahannya. Pertahanan I Gusti Ngurah Rai berhasil dipukul mundur dan hingga akhirnya tersisa pertahanan Ciung Wanara terakhir di desa Margarana. Kekuatan terakhir ini pun dipukul mundur lantaran seluruhnya pasukannya jatuh ke dasar jurang. Hal ini pulalah yang diabadikan dengan istilah puputan Margarana (perang habis-habisan di daerah Margarana) pada tanggal 20 November 1946.

7. Frans Kaisepo
Frans Kaisepo lahir di Wardo, Biak Papua pada tanggal 10 Oktober 1921. Ia merupakan putra asli Papua yang dalam konferensi Malino (yang dipelopori Dr. H.J Van Mook) mengusulkan supaya nama Papua diganti dengan nama Irian (Ikut Republik Indonesia anti Nederland). Ia memerintahkan kepada markus kaisepo, saudaranya untuk menggantikan papan nama Papua Bestuurschool (sekolah/ kursus kilat pamong praja Papua) menjadi Irian Bestuurschool.
Ide kemerdekaan Indonesia berkembang dikalangan para siswa yang berasal dari berbagai daerah dan suku di Papua. Para anggota kursus sering mengadakan rapat secara tersembunyi-sembunyi yang intinya menentang pendudukan Belanda  dan ingin bersatu dengan Republik Indonesia. Mereka kemudian membentuk dewan perwakilan di bawah pimpinan Sugoro Admoprasojo dengan anggota antara lain Frans Kaisepo, Marthen Indey, Silas papare, G. Saweri, S.D. Kawab, dan lainya. Pada tanggal 31 Agustus 1945 tokoh-tokoh nasionalis tersebut melakukan upacara pengibaran bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kegiatan itu disusul dengan pemberontakan rakyat Biak melawan  pemerintahan Kolonial Belanda pada Maret 1948. Salah satu pencetus perlawanan tersebut yaitu Frans Kaisepo. Ia menolak untuk menjadi ketua Delegasi Nederlands Nieuw Guinea ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda. Akibatnya ia dipenjara dari tahun 1954-1961.
Setelah dibebaskan dari penjara, Frans Kaisepo mendirikan Partai Politik Irian  yang menuntut penyatuan kembali Nederlands Nieuw Guinea kedalam kekuasaan Republik Indonesia. Untuk mneghadapi usaha dekolonisasi dari pemerintah belanda, Presiden Sukarno mencetuskan Trikora (Tri Komando Rakyat) pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Isinya yaitu menggagalkan pembentukan negara bonekka buatan Belanda dan mengibarkan bendera merah putih di Papua tanah air Indonesia serta mempertahankan kemerdekaan kesatuan tanah air serta bangsa. Banyak sukarelawan yang dikirim untuk membantu para pejuang papua. Frans Kaisepo berperan penting dalam melindungi para pejuang Indonesia yang menyusup diam-diam ke Papua.
Frans Kaisepo yang menjabat sebagai Gubernur Papua merasa bahwa permasalahan papua berlarut-larut, akhirnya pada tahun 1969 sepakat untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Frans Kaisepo juga berperan besarketika dilaksanakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada 1969. Frans Kaisepo meninggal di Papua pada tanggal 10 April 1979. Saat itu ia masih menjabat sebagai Gubernur Papua. Pemerintah Indonesia mengangkat pejuang papua sebagai pahlawan nasional pada tahun 1993, meski demikian Namanya kurang dikenang sebagai tokoh penting pejuang bangsa, tanpa jasa-jasa beliau sangat mungkin bahwa Papua  dapat terlepas dari pangkuan ibu pertiwi.

8. Jendral Sudirman
Sudirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Purbalingga Jawa Tengah. pada tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar personelnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan Heihō. Dekret mengangkat Soeprijadi sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul, dan kepala staff Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai pemimpin sementara. Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang Belanda, tiba di Semarang, dan kemudian bergerak menuju Magelang. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang, Sudirman yang sekarang menjadi kolonel mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari Ambarawa, di tengah-tengah Magelang dan Semarang. Pada 20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi V setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda.
Sambil menunggu pengangkatan, pada akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman; kota itu dianggap penting secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara dan tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas dalam pertempuran, terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang. Soedirman kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan modern. Soedirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana. Sekutu, yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat tentara gerilya menyerang Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur dan bersembunyi di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari, yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang.
Sebelum memulai gerilya, Soedirman pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting, lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda. Soedirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana, mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri. Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan militer.
Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya. Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran. Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para gerilyawan.
Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan menunjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam belas jam, menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas. Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat sebagai panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Karena penyakitnya Sudirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950 dan mengakhiri dari perjuangan panjang yang dilakukan oleh Sudirman dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Penyusun: Slamet Wakhidin, S. Pd