Oleh : Muslim Arsani, S. Pd
Ketika Aceh dilanda musibah gempa dan tsunami pada akhir tahun 2004 yang mengakibatkan sebagian besar infrastruktur di Aceh hancur, kantor pusat Serambi Indonesia yang terletak di desa Baet itu ikut menjadi korban. Kerugian yang dialami oleh Serambi Indonesia selama musibah tersebut, diperkirakan sebesar Rp. 20 miliyar. Jumlah ini belum termasuk dengan piutang iklan dan sirkulasi surat kabar yang tidak terbayar lagi, karena banyak klien dan agen yang hilang, termasuk juga sejumlah para wartawan dan karyawan. Kerugian ini ditambah lagi dengan hancurnya mesin percetakan Serambi Indonesia. Musibah gempa dan tsunami tersebut, telah menghancurkan bangunan percetakan dan mesin percetakan Serambi Indonesia bergeser 200 meter dari fondasinya. Semua barang yang terdapat di lantai bawah kantor pusat Serambi Indonesia hancur dan merusak semua ruang di sana, termasuk juga semua dokumen yang ada hilang diterjang oleh tsunami. Kondisi kantor pusat yang porak poranda itu, khususnya mesin percetakan yang hancur dan melayang dari fondasinya membuat status kantor pusat Serambi Indonesia dialihkan dari Banda Aceh ke Lhokseumawe (Wawancara, Mohammad Din, 10 September 2015).
Pada saat terjadinya tsunami, lantai dua kantor pusat Serambi Indonesia sempat menjadi tempat pelarian bagi sebagian warga sekitar yang selamat dari musibah tersebut. Sementara karyawan yang bekerja pada hari minggu itu ikut menjadi korban. Selama musibah tsunami, surat kabar Serambi Indonesia sempat tidak bisa diterbitkan selama lima hari. Baru pada hari Sabtu 1 Januari 2005 atau lima hari setelah bencana tsunami itu, Serambi Indonesia terbit kembali dengan menggunakan mesin percetakan jarak jauh di Kota Lhokseumawe. Surat kabar Serambi Indonesia terbit kembali dengan sejumlah halaman dan cetakan yang terbatas setelah dihantam oleh gempa dan tsunami. Hal ini dikarenakan selama musibah tersebut, mesin percetakan Serambi Indonesia di desa Baet tidak bisa beroperasi lagi (Wawancara: Bukhari M. Ali, 11 September 2015).
Mengingat kantor pusat dan mesin percetakan di Desa Baet tidak dapat dioperasikan lagi, para pimpinan redaksi Serambi Indonesia seperti Sjamsul Kahar, Mawardi Ibrahim dan Akmal Ibrahim sepakat membentuk dua posko sebagai kantor sementaranya. Dua posko tersebut dibentuk untuk mengkoordinir wartawan dan karyawan Serambi Indonesia yang masih tersisa dan selamat dari bencana gempa dan tsunami Aceh itu. Ahmad Sutrisno yang saat itu menjabat sebagai Manajer Percetakan PT. Aceh Media Grafika, merelakan rumah toko (ruko) miliknya yang juga ditempatinya bersama keluarga, diberikan kepada Serambi Indonesia sebagai posko untuk koordinasi dan ruang redaksi darurat di Lambaro, Aceh Besar. Sementara itu, H. Agam Patra yang bersimpati kepada Serambi Indoneisa, juga memberikan dua unit rumah toko (ruko) miliknya yang bergandengan di Beurawe Shopping Centre untuk ditempati oleh Serambi Indonesia sebagai kantor sementara. Sejak saat itu, status kantor pusat Serambi Indonesia telah berubah menjadi Biro Banda Aceh ketika membuka dua posko tersebut. Semua wartawan dan karyawan yang tersisa dan selamat dari musibah tsunami Aceh, memproduksi berita yang telah dihimpun di Biro Banda Aceh untuk dikirim ke kota Lhokseumawe sebagai kantor pusat Serambi Indonesia (Wawancara: Rosnani HS, 21 September 2015).
Semenjak diduduki pada awal tahun 2005, hampir setahun lebih Serambi Indonesia menciptakan karya-karya jurnalistik di kantor sementara Serambi Indonesia yang terletak di Beurawe dan Lambaro. Namun dalam masa itu pula, Manajemen Serambi Indonesia menyadari bahwa tidak mungkin berlama-lama berada di kantor sementara tersebut. Pembangunan kantor baru pun digagas pada tahun itu juga. Gerakan untuk membangun kantor baru sudah dimulai sejak bulan April 2005. Dalam rentan waktu kurang dari delapan bulan, sebuah kantor dengan kontruksi rangka baja berdiri megah di desa Meunasah Manyang PA, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Kantor pusat Serambi Indonesia di desa Meunasah Manyang tersebut diresmikan pada 20 Februari 2006 dalam sebuah acara di Anjong Mon Mata, Banda Aceh oleh Kepala BRR NAD-Nias, Kuntoro Mangkusubroto, Pj Gubernur Aceh Mustafa Abubakar, dan Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia (KKG) Jakob Oetama. Sejak saat itu, Serambi Indonesia resmi memindahkan kantor pusatnya dari desa Baet ke desa Meunasah Manyang. Semua personil di jajaran redaksi dan manajemen Serambi Indonesia kembali menempati ruang kerja secara proporsional di kantor pusat yang baru tersebut (Wawancara: Yarmen Dinamika, 21 September 2015).
Musibah gempa dan tsunami Aceh tidak hanya ikut menghancurkan kantor pusat Serambi Indonesia yang telah menyebabkan terhambatnya perkembangan surat kabar Serambi Indonesia, tetapi juga ikut menghambat proses pengiriman surat kabar ke daerah-daerah Aceh karena sarana dan prasana transportasi untuk menuju ke daerah Aceh sudah terputus total akibat bencana tsunami tersebut.